December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Negara yang Menggilas Anak-anaknya dan Duka yang Tak Pernah Dihitung

Affan, pengemudi ojek daring, meninggal dilindas rantis. Dari dapur pinggiran kota, seorang ibu menulis catatan tentang duka perempuan kehilangan yang dibungkam negara.

  • August 29, 2025
  • 5 min read
  • 4698 Views
Negara yang Menggilas Anak-anaknya dan Duka yang Tak Pernah Dihitung

28 Agustus 2025. Saya menunda pulang kampung karena takut kehilangan sinyal. Seharian menatap layar, memantau lini masa, menyimak kabar aksi di berbagai kota, dan berulang kali mengingatkan kawan-kawan di grup: “Jangan tidur dulu. Pantau terus.” 

Lalu tengah malam, pesan singkat datang. Pendek, tapi menghantam: “Innalillahi wainnailaihi raji’un. Meninggal, Buk.” 

Saya menulis catatan ini dari dapur kecil di pinggiran kota—sebagai ibu dan aktivis perempuan. Sebagai penanda agar duka ini tidak hilang begitu saja. 

Sejak sore, air mata saya sudah lebih dulu jatuh melihat anak-anak SMA/ STM turun membantu kakak-kakaknya mahasiswa. Dalam doa, saya mohon mereka dilindungi. ebab saya tahu, negara ini sering lupa caranya melindungi warga. Terlalu sering aparat berdiri sebagai pagar besi untuk penguasa, bukan pelindung rakyat. Negara absen merawat, sementara warganya dipaksa kuat sendiri. 

Baca juga: Terobos Kerumunan Massa Aksi, Kendaraan Taktis Brimob Lindas Ojol

Affan dan Hak untuk Pulang 

Malam itu, seorang pengemudi ojek online Affan Kurniawan, 21, tewas dilindas kendaraan taktis Korps Brigade Mobil (Brimob). Affan tidak berorasi apalagi melempar batu. Ia hanya bekerja mengantar makanan pesanan pelanggan dengan satu harapan sederhana: Pulang. 

Sebagai ibu, saya refleks membayangkan anak saya sendiri. Jaket hujan masih basah, ponsel terus bergetar, wajah lelah tapi lega ketika pintu rumah dibuka dari dalam. Gambaran sederhana yang seharusnya bisa dimiliki semua anak muda. 

Kematian Affan bukan “insiden”. Ini pola. Negara yang enggan belajar merawat warganya akan terus memilih menggilas. Kita diminta mengerti “situasi”, sementara hidup-hidup yang diremukkan tak pernah dipahami negara. Generasi muda bekerja keras, jarang menuntut. Namun bahkan sebelum bersuara, tubuh mereka bisa berakhir di bawah ban kendaraan yang mestinya melindungi. 

Kericuhan pecah di Senayan hingga Pejompongan, Jakarta. Rantis melintas, warga berhamburan. Pertanyaan sederhana mendadak genting: Di mana SOP pengamanan? Mengapa kendaraan bersenjata melaju di ruang bercampur masyarakat sipil? Bagaimana seorang pengemudi ojek online bisa berakhir di bawah roda? 

Saya tahu akan ada penyelidikan. Akan ada konferensi pers, kata-kata yang diukur, bahkan pelukan performatif dan air mata buaya Kapolri. Akan tetapi sebelum semua itu, ada tubuh yang sudah terbujur kaku, keluarga yang kehilangan tulang punggung, dan sesama pengemudi yang mengantar jenazah dengan helm masih di tangan. 

Jarak antara “ketertiban” dan “kemanusiaan” malam itu bisa diukur oleh satu nafkah yang tidak pernah kembali. 

Kematian Affan bukan “insiden”. Ini pola. Negara yang enggan belajar merawat warganya akan terus memilih menggilas. Kita diminta mengerti “situasi”, sementara hidup-hidup yang diremukkan tak pernah dipahami negara. Generasi muda bekerja keras, jarang menuntut. Namun bahkan sebelum bersuara, tubuh mereka bisa berakhir di bawah ban kendaraan yang mestinya melindungi. 

