Cinta Laura Kiehl, Dari Dunia Akting ke Aktivisme Sosial
Aktris Cinta Laura Kiehl kini aktif meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu sosial, terutama kekerasan terhadap perempuan.
Tiga belas tahun telah berlalu sejak aktris/penyanyi Cinta Laura Kiehl muncul sebagai gadis remaja dengan bahasa Indonesia beraksen Amerika Serikat yang kental, sampai dirisak satu negara karena pengucapan “ojyek dan becyek”. Kini Cinta berusia 26 tahun, dengan kemampuan akademis mumpuni, termasuk ijazah dari kampus Ivy League, dan beberapa film produksi Hollywood dalam portofolio aktingnya.
Tak hanya itu, ia juga menunjukkan perhatian pada isu-isu sosial. Sejak kepulangannya ke Indonesia tahun lalu, selain sibuk membangun kembali kariernya di dunia hiburan, Cinta juga sangat vokal menyuarakan isu-isu perempuan.
Ketika Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dicabut dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Dewan Perwakilan Rakyat, akun Instagram Cinta dipenuhi unggahan dengan tagar #SahkanRUUPKS. Dalam Instastory-nya Cinta tanpa ragu mengunggah alasan-alasan pentingnya RUU PKS ini disahkan, karena di Indonesia payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual masih belum ada.
Jika kebanyakan selebritas menghindari terlibat dalam isu-isu sensitif atau politis agar tidak diserang dari warganet, atau takut kehilangan endorsement, Cinta tanpa ragu mengadvokasikan isu-isu tersebut.
Dalam wawancara dengan Magdalene baru-baru ini, Cinta dengan nada emosional bercerita bagaimana ia melihat penanganan kasus kekerasan di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan dunia maju. Ia kemudian memutuskan pulang ke Indonesia dengan misi untuk menyebarkan kesadaran yang lebih luas akan pentingnya isu kekerasan yang selama ini masih disepelekan. Keseriusannya untuk terlibat dalam isu-isu kekerasan akhirnya membuat Cinta didapuk sebagai Duta Anti Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada Juli 2019 lalu.
Cinta membahas lebih lanjut tentang alasan-alasan yang mendorongnya untuk terlibat mengampanyekan isu sosial, serta penanganan kekerasan yang masih belum maksimal di Indonesia kepada Magdalene. Berikut cuplikan obrolan kami.
Magdalene: Cinta berkarya kembali ke Indonesia dengan branding yang sangat berbeda dari Cinta delapan tahun lalu. Apa yang mau Cinta representasikan dengan Cinta yang sekarang?
Cinta Laura: Jadi sejak aku pulang ke Indonesia banyak yang nanya, is this the new CLK? Aku bilang enggak, ini bukan Cinta yang baru. It’s the real Cinta. Kenapa sekarang aku lebih vokal dengan isu-isu sosial? Pertama, waktu aku mulai di dunia entertainment aku baru umur 12 tahun. Ninggalin Indonesia umur 17 tahun. Bisa dibilang aku masih anak-anak. Sebagai remaja pasti kita lebih banyak dikontrol oleh orang-orang di sekitar kita, seperti orang tua atau management, jadi ya jelas aku enggak “sevokal” sekarang karena aku masih anak-anak.
Kenapa secara musik beda banget? Karena lagu-lagu yang lama itu semua pilihan management. Semua pilihan label, aku enggak dilibatkan. So you couldn’t see my personality or my view of the world through my music, or through my movies, or through my craft. Itu semua adalah buatan industri. Akhirnya sekarang karena aku sudah dewasa dan punya kekuatan untuk fight back tanpa harus minta orang tua bantuin. Sekarang aku bilang ke label kalau aku kembali ke dunia musik aku hanya ingin membuat musik yang representatif dengan personality aku yang sesungguhnya.
