Mungkin tangkapan layar antrean tiket Coldplay juga meramaikan Instagram story kamu, ketika penjualan tiket via presale BCA dibuka pada Rabu, (17/5). Di timeline saya, kebanyakan orang mengunggah kegagalan mereka mendapatkan tiket, dan menunggu giliran di ruang tunggu hingga belasan jam. Namun, ada juga yang menerima email konfirmasi setelah berhasil membeli.
Salah satunya Vereen, penggemar Coldplay asal Bandung, Jawa Barat. Hari itu, ia bersama dua temannya berkumpul di kafe, berharap koneksi internetnya bisa diandalkan.
Melalui ponsel, Vereen membuka situs penjualan tiket dengan mode penelusuran pribadi—atau incognito mode, beberapa menit sebelum situs dapat diakses. Begitu jam menunjukkan pukul 10 pagi, ia me-refresh laman tersebut dan berhasil masuk antrean.
“Waktu itu ada 500 orang di antrean. Disuruh nunggu sekitar lima menit,” ujar Vereen.
Kurang dari waktu yang diperkirakan, perempuan yang mendengarkan Coldplay sejak album Parachutes (2000) itu, masuk ke laman berikutnya untuk memilih kategori tiket. Dengan sigap, Vereen memilih empat tiket di kategori lima, mengisi data pribadi, dan melakukan pembayaran.
“Jam 10.04 WIB aku selesai transaksi, lalu dapat email konfirmasi,” tutur Vereen.
Awalnya, ia hanya merasa lega setelah mendapatkan tiket. Begitu melihat orang-orang di Instagram story yang komplain karena gagal membeli, Vereen sadar dirinya beruntung dapat melakukan transaksi tanpa kendala. Bahkan, di antara kedua temannya yang enggak bisa masuk ke situs penjualan tiket.
Berkat keberuntungannya, Vereen akan menyaksikan Coldplay untuk kedua kalinya 15 November mendatang. Sebelumnya, ia menonton aksi panggung band tersebut di Singapura 2017 lalu.
“Selain suka lagu-lagunya, aku senang lihat kepribadian Chris Martin (vokalis Coldplay) yang positif. Kelihatan dari cara ngomongnya kalau diwawancara,” aku Vereen.
Sayangnya, mungkin Vereen hanya segelintir dari penggemar, yang berhasil mendapatkan tiket konser Coldplay di Jakarta. Sebab, Nissi (23) punya pengalaman berbeda.
Baca Juga: Alasan Kenapa Penolakan Konser Coldplay oleh PA 212 Enggak ‘Mashok’
Di hari penjualan tiket presale, ia menggunakan tiga gawai untuk membeli tiket: dua laptop dan sebuah ponsel. Namun, butuh waktu enam menit bagi Nissi, untuk masuk ke antrean—itu pun hanya di salah satu laptop. Waktu itu, ada 170 ribu orang di dalam antrean, menunggu giliran memilih kategori tiket.
“Ngeliat antrean itu gue mikir, perasaan kapasitas SUGBK (Stadion Utama Gelora Bung Karno) enggak segini?” ceritanya.
Berdasarkan keterangan di situs, butuh waktu tujuh jam hingga Nissi bisa membeli tiket. Sambil menunggu, ia memantau situasi penjualan tiket lewat Twitter. Banyak kategori sudah dipesan, bahkan habis terjual. Meskipun mulai pesimis, Nissi tetap menunggu gilirannya. Namun, tak ada sisa kategori yang bisa dipilih—termasuk “My Universe” yang Nissi inginkan.
Kejadian serupa kembali terjadi di hari penjualan tiket untuk umum, Jumat (19/5). Saat itu, Nissi justru enggak bisa masuk ke antrean. Selama 26 menit, ia terjebak di laman verifikasi perangkat. Akhirnya, Nissi pasrah dan memilih keluar dari website.
“Untungnya gue ambil cuti kantor, jadi bisa sedih-sedihan di rumah sambil ngeratapin nasib,” ungkap Nissi.
Berawal dari menikmati lagu, ia mulai ngefans dengan Coldplay pada 2015. Sejak itu, Nissi sering mendengarkan Coldplay di berbagai kesempatan. Termasuk saat menyusun laporan magang.
