Culture Prose & Poem

Kartinah Kembali dari Makam

Tiga perempuan menunggu bus depan kuburan, yang cuma datang sepuluh tahun sekali.

Avatar
  • September 5, 2023
  • 8 min read
  • 1320 Views
Kartinah Kembali dari Makam

Kartinah berjalan di atas tanah basah melewati nisan-nisan. Tas tangan ia kempit di ketiak. Selama beberapa saat ia tak yakin di mana pintu keluar, sampai dilihatnya sebuah gerbang lengkung di kejauhan. Sembari menggumam, “Kok tadi sepertinya bukan di situ,” ia pun melangkah ke sana.

Di luar gerbang ia menoleh ke belakang. Rupanya ia yang terakhir kembali dari makam, sebab tak ada seorang pun menyusulnya. Sambil mengipasi diri dengan tisu, ia mendekati halte. Dua temannya sudah menunggu di sana, duduk memangku tas tangan masing-masing.

 

 

“Sudah selesai?” tanya Sri Ningsih yang biasa dipanggil Bening oleh teman-temannya.

“Ternyata lebih cepat dari yang kusangka,” desah Kartinah. Ia mendudukkan diri di antara kedua temannya.

Perempuan yang seorang lagi, bernama Fatima, menyahut, “Tapi semua sudah beres, kan?”

“Sudah. Orang-orang sudah pada pulang. Pastornya bilang tanahnya akan dimasukkan segera ke lubang,” jawab Kartinah.

Sebuah bus berhenti di depan mereka. Beberapa turun membawa keranjang beraroma harum. Rombongan itu masuk gerbang pemakaman sambil berbicara lirih. Salah satunya menoleh tajam ke arah Kartinah. Kartinah refleks menutupi muka dengan tangan.

Baca juga: Suatu Hari di Toko Barang Antik

“Untuk apa menutup muka?” tegur Fatima. “Kita tidak boleh malu, ingat?”

“Ingat,” Kartinah mengangguk sembari menurunkan tangan dari mukanya. 

Bus belum bergerak. Lewat jendelanya yang setengah pecah, sopir berteriak, “Tidak ikut, Ibu-ibu?”

Fatima berseru menjawab, “Tidak, Bang! Bukan jurusannya!”

Maka bus itu menancap gas. Knalpot mengembus nyaring dan asap hitam menyembur seolah polusi kota belum cukup tebal.

Kartinah memandangi kepergian bus itu dengan resah. Fatima berkata padanya, “Tidak apa-apa. Lebih baik menunggu bus yang benar!”

Bus yang—setidaknya menurut Fatima—benar itu belum juga kelihatan hingga satu jam kemudian. Siang semakin ramai dengan kendaraan silih-berganti dan peluit para polantas. Gedung-gedung di seberang semakin menyilaukan karena memantulkan matahari. 

Mendadak Kartinah panik. “Mestinya tadi kita ikut saja!” ujarnya ketus.

Fatima menukas, “Kalau tadi kita ikut, pasti jadinya malah berputar-putar. Bagaimana kalau kamu mabuk? Dari dulu perutmu tidak kuat, kan, naik bus?”

Bening yang tak suka banyak bicara terpaksa turun tangan menenangkan keduanya. “Sudah, jangan ribut.” Kemudian dia menepuk paha Kartinah pelan. “Yang sabar. Tunggu saja. Ini anginnya sedang enak. Semilir.”

Angin segar memang sering lewat siang itu. Arahnya dari pemakaman di belakang mereka. Kalau Kartinah pikir-pikir lagi, pemakaman selalu lebih sejuk dibandingkan tempat-tempat lain.

Di luar keinginan Kartinah, air matanya melimbur memburamkan. Ia menggigit bibir agar tak terisak. Nanti ia disebut cengeng. Ia mengejap-ngejapkan mata berpura-pura kelilipan sesuatu. Sikapnya ia riang-riangkan ketika menelusuri pertigaan lampu merah di ujung jalan.

Fatima berkata bus mereka bernomor TP 44, tipe bus kecil seukuran metromini atau kopaja. Sejak tadi sudah banyak bus lewat, memampang nomor BM 42, CK 45, atau LS 65. Ketika bus bernomor TO 77 berhenti dan lekas pergi lagi karena tak ada yang turun maupun naik, Kartinah yakin TP 44 pasti yang berikutnya. Tetapi itu tidak terjadi. Ada TQ 27, TR 88, tetapi tidak pernah TP 44.

“Apa salah jam ya?” tanya Kartinah.

