Buruh Migran Indonesia di Jepang Penuh Kerentanan dan Persoalan
Praktik nakal penyalur tenaga kerja ke Jepang membuat buruh migran rentan bahkan sebelum keberangkatan mereka.
Bekerja di Jepang sebagai tenaga magang menjadi harapan “Nakula” setelah mendengar cerita dari kawan abangnya. Pria muda itu kemudian mengetahui ada lembaga pelatihan kerja (LPK) “Bejo” yang dapat membantunya mewujudkan harapan tersebut. Syarat bergabung dengan LPK Bejo memang tak sulit: Ijazah SMA dan niat bekerja di luar negeri. Hanya saja, ongkos mengikuti pelatihan dan proses mendapatkan kerjanya yang tidak murah, bisa sampai puluhan juta kalau diakumulasi. LPK bahkan menahan ijazah Nakula sebagai jaminan pembayaran biaya tersebut.
Cerita Nakula ini hanya satu dari beberapa kisah buruh migran yang mengadu nasib di Jepang yang didokumentasikan dalam laporan Human Rights Working Group (HRWG) bertajuk Shifting the Paradigm of Indonesia-Japan Labour Migration Cooperation (2020). Laporan ini berisi penelitian seputar pengalaman dan pembelajaran yang didapat dari buruh migran yang bekerja di Jepang.
Belum berangkat sudah terjerat utang
Seperti kasus Nakula ini, masalah yang dihadapi para buruh migran bermula bahkan jauh sebelum mereka bekerja di Jepang.
Masih seputar ongkos penempatan kerja dan pelatihan, beberapa LPK malah lebih kejam lagi. Entah pasti diterima kerja di Jepang atau tidak, bayaran pelatihan dan proses penempatan kerja mesti dilunasi.
Bagi sebagian besar dari mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah, opsi mencari pinjaman mau tak mau diambil. Ada penyalur yang bekerja sama dengan perusahaan pemberi pinjaman dan merekomendasikan fasilitas ini kepada calon buruh migran supaya ia dapat melunasi biaya penyaluran tenaga kerja. Alhasil, mereka pun terjerat utang besar selama bekerja di Jepang.
Sebagian buruh migran pun diam-diam memakai jalur tak resmi demi mendapat kerja dengan bayaran lebih tinggi. Ada juga yang memutuskan bekerja lebih lama di Jepang lantaran belum punya cukup simpanan untuk melunasi utang ongkos penempatan kerja yang lalu.
Baca juga: Perlindungan Hukum Bagi PRT Migran Masih Semrawut
Laporan HRWG ini menunjukkan, praktik pembengkakan biaya oleh penyalur tenaga kerja atau LPK seperti demikian jamak terjadi. Kendati pemerintah sudah punya semacam patokan biaya apa saja yang perlu dikeluarkan dan rincian pemakaiannya, yang dialami oleh calon buruh migran bisa jauh berbeda, terlebih dalam skema penyaluran tenaga kerja dari swasta ke swasta (P to P). Dalam skema ini, intervensi pemerintah nyaris tidak ada sehingga permainan harga pun bisa semakin menggila.
Informasi kurang
Permasalahan lainnya yang dihadapi sebelum keberangkatan buruh migran adalah kurangnya informasi detail terkait pekerjaan yang akan mereka lakukan di Jepang.
“Orientasi sebelum keberangkatan hanya berfokus pada urusan imigrasi dan pengelolaan keuangan. Nggak jelas soal seperti apa pekerjaan kita atau tempat kerjanya kayak apa. Saya bingung sekali waktu tiba di Jepang karena semuanya jauh berbeda dari yang saya bayangkan,” ujar Amang, salah satu buruh migran yang diwawancarai dalam laporan HRWG ini.
Sementara dari bidang pekerjaan lain, yaitu perawat, ada kekurangjelasan penyampaian informasi mengenai status pekerjaan mereka kelak dan kategorisasi penyakit yang berbeda antara di Indonesia dan Jepang.
Meski melakukan pekerjaan profesional layaknya perawat lokal, mereka berstatus “kandidat” atau tenaga magang. Ini berimbas pada gaji lebih rendah daripada sejawat lokalnya. Jikapun mereka mau diakui sebagai profesional penuh, mereka mesti mengikuti lagi tes nasional di Jepang.
Selain itu, standardisasi kemampuan bahasa serta kemampuan praktikal lain yang sangat krusial bagi buruh migran pun masih belum ada. Banyak tempat pelatihan yang mematok harga tinggi untuk les bahasa Jepang, itu pun dengan standar yang berbeda-beda antara satu tempat dan lainnya. Belum cukup sampai di situ, pelatih bahasanya pun kadang tidak tersertifikasi: Di beberapa tempat bahkan mengundang pelatih yang hanya merupakan buruh migran yang sudah pulang dari Jepang.
Baca juga: ‘Sekali Berstatus PRT Migran Selamanya PRT Migran’
Dalam cerita Nakula, ia semestinya mendapat pelatihan lapangan ketika pindah ke LPK lain di Bogor. Tetapi kenyataannya, di lokasi ia dan teman-temannya tidak dibekali apa pun, hanya berkesempatan foto-foto saja di lapangan.
Perkara budaya kerja, kejelasan gaji, kontrak dan deskripsi kerja yang minim tak pelak mendatangkan kepelikan bagi buruh migran setelah tiba di Jepang. Mereka harus belajar lebih dalam lagi soal bahasa karena di tiap daerah, praktik berbahasanya berbeda-beda.