“Lagu-lagu mereka kayak nemenin gue banget. Terutama ‘Up&Up’, jadi diulang terus,” ujar Nissi. “Gue juga nonton video-video konser Coldplay. Ternyata indah banget, jadi (nonton konsernya) masuk bucket list deh.”
Kemudian, pada 2020 Nissi membeli official merchandise Coldplay berupa kaos lengan panjang. Pembelian itu adalah self-reward usai menghadapi semester akhir perkuliahan.
“Buat beli kaos itu penuh pertimbangan sih, soalnya self-reward kan enggak harus sesuatu yang mahal. Berhubung rasanya Coldplay udah nemenin gue, sekalian beli deh biar kayak fans yang loyal,” tuturnya.
Enggak heran, Nissi sedih ketika usahanya nonton Coldplay sia-sia. Baginya, salah satu esensi nonton konser adalah euforia, ketika berhasil mendapatkan tiket secara langsung. Nissi ingin melihat namanya tertera di email konfirmasi, usai melakukan pembayaran. Kata Nissi, ada kepuasan tersendiri dari momen tersebut.
Karena itu, Nissi kesal dengan calo yang berseliweran di media sosial. Bahkan, para calo sudah memasarkan tiket ketika penggemar masih berusaha membeli di situs resmi.
Seorang teman kuliah Nissi sempat menawarkan tiket kategori tiga, di kisaran Rp4 juta—lebih mahal Rp1 juta dari harga asli. Namun, Nissi urung membeli. Ia ingin mengandalkan giveaway di media sosial.
“Sebenarnya gue penginmeledak. Tapi mungkin mereka (calo) butuh uang, jadi semua lapak dijadikan pendapatan. Atau sekadar mau buktiinaja mereka berhasil beli dan mau naikinharga,” ucap Nissi. “Kayaknya enggak bisa disalahin juga, soalnya setiap konser ada calo. Jatuhnya sih memaklumi.”
Di pekan penjualan tiket Coldplay, netizen pun membicarakan perihal calo yang menjual tiket dalam jumlah banyak. Mereka berasumsi, tiket di situs resmi terjual pada calo. Ada juga yang meyakini para calo mendapatkan jatah kuota dari promotor. Salah satunya pengguna Instagram dengan handle @lyciejo, yang memasarkan 100 tiket dengan harga berkali lipat dari situs resmi.
Lalu, apa yang sebenarnya dilakukan para calo tiket Coldplay?
Baca Juga: Ini Konser Kami Juga: Bagaimana Agar Acara Musik Bebas Kekerasan Seksual
Di Balik Harga Tiket Calo yang Melambung
Selain membicarakan promotor yang menghibahkan tiket pada calo, netizen pun menduga para calo menggunakan bot untuk membeli tiket—seperti video yang diunggah @sarjanacrypto di Instagram.
Namun, tidak begitu menurut Arsyad—salah satu calo tiket konser Coldplay, yang mau saya wawancarai. Menurutnya, para calo juga mengikuti sistem ticketing di situs resmi. Dengan gamblang, Arsyad mengungkapkan trik saat membeli tiket.
“Stand by aja di website-nya dari satu sampai dua jam sebelum penjualan dibuka. Semenit sebelum ticket war, baru refresh halamannya. Kalau internet, biasanya saya rental wifi biar koneksinya lebih cepat,” ungkap Arsyad. “Yang penting timing-nya harus pas.”
Arsyad menuturkan, ia menjual lebih dari 50 tiket Coldplay di berbagai kategori. Dikarenakan per data KTP maksimal membeli empat tiket, total ada 15 tiket yang Arsyad beli menggunakan nama sendiri dan meminjam nama anggota keluarga. Sisanya titipan teman-teman, yang pembeliannya sudah diurus sendiri.
“Tapi ada juga yang nawarindari DM (direct message) dengan menunjukkan e-ticket yang disensor. Atau tinggal bayar, lalu saya bayarin,” tambah Arsyad.
Tiket-tiket tersebut dipasarkan Arsyad melalui Instagram story. Ia membagi persenan dengan orang-orang yang menitipkan tiket. Masing-masing jumlahnya berbeda, tergantung pada kesepakatan.