“Tidak, kok. Ini sudah benar jamnya!” bantah Fatima. “Waktunya sudah pas ini!”

Baca juga: Membunuh Kekasih

Sebuah bus lain berhenti. Bibir Kartinah bergerak-gerak membaca. UB 01. Ia pun meremas tali tasnya. Sekarang sudah giliran bus-bus bernomor U sekian sekian. Ia menengok ke arah Bening dan Fatima yang masih anteng saja, seolah tak berbagi kekhawatiran yang sama dengannya. Ini membuatnya jengkel.

“Pokoknya kalau tidak datang-datang juga, Fatima harus joget!” tukas Kartinah. Ia melotot ke arah Bening mencari dukungan. “Setuju?”

“Aku ini mantan sinden, bukan penari,” Fatima membela diri. “Bening yang jago joget!”

“Ya sudah. Kalau sampai malam busnya tidak datang, aku joget, Fatima nembang!” Bening mengalah. Ia tertawa kecil. 

“Tapi kalau Kartinah saja yang tidak melakukan apa-apa, kan tidak adil,” tambah Bening kemudian. “Enaknya Kartinah kita suruh apa ya, Fat?”

“Tidak usah disuruh. Aku punya sesuatu yang bisa bikin tarian dan suara kalian pada tumbang!” Kartinah tersenyum simpul. “Onde-onde!”

Naa, ini,” timpal Fatima. “Memang semuanya kalah kalau sudah kena onde-onde buatanmu, Tin!”

Kartinah mengeluarkan bungkusan plastik dari dalam tas. Ia tertegun menghitung jumlah onde-onde yang ada tiga. Bagaimana mungkin dirinya hanya membawa pas untuk tiga orang? Bagaimana bila kedua temannya ingin tambah?

Ia meletakkan onde-onde di tangan Bening dan Fatima yang terjulur padanya. Ia sendiri menggigit satu. Pasta kacang hijau dan wijen mulai berhamburan di pahanya. 

“Nanti, Tin, kalau sudah sampai tujuan, kamu bikin onde-onde yang banyak. Ya?” pinta Bening.

“Sebakul, Tin!” seru Fatima.

Sudah lama sejak terakhir kali Kartinah membuatkan onde-onde untuk Bening dan Fatima, sehingga antusias keduanya menaikkan semangatnya. Ia berjanji akan membuatkan onde-onde sebanyak yang mereka mau. Nanti, kalau tiba di tujuan.

Sesudah onde-onde habis, Bening mengambil lipstik dari tas tangannya dan menambal warna merah di bibirnya tanpa menghapus sisa minyak lebih dulu. Fatima melakukan sesuatu yang lebih aneh. Ia mengambil kacamata hitam dari tasnya sendiri lalu mengenakannya, padahal matahari tidak sedang mengarah pada mereka. Ia seperti belalang raksasa. 

Kartinah memperhatikannya dengan tercengang. Fatima rupanya menyadari hal ini, lalu bertanya, “Kamu tidak lupa sesuatu, Tin?”

“Iya ya!” balas Kartinah. Ia mengatakannya tanpa mengerti apa yang dimaksud Fatima. Meski begitu, tentunya ia mengerti sedikit, sebab berikutnya ia mengeluarkan sisir dari tasnya. Sisir perak yang dihiasi manik-manik, satu maniknya sudah copot. Lagi-lagi tanpa tahu mengapa, Kartinah menyisir rambutnya. Berulang-ulang sampai dirasa sudah benar atau sudah puas, lalu mengembalikan sisir itu ke tempatnya semula.

Tak banyak lagi yang dapat dilakukan di halte itu. Kecuali Bening setuju untuk menari atau Fatima setuju menyinden, suasana tidak akan lebih ceria dari itu. Tak bisa dibantah, bus TP 44 semakin krusial kedatangannya. 

“Ini hanya tebakanku saja. Tapi, bagaimana kalau bus itu mogok di tengah jalan?” ujar Kartinah.

Rupanya hal ini juga baru terpikirkan oleh Bening dan Fatima. Kecemasan menyeruak pada wajah mereka. Dalam hati Kartinah tersenyum. Akhirnya ia berhasil menyadarkan mereka betapa gentingnya situasi saat itu.

“Sebaiknya itu tidak terjadi,” sahut Bening. Suaranya tidak percaya diri.

“Kalau betul mogok, sampai kapan lagi kita harus menunggu? Aku yang pertama datang, aku sudah menunggu lebih lama dari kalian!” Fatima terdengar gugup.

