Perlindungan Hukum Bagi PRT Migran Masih Semrawut
Tidak hanya perlindungan hukum, perlindungan kesehatan bagi buruh migran pun belum tersedia maksimal.
Rabu pagi (17/1) itu, Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI) bersama Erwiana Sulistyaningsih datang ke Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), untuk berterima kasih atas dukungan yang diberikan dalam menangani kasus penyiksaan terhadap Erwiana di Hong Kong. Mencari keadilan untuk seorang pekerja rumah tangga migran adalah proses yang berliku. Bagi Erwiana, empat tahun adalah waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan kasus penyiksaan yang ia alami.
Namun akhirnya, lewat dukungan banyak pihak, majikan Erwiana yang bernama Law Wan Tung divonis bersalah oleh pengadilan Hong Kong pada 2015 dan dijatuhi hukuman enam tahun penjara karena menyiksa Erwiana selama delapan bulan bekerja di rumahnya. Tidak hanya disiksa, gaji Erwiana pun tidak dibayarkan. Selain tuntutan pidana, Erwiana juga melakukan gugatan perdata atas luka fisik berat dan trauma yang ia derita, dan tuntutan tersebut dikabulkan oleh pengadilan Hong Kong pada 2017 lalu.
Setelah kasusnya dimenangkan oleh pengadilan Hong Kong, perjuangan Erwiana tidak berhenti sampai di situ. Di sela-sela kesibukannya kuliah di salah satu universitas swasta di Yogyakarta, ia juga aktif sebagai bendahara dan juga relawan KABAR BUMI untuk membantu buruh migran yang ingin menuntut keadilan atas kasus yang mereka alami.
“Kasus saya ini bukan yang pertama dan bukan juga yang terakhir. Masih banyak kasus-kasus yang dialami oleh teman-teman buruh migran lainnya,” ujar Erwiana, yang di wajahnya masih terlihat bekas-bekas luka siksaan.
Menurut data aduan yang diterima dan ditangani oleh KABAR BUMI per 2016, jumlah kasus terbesar adalah pemutusan hubungan kerja sepihak (211 kasus), kepemilikan kartu tenaga kerja luar negeri (58 kasus), dan pemalsuan dokumen (28 kasus). Yang lebih mengkhawatirkan lagi, dari 2016 hingga akhir 2017, jumlah buruh migran yang meninggal dunia di daerah penempatan masih tinggi. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada akhir 2017 menunjukkan jumlah tenaga kerja Indonesia yang meninggal di daerah penempatan (kawasan Timur Tengah, Eropa, Asia, dan Amerika) mencapai 211 kasus.
Data-data ini belum termasuk kasus yang tidak tercatat karena beberapa faktor yang dihadapi buruh migran saat ingin melaporkan kasusnya membuat mereka terkadang enggan untuk mengadukan kasusnya, ujar Erwiana.
“Di saat menyelesaikan kasus, beberapa kali saya diintimidasi oleh pihak majikan dan juga oknum. Ini pun juga dialami banyak teman buruh migran. Mereka banyak mendapat ancaman dari majikan yang akan menyakiti keluarga mereka jika melaporkan kasusnya. Ada pula intimidasi dari pihak agen agar korban tidak melaporkan kasusnya,” tutur Erwiana, yang selama satu minggu penuh pekan lalu mengadakan roadshow ke beberapa organisasi dan media terkait dengan kemenangan kasusnya Desember lalu.
Selain intimidasi, fasilitas pelaporan untuk para korban belum memadai di daerah tempat asal mereka. Jika mereka ingin melapor secara langsung, mereka harus pergi ke kota besar, misalnya Surabaya untuk wilayah Jawa Timur.
“Kalau kita tidak rajin-rajin bertanya dan mengingatkan bagaimana perkembangan kasusnya, ya tidak akan selesai,” ujar Karsiwen, Ketua KABAR BUMI. Walaupun BNP2TKI sudah memiliki beberapa saluran pengaduan seperti melalui telepon, SMS, dan media sosial, hal ini masih belum disosialisasikan dengan baik pada saat buruh migran menjalani pelatihan sebelum penempatan, tambahnya.
Dalam pelatihan sebelum penempatan, PRT migran biasanya mendapatkan pelatihan mengenai pekerjaan rumah tangga dan juga bahasa sehari-hari yang digunakan di tempat kerja mereka. Namun edukasi mengenai hak-hak yang mereka miliki sebagai pekerja tidak disosialisasikan.