Awalnya, Arsyad mengaku enggak mengambil banyak untung sehingga menetapkan harga Rp1.750.000 hingga Rp13.950.000. Melihat calo dan jasa titip (jastip) tiket lain yang mematok harga tinggi—mencapai Rp60 juta di sebuah marketplace, Arsyad pun menaikkan harga menjadi Rp2.550.000 hingga Rp25.850.000.
“Kadang dari persenan itu harganya saya naikin lagi, bisa dua sampai tiga kali lipat. Tergantung kategorinya,” terangnya.
Arsyad pun memandang wajar jika calo menetapkan harga tinggi. Baginya, jasa ini mempermudah orang-orang yang mencari tiket, tapi sudah habis terjual di situs resmi.
“Ibarat tadinya tiket udah habis, tiba-tiba ada yang jual di venue. Tinggal pintar-pintaran pembeli aja, negosiasi biar dapat harga murah,” imbuh Arsyad.
Nyatanya, harga tiket yang melambung bukan halangan bagi mereka yang antusias dengan kedatangan Coldplay di Jakarta. Menurut Arsyad, tiket-tiket itu ludes terjual dalam 16 jam. Pembelinya pun beragam: Ada penggemar Coldplay, ada juga yang enggak ingin kelewatan euforia konsernya.
Berbeda dengan Arsyad, “Raffi”—bukan nama sebenarnya—ikutan jadi calo tanpa disengaja. Saat itu, Raffi menitipkan satu tiket dengan harga normal, pada temannya yang calo dan sedang membeli di situs resmi. Kemudian, temannya menawarkan persenan senilai Rp500 ribu apabila Raffi mau menjual tiket sendiri.
Akhirnya, ia mengambil kesempatan itu hanya karena iseng dan tidak membutuhkan modal sepeser pun. Lewat Instagram story, Raffi menjual satu tiket di kategori lima seharga Rp6,5 juta.
“Sempat ragu dan pressure banget, rasanya jahat ambil keuntungan dari sini. Ditambah orang-orang bilang, tiket yang gue jual kemahalan. Jadi makin merasa bersalah,” cerita Raffi. Namun, tiket tersebut tidak terjual di tangannya.
Penjualan tiket oleh calo seperti Arsyad dan Raffi, menunjukkan luasnya kesempatan bagi siapa pun untuk meraup keuntungan dari penyelenggaraan konser. Saking luasnya, segelintir orang memanfaatkan momen ini untuk mengambil keuntungan sepihak.
Tak hanya calo, banyak orang menawarkan jastip agar pembeli tidak perlu mengantre tiket. Sebagai gantinya, jastip meminta pembeli membayar sejumlah uang atas jasanya. Praktik ini tak luput dari penipuan, seperti dilakukan pasangan suami istri (pasutri) asal Yogyakarta.
Untuk mempromosikan jasanya, pelaku membeli akun Twitter dengan banyak pengikut. Agar tampak terpercaya, mereka mengunggah testimoni palsu di akun dengan handle @findtrove_id.
Melansir Detik.com, pelaku meminta korban membayar Rp50 ribu sebagai tanda pemesanan. Kemudian, pelaku mengundang korban di grup WhatsApp untuk menjelaskan syarat pemesanan, sekaligus meminta setoran uang sejumlah harga tiket. Berdasarkan keterangan Polda Metro Jaya,tindakan itu menipu 60 korban dengan kerugian senilai Rp183 juta.
Melihat peristiwa tersebut, Arsyad yang mencari cuan dari momentum ini, tetap menekankan pentingnya membangun kepercayaan pembeli. Selain menawarkan tiket elektronik, ia akan menukarkannya menjadi tiket fisik di hari menjelang konser. Di samping itu, Arsyad juga mengirimkan KTP dan menawarkan pilihan pembayaran pembeli—untuk down payment sebesar 50 persen atau langsung pembayaran penuh.