Kartinah menyesal sudah mengacaukan perasaan kedua temannya. “Begini saja. Kalau sampai jam enam sore busnya tidak datang, kita naik bus yang lain dulu.”

Baca juga: (Bukan) Rumah untuk Semua (1)

Fatima berbisik, “Kita tidak tahu akan terbawa ke mana.”

Bening menambahkan, “Betul. Lebih bahaya kalau kita tidak tahu ada di mana!”

“Tapi…,” Kartinah sudah mau mendebat. Tapi, hanya itu yang dikatakannya. Ia tak tahu lagi harus mengusulkan atau membantah apa. Di akhir kata “tapi” itu terdengar suara klakson. Serentak tiga sekawan itu menengokkan kepala. Dari pertigaan baru saja membelok sebuah bus kecil. Kartinah berdebar-debar memicingkan mata untuk membaca nomor pada jendelanya. TP 44.

“Datang, Tin, datang!” Bening tertawa, mengguncang pundak Kartinah.

Ketiganya bangkit untuk berpelukan. Sementara itu bus mendekat dan berhenti. Pintunya terbuka. Mereka naik dengan berseri-seri, disambut sopir yang mengangguk ramah. Bus itu wangi dan bersih. Bangku-bangkunya berjajar satu-satu terpisah, masing-masing memiliki meja. Di atas setiap meja disediakan tisu basah dan brosur. 

Kartinah menemukan apa yang membuat bus itu wangi. Asalnya bukan dari pengharum ruangan artifisial. Ada vas berisi bunga-bunga sungguhan di bawa setiap bangku. 

“Kita duduk di bangku paling belakang saja,” ajak Fatima.

Bus itu berhenti beberapa lama. Tepat ketika Kartinah bertanya-tanya apakah kali ini busnya mogok betulan, sebuah seruan terdengar dari luar. Seorang perempuan tergesa-gesa naik dan mengucapkan terima kasih pada sopir karena telah mau menunggu.

Tiba-tiba Fatima mencengkeram lengan Kartinah. “Ternyata begitu!” ujarnya. “Tin, Ning, bus ini tidak datang terlambat, tapi menyesuaikan dengan kedatangan perempuan itu! Betul, kan, apa kataku tadi, Tin? Waktunya sudah pas!”

Mereka bertiga berdiri menyambut perempuan yang baru naik itu. Perempuan itu tampak bingung dan tak berani menatap lurus.

“Tidak perlu malu,” kata Bening lembut. “Kita tidak perlu malu lagi.”

“Siapa namamu?” tanya Fatima.

“Sumi,” jawab perempuan itu, yang kini mengangkat wajahnya.

“Sumi,” Fatima mengulang dengan ramah. Ia menggenggam erat tangan Sumi. “Semua sudah dibawa? Tidak ada yang ketinggalan?”

Sumi memperlihatkan tas tangannya. “Semua sudah ada di sini.”

“Untung kamu bisa mengejar. Bus ini kabarnya cuma ada sepuluh tahun sekali. Kalau tertinggal, harus menunggu sepuluh tahun lagi,” ujar Fatima.

Sopir pun menginjak gas. Pelan-pelan bus mulai beranjak. Sebentar kemudian gerbang pemakaman berikut nisan-nisannya hilang dari pandangan.

Fatima mengambil brosur di atas meja. “Ini. Bulan depan kita bisa datang ke sini, kalau kita mau.” Ia menunjukkan satu halaman dalam brosur itu.

Kartinah membaca judulnya. PAMERAN FOTO PARA IANFU, lalu keterangan di bawahnya, terbuka untuk umum.

“Kita datang ya? Siapa tahu ada foto-foto kita sewaktu remaja,” ajak Fatima.

“Ayo! Tapi aku lebih kangen melihat foto ibu dan bapakku,” sambung Bening.

Kartinah menatap brosur yang dipegang Fatima dengan gamang. “Apa kamu tidak takut, Fat?” tanyanya. “Tidak takut harus mengingat lagi masa-masa itu?”

Fatima mengernyitkan dahi seolah Kartinah menanyakan sesuatu yang sudah jelas. “Tentu takut,” jawabnya. “Tapi kita tidak sendiri. Kita sudah tidak sendiri lagi, Tin.”

Bus melaju dengan damai. Kartinah memperhatikan apa-apa yang melintas di luar jendela. Hatinya sudah tenteram.

Chandra Bientang adalah penulis kelahiran Jakarta. Pernah terpilih sebagai Emerging Writer di Ubud Writers & Readers Festival 2019. Ia telah menerbitkan dua novel thriller.



#waveforequality


Avatar
About Author

Chandra Bientang