Dalam diskusi di tengah peluncuran laporan HRWG pada 20 Mei lalu, Andi salah satu mantan buruh migran yang bekerja di kapal di Jepang mengatakan bahwa ia disalurkan dari sekolah di Indonesia dan tidak membayar apa pun untuk penempatan kerjanya. Tetapi setelah bekerja di sana, ia mengalami pemotongan gaji yang setelah dicari tahu, ada hubungannya dengan penempatan kerjanya dulu.
Pembicara lain dalam diskusi tersebut, Natsuko Saeki yang berperan sebagai pendamping buruh migran di Jepang, mengungkapkan permasalahan-permasalahan lain seperti penyalahgunaan visa serta pemutusan kontrak yang membuat mereka hidup terkatung-katung di negeri orang.
“Salah satu contoh, tidak sedikit pekerja migran pemegang visa engineering yang memang punya keterampilan dijadikan pekerja kasar seperti tukang bubut. Mereka tidak sadar status mereka sudah jadi ilegal karena mereka tidak sesuai dengan visa mereka,” ujar Saeki.
Keadaan ini terjadi lantaran pihak pemerintah Jepang tidak mau memberi visa untuk pekerja kasar, sedangkan di lapangan ada masalah kekurangan tenaga kerja kasar yang cukup serius. Ini berimbas pada pemerasan terhadap buruh migran Indonesia mulai dari perekrutan, pengurusan visa, pemungutan liar, dan sebagainya di Jepang.
Selain itu, ketidakjelasan tentang pekerjaan yang dilakukan buruh migran serta berbagai pemerasan yang terjadi di lapangan menurut Saeki tidak lepas dari adanya kongkalikong antara pihak penyalur buruh migran dan perusahaan penerimanya.
“Pada saat ini pekerja migran dari Indonesia rata-rata mengalami kesulitan ekonomi yang sangat fatal. Tiap hari masuk pengaduan dari mereka. Ada yang diberhentikan dari perusahaan, pendapatan anjlok, sedangkan biaya hidup di Jepang sangat mahal, ada yang sampai tidak pegang uang tunai sedikit pun,” sambung Saeki.
Pendapat Saeki diperkuat oleh pengakuan Tara, mantan buruh migran lain yang bekerja sebagai perawat pada 2008 silam. Ia diberhentikan kerja sebelum habis masa kontraknya.
“Saya berangkat ke Jepang dengan perasaan bahagia, tetapi pulang dengan perasaan amat sangat terbuang. Diputus kontrak dengan pihak rumah sakit tanpa ada informasi. Saya berjuang habis-habisan setelah putus kontrak, telepon ke kedutaan besar Indonesia mau minta diskusi harus bagaimana. Tetapi saat telepon, saya dilempar ke sana kemari. Saya berangkat dengan puja puji, difoto-foto, tetapi saya pulang seperti sampah,” dengan lirih Tara bercerita.
Kekerasan dan sikap diskriminatif
Selama bekerja di kapal, Andi menemukan budaya kerja yang menormalisasi kekerasan. Sudah lazim menurutnya melihat pekerja di kapal dipukuli saat bertugas. Hidup di tengah laut itu keras, katanya.
“Waktu itu ada pemukulan pekerja di Jepang, nggak tahu urusannya gimana setelah itu, sekarang anaknya kabur. Ini saya ketahui karena sampai sekarang komunikasi saya dengan dia masih baik,” terang Andi.
Perkara identitas menjadi persoalan lain yang masih menyandung calon buruh migran ke Jepang.
“Ternyata terjadi banyak diskriminasi berbasis agama pada saat rekrutmen. Banyak user yang mengatakan kami tidak menerima para perawat atau pengasuh lansia yang memakai kerudung. Itu memperkecil kesempatan perempuan berkerudung untuk menjadi pekerja migran di Jepang,” ungkap Yoga Prasetyo, salah satu peneliti yang terlibat dalam pembuatan laporan HRWG ini.
Setelah pulang, jadi apa?
Masalah berikutnya adalah soal perekrutan yang tidak adil. Kerja-kerja sama yang dilakukan penyalur dan berbagai institusi membuat sebagian calon buruh migran lebih cepat direkrut dibanding lainnya. Tetapi kesempatan tersebut tidak gratis, selalu ada ongkos lebih mahal yang mesti dibayarkan calon buruh migran.
Dalam praktik kerja sama, terutama dengan klien Jepang, penyalur tidak jarang pula memberi aneka fasilitas istimewa bagi mereka. Lagi-lagi, uang bayaran ekstramahal dari calon buruh migranlah yang dipakai buat menyenangkan klien penyalur tersebut. Sogokan ini tidak hanya berlaku untuk klien. Dalam beberapa kasus, penyalur melakukan hal serupa terhadap petugas imigrasi guna mempermudah penyaluran calon buruh migran ke perusahaan di Jepang.
Sebagian orang berpikir bahwa buruh migran yang pulang dari Jepang ini bisa meneruskan kariernya, bahkan mendapat posisi dan gaji lebih baik di Indonesia. Namun realitasnya, tidak sedikit dari mereka yang justru beralih profesi.
Dalam konteks perawat yang kembali dari Jepang misalnya, mereka beralih profesi menjadi pengajar bahasa Jepang atau buruh pabrik. Pasalnya, untuk terus menjadi perawat, mereka mesti memperbarui surat tanda registrasi per lima tahun yang mensyaratkan pemenuhan kredit tertentu. Untuk mencapai kredit sesuai yang ditentukan, para perawat ini mesti mengikuti seminar atau pelatihan yang biayanya bisa mencapai ratusan hingga jutaan rupiah. Pengalaman bekerja di Jepang sendiri tak banyak menyumbang kredit, hanya satu dari total 25 satuan kredit yang dibutuhkan.