Catcalling dan Hak Perempuan Atas Ruang Publik
Catcalling membuat perempuan tidak bisa menikmati haknya atas ruang publik.
“Pssst…pssstttt….cewek cantik….”
Semua perempuan mungkin pernah atau bahkan sering menghadapi suara yang mengganggu pendengaran tersebut. Akhir-akhir ini saya membaca beberapa artikel mengenai catcalling dan betapa masyarakat belum menganggap hal ini sebagai sebuah bentuk perilaku pelecehan. Ingatan saya terlempar ke masa kecil, di mana saya tumbuh menjadi anak pemalu karena tidak suka menghadapi catcalling dari lingkungan. Saya lebih memilih mengurung diri daripada harus bermain di luar karena banyaknya laki-laki dewasa atau remaja yang menggoda.
Saya yang merasa tak nyaman dan menolak ketika disuruh ke warung justru dipojokkan dengan ucapan, “Jangan sok genit, baru disuitin begitu saja bersyukurlah itu tandanya kamu cantik.” Atau ada lagi komentar dari seorang teman lainnya “Makanya jangan cantik, ntar disuitin”. Ucapan-ucapan tersebut membuat saya semakin down, memilih untuk berdiam diri dan mengalami krisis kepercayaan terhadap lingkungan sekitar. Saya hanya memilih untuk diam ketika mendengar catcall, dan belajar berlaku seperti itu karena melihat bahwa perempuan dewasa di sekitar saya juga diam.
Di lain waktu saya juga pernah melihat sekelompok anak usia SD yang melakukan catcalling pada perempuan dewasa dan ditertawakan oleh orang dewasa lainnya karena dianggap seperti perbuatan lucu. Anak laki-laki yang melakukan catcalling tentunya belajar dari perilaku orang dewasa di sekitarnya dan seakan diajari bahwa catcalling adalah sebuah perbuatan wajar bagi laki-laki dan wajar untuk diterima perempuan. Sekian tahun saya memendam ketidaksukaan terhadap catcalling dan kemudian berani berbicara ketika hal itu mulai dijadikan bahan tulisan di media. Masyarakat mungkin menerima catcalling sebagai perbuatan wajar namun tidak ada yang melihat betapa suitan seperti itu mampu membunuh kepercayaan diri seseorang yang tidak menyukainya. Atau bahkan ketika catcalling dianggap sebuah pujian maka seorang perempuan yang tak pernah disuitin akan merasa dirinya tidak dihargai.
Bagi laki-laki, catcalling mungkin dianggap hanya sebagai perbuatan iseng untuk mengisi waktu dan perempuan yang sedang berjalan sendirian berhak untuk dipanggil-panggil atau disiuli. Ini adalah suatu bentuk relasi yang tidak setara, seakan-akan perempuan dianggap memiliki kekuatan lebih rendah dan berhak untuk dilecehkan melalui catcalling.
Seseorang mengatakan bahwa untuk menghindari pelecehan seksual di jalanan, jangan berjalan sendirian atau ajaklah teman lelaki, niscaya tidak akan ada yang menggoda. Saya kemudian bertanya, ”Jika hanya melarang perempuan berjalan sendiri, lantas apa alasan laki-laki bisa melakukan catcall ?” Jika memang ingin berkomunikasi kenapa tidak menyapa dan mengucapkan salam sebagaimana yang dipelajari di sekolah, yang juga nantinya akan dibalas dengan sapaan yang baik? Apakah perempuan tidak berhak untuk berjalan sendiri dan menikmati ruang publik yang sesungguhnya sudah menjadi miliknya juga sejak lahir? Sebelum menyalahkan cara berpakaian atau perempuan yang berjalan sendiri, kenapa tidak bertanya mengapa laki-laki boleh menggoda perempuan? Mengapa tak bertanya kenapa negara tak memberikan ruang aman bagi perempuan? Mengapa tak bisa menghargai perempuan yang berjalan sendiri dan tidak akan bereaksi ketika perempuan berjalan dengan lelaki?
Pasal 3 Dokumen Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh PBB yang menyatakan bahwa perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar yang sama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang-bidang lainnya termasuk hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi (huruf c). Pasal 29 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. Kemudian di Pasal 30 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Ada beberapa payung hukum lainnya yang menjamin perlindungan bagi individu, dan tentunya dibuat sebagai bentuk tanggung jawab perlindungan kepada warga negara. Namun, kenyataan berkata lain.
Jangankan untuk bersuara dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan sebagaimana harapan proses pengarusutamaan dan partisipasi perempuan. Saat ini perempuan Indonesia masih dihadapkan pada kebutuhan akan ruang aman, bebas dari catcalling, bebas dari lelucon seksis, dan bebas dari segala stigma. Jadi, maukah kamu terlibat menciptakan ruang publik yang aman bagi perempuan?
Pritta Damanik adalah lulusan Hubungan Internasional yang harus berpikir di tingkat desa, saat ini bekerja di Organisasi Pemberdayaan Masyarakat di Sulawesi Tengah yang berfokus pada anak. Saat ini berputar di Sulteng memeriksa dokumen, melatih dan menyusun konsep pemberdayaan bagi masyarakat dan anak. Ikuti dia di Instagram @pritta_damanik.