Erwiana Sulistyaningsih (ketiga dari kiri) dalam kunjungan ke Komnas Perempuan (17/1). (Magdalene/Elma Adisya)
Anis Hidayah, Ketua Pusat Studi Migrasi dari perhimpunan buruh migran Migrant Care, mengatakan bahwa dalam tiga tahun terakhir, Kementerian Luar Negeri sudah jauh lebih baik dan responsif dalam penanganan kasus.
“Namun sekali lagi, penanganan kasus itu tidak paralel bahwa kasus akan berkurang. Hal ini tidak berpengaruh pada jumlah kasus baru karena kasus akan selalu ada. Maka dari itu kita lebih mendorong ke upaya pencegahan,” ujar Anis kepada Magdalene.
Hingga kini, berbagai upaya pemerintah untuk melindungi buruh-buruh migran Indonesia masih belum maksimal dilakukan. Salah satu instrumen hukuman yang akhirnya disahkan pada 2017 adalah terbitnya Undang-undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) Nomor 18 Tahun 2017.
Anis mengatakan, disahkannya UU ini merupakan kemajuan dari aturan sebelumnya namun ada pasal-pasal yang perlu diperhatikan kembali karena rawan disalahgunakan, antara lain Pasal 63 mengenai pekerja migran perseorangan yang harus menanggung sendiri risiko saat mereka bekerja. Hal ini bisa menjadi celah pemerintah untuk lepas tangan dan tidak bertanggung jawab ketika buruh migran mandiri terkena masalah di daerah penempatan, ujarnya.
Padahal sebelum diubah, menurut Anis, pasal ini digagas oleh teman-teman PRT Migran agar bisa lepas dari agen Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang rawan pemerasan. Namun saat UU tersebut disahkan malah tidak berpihak pada buruh migran yang jumlahnya hampir sebagian besar didominasi oleh PRT migran.
Senada dengan Anis, Karsiwen juga mengutarakan keberatannya terhadap pasal tersebut.
“Setidaknya berikan pilihan pada kami, mau masuk PT atau tidak, jangan dipaksa masuk. Posisinya sekarang kan kita tidak ada pilihan. PRT dianggap tidak mampu melakukan proses sendiri, sehingga dia harus diurus sama PT dan agen, yang kita harus membayar mahal pada mereka,” ujar Karsiwen kepada Magdalene.
Tidak hanya masalah perlindungan dalam hal hukum yang masih semrawut, Karsiwen juga menjelaskan, perlindungan kesehatan bagi buruh migran juga masih belum semua masuk ke dalam klaim asuransi kesehatan pemerintah BPJS, salah satunya adalah pengobatan psikologis. Penggunaan BPJS pun baru Agustus tahun lalu diwajibkan untuk buruh migran, yang sebelumnya menggunakan asuransi swasta.
“Kami menyarankan agar ada pengobatan gratis untuk buruh migran yang pulang dalam kondisi cacat dan sakit parah. Karena kan selama ini kita harus didaftarkan ke BPJS, kadang ada beberapa penyakit yang tidak ter-cover dalam BPJS,” tuturnya. Ia juga menambahkan BPJS yang digunakan oleh buruh migran tidak mencakup kasus di mana buruh migran di PHK sepihak di tempat kerja.
Berkaca dari kemenangan kasus Erwiana, banyak hal yang dapat dijadikan masukan untuk melindungi buruh migran Indonesia. Erwiana, Karsiwen dan juga para buruh migran KABAR BUMI memberikan beberapa rekomendasi untuk pihak pemerintah, salah satunya adalah rekomendasi untuk pihak Kementerian Luar Negeri agar menambah personel atau staf khusus di negara-negara penempatan PRT migran supaya proses pengawasan lebih jelas. Kedua, pemerintah seharusnya mulai bekerja sama mencari pengacara probono yang mengerti isu buruh migran di daerah penempatan, agar ketika ada buruh migran yang mengalami kasus, pengacara ini dapat membantu mereka untuk mendapatkan keadilan.
“Maka dari itu kami di KABAR BUMI juga terus berjejaring dan memberikan edukasi untuk keluarga buruh migran mengenai hak mereka. Semoga dari kasus saya, makin banyak teman-teman yang berani berbicara dan menuntut keadilan mereka,” tutup Erwiana.