“Jadi calo itu harus bisa dipercaya karena ini amanah ya,” kata Arsyad. Lain halnya dengan Raffi yang merasa
Sebelumnya, Arsyad juga menjual tiket konser Blackpink di Jakarta pada Maret silam. Di SUGBK, ia berhasil menjual empat tiket masing-masing seharga Rp15 juta, dari harga resmi sekitar Rp5 juta.
Lain halnya dengan Raffi yang merasa bersalah menjadi calo, Arsyad justru sebaliknya. Ia enggak merasa bersalah dengan patokan harga yang ditentukan, dan yakin tiketnya akan terjual. Sebab, akan ada yang membeli dengan harga berapa pun. Terutama penggemar yang benar-benar mengidolakan musisi bersangkutan.
Berkaca dari banyaknya calo dan jastip tiket konser, tampaknya permasalahan ini akan sulit ditanggulangi. Meskipun umumnya promotor menekankan larangan, untuk tidak memperjualbelikan tiket.
Baca Juga: Pengalaman Nonton Konser Dewa 19 di JIS: Penampilan Magis dan Jalan Pulang yang Sesak
Adakah Solusinya?
Keberadaan calo tiket konser tentu bukan praktik baru. Sejak sistem penjualan tiket masih offline, para calo menjajakan tiketnya di lokasi konser pada hari acara digelar.
Para calo juga menawarkan diri untuk membeli tiket tidak terpakai milik penonton, baik karena batal menonton maupun hasil giveaway—seperti dijelaskan seorang calo dalam wawancara bersama CNN Indonesia. Bahkan, salah satu dari mereka menawarkan jasanya sejak 1985.
Walaupun calo dinilai merugikan konsumen dari segi harga tiket, Indonesia belum memiliki payung hukum spesifik yang menangani permasalahan calo—kecuali terjadi penipuan seperti dilakukan pasutri asal Yogyakarta. Apabila yang terjadi penipuan, terdapat payung hukum yang diatur dalam Pasal 378 dan 379 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sementara beberapa negara lain telah menetapkan hukum yang menindaklanjuti calo tiket. Salah satunya Taiwan, dalam Amandemen Undang-undang Pengembangan Industri Budaya dan Kreatif yang baru disahkan pada (12/5).
Undang-undang tersebut mengatur, calo atau oknum yang membeli tiket konser untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi, akan dikenakan hukuman tiga tahun penjara. Kemudian, mereka juga diminta membayar denda senilai NT$3 juta—setara dengan Rp1,4 miliar.
Untuk menangani permasalahan ini, Kementerian Kebudayaan Taiwan turut mengajak masyarakat terlibat aktif, dengan melapor ke kepolisian jika menemukan calo.
Selain menciptakan payung hukum, sistem ticketing dapat dijadikan upaya untuk mengurangi calo. Misalnya Jepang, yang memberlakukan sistem lotre. Nantinya pembeli diminta mengisi pendaftaran, memilih area kursi, dan memberikan informasi kartu kredit untuk transaksi.
Sistem tersebut akan memilih pembeli secara acak, dan memproses transaksi dengan memotong biaya dari kartu kredit. Dengan demikian, tidak semua orang bisa mendapatkan tiket dengan mudah.
Jika dibandingkan dengan Jepang, tak dimungkiri sistem penjualan tiket di Indonesia masih membuka celah bagi calo untuk meraup keuntungan. Sebagai calo, Arsyad pun menyatakan, sistem ticketing saat ini kurang ketat. Akibatnya, terjadi transaksi jual beli tiket di luar situs resmi.
Namun, mantan promotor musik dan pendiri Java Musikindo, Adri Subono, menjelaskan pada BBC Indonesia, pihak promotor sulit mencegah praktik calo. Ini dikarenakan, tidak mudah bagi promotor untuk mengetahui pembeli tiket, dan apa yang akan dilakukan dengan tiket tersebut. Sementara kondisinya, siapa pun berhak membeli tiket. Adrie menyarankan, penikmat musik tidak membeli tiket konser dari orang tidak dikenal. Upaya ini sekaligus mencegah penipuan, lantaran ada kemungkinan orang yang menawarkan tiket lewat daring sebenarnya tidak memiliki tiket—seperti penipuan tiket konser Arctic Monkeys, oleh musisi Ray Viera Laxmana pada Maret lalu.