Baca juga: Kejarlah Demonstran Pelajar, Kutangkap Polisi

Ekonomi Kesedihan yang Tak Dihitung 

Kami, para ibu, tahu suara tubuh yang roboh. Kami hapal bunyi sepatu yang tidak kembali ke rak. Kami paham rasa takut yang menyelinap di sela-sela nasi yang kami suapkan. Katrine Marçal menulis, jurnalis dan penulis ekonomi dari Swedia menulis, ekonomi dunia berdiri di atas kerja perempuan yang tak dihitung. Saya menambahkan: Negeri ini berjalan di atas kesedihan perempuan yang tak pernah didengar. 

Di atas kertas, negara menyebut “tidak miskin” dengan angka. Garis kemiskinan nasional Maret 2025 adalah Rp609.160 per kapita per bulan—sekitar Rp20 ribu per orang per hari. Dengan rata-rata 4,72 anggota rumah tangga, ambang rumah tangga miskin kira-kira Rp2,88 juta per bulan. Itu ambang pengeluaran minimum, bukan gaji. Artinya, seseorang bisa resmi “tidak miskin” di statistik, sembari tetap menghitung kembalian untuk makan malam. 

Di antara angka-angka dingin itulah Affan mengambil order terakhirnya, supaya esok keluarganya tidak jatuh di bawah garis yang ditarik negara. 

Ekonomi kesedihan memuat biaya yang tak pernah masuk tabel: mesin motor yang cepat aus karena jalan berlubang; waktu yang hilang menunggu order; ruang kota yang tiba-tiba jadi arena bentrokan; napas terengah antara gas air mata dan target harian. Negara tidak menghitung tetes air mata seorang ibu ketika anaknya tak pulang. Yang dihitung hanya rata-rata pengeluaran bulanan. 

Duka yang hanya dipendam akan berubah jadi kebiasaan. Maka saya mengusulkan satu tuntutan sederhana tapi mendasar: Negara wajib mengakui duka sebagai utang publik, dan membayarnya. 

Itu artinya, setiap nyawa yang hilang dalam operasi aparat, setiap tubuh pekerja harian yang cacat atau wafat di tengah “penegakan ketertiban”, harus dicatat sebagai kemiskinan yang diciptakan negara—bukan sekadar “insiden”. Utang itu dibayar dengan kompensasi layak, pemulihan utuh, jaminan pendidikan bagi anak/ adik korban, dan perubahan SOP yang diawasi publik. Bukan sekadar pelukan, permintaan maaf, atau konferensi pers. 

Tuntutan ini bukan hanya untuk Affan, tapi untuk kita semua. Untuk setiap lauk yang disiasati, setiap rumah yang sunyi. Duka itu utang negara. Bayar! 

Saya sadar, satu opini mungkin tak langsung mengubah kebijakan. Namun tulisan adalah batu kecil yang dilempar ke danau sunyi. Ia menciptakan riak, dan dari riak itu kita mengukur nyali negara: Berani berubah atau bersembunyi di balik tameng besi. 

Kalau negara sungguh ingin merawat, mulailah dari mengakui luka, bukan menutupinya. Dari memulihkan keluarga, bukan menenangkan warganet. Dari mengubah kebijakan, bukan mengganti narasi. 

Hari ini kita menyalakan lilin untuk Affan. Besok, pastikan tidak ada ibu lain menyalakan lilin yang sama. 

Kami, para ibu, akan terus mengingat. Sebab yang dilupakan pasti berulang, dan negara yang sehat adalah negara yang berani mengingat, meminta maaf, lalu bertanggung jawab. 

Untuk Affan. Untuk semua anak muda yang hanya ingin hidup tetapi digilas negara yang lupa caranya mencintai. 

Saya tidak menuntut negara menjadi ibu yang memeluk setiap warganya. Saya hanya berharap negara tidak menjadi mesin yang menggilas anak-anaknya sendiri. 

About Author

Laili Zailani

Lely adalah fasilitator pemberdayaan perempuan, pendiri HAPSARI dan Rumah Kata. Fellow Ashoka Indonesia (2000), serta penulis yang percaya bahwa cerita adalah alat perubahan.