Baca juga: Cinta Laura Kiehl, Tentang Indonesia dan Hollywood
Secara kualitas, kenapa bisa beda jauh, karena dari music arrangement aku ikut campur tangan. Dari lirik, aku ikut nulis atau nulis sepenuhnya. Dari pembuatan video klip secara konsep itu semua ide aku dengan bantuan tim aku. Jadi kenapa dari segi kualitas itu berbeda banget karena untuk pertama kalinya aku bisa menunjukkan siapa aku sebenarnya ke masyarakat Indonesia.
Ada masa di mana aku merasa down karena aku mikir udah delapan tahun nih, kenapa orang-orang masih mikir Cinta yang dulu, padahal ini Cinta yang sebenarnya. I worked so hard to show people who I really am. Pada akhirnya aku ingetin lagi diriku sendiri, who cares what people think, you don’t need to prove yourself to other people, as long as you’re happy. Aku merasa lebih bahagia dengan karya-karya aku dan untuk pertama kalinya aku merasa bangga dengan karya-karya aku.
Apa yang mendorong Cinta untuk masuk ke dunia aktivisme?
Kalau kita ngomongin hak-hak perempuan dan anak atau kekerasan terhadap perempuan dan anak, sebenarnya aku sudah passionate tentang hal itu sejak kecil. Tapi waktu kecil karena aku masih polos enggak tahu cara yang tepat untuk mengekspresikan pikiran aku gimana.
Sekarang aku sudah tahu cara mengekspresikan opiniku. Selama delapan tahun di Amerika aku melihat sesuatu yang benar-benar membuka mata aku, yah biarpun tidak ada negara yang sempurna. Aku melihat di negara seperti Amerika, atau beberapa negara di Eropa, kalau seseorang mengalami kekerasan, pemerintah punya tanggung jawab untuk memberikan korban itu pengacara gratis, social helper gratis yang membantu mereka bangkit kembali secara mental dan fisik. Basically they get so many facilities to slowly recover and heal.
Tapi ya seperti yang aku bilang, bukan berarti sebagai negara Amerika itu perfect, enggak sama sekali. Banyak juga korban yang juga enggak pernah mendapatkan justice. But I do see a good amount of people getting help dan itu udah one step forward.
Nah, di Indonesia yang bikin aku sangat sedih adalah kebanyakan korban enggak pernah speak their truth. Enggak pernah berbicara apa-apa karena banyak faktor kenapa mereka takut. Selain stigma, selain kemungkinan di-bully, masih banyak orang yang menganggap mereka gimana-gimana. Polisi juga kadang-kadang enggak kooperatif. Mereka enggak bisa mendapatkan keadilan yang mereka patut dapatkan. Itu yang akhirnya membuat aku benar-benar mikir I can’t let this happen. Maybe I won’t be able to change the situation but I can start the movement.
At the end of the day, revolusi kan terjadi dengan memulai terlebih dahulu. Mungkin aku enggak bisa mengubah dunia ini atau mengubah Indonesia. Tapi at least aku ingin bantu untuk memulai proses itu. As I said before itu salah satu alasan kenapa aku pindah ke Indonesia lagi. Meskipun aku tahu banyak orang-orang yang sudah memperjuangkan tapi kalau lebih banyak orang yang mau terlibat, lebih banyak awareness yang bisa disebar. Semoga bisa membuat proses ini lebih cepat lagi.
Revolusi terjadi dengan memulai terlebih dahulu. Mungkin aku enggak bisa mengubah dunia ini atau mengubah Indonesia. Tapi at least aku ingin bantu untuk memulai proses itu.
Cinta ini baru dinobatkan sebagai Duta Anti-Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan, bisa dijelaskan bagaimana prosesnya?
Setelah aku melihat perbedaan Indonesia dengan Amerika, apa yang harus terus dikembangkan di Indonesia, akhirnya aku dan Mama aku langsung membuat meeting dengan Ibu Yo (Yohana Yembise) yang saat itu masih menteri KPPPA.
Setelah aku meeting dengan dia dan sharing isu-isu yang menurutku sangat relevan dan juga pengalaman aku di Amerika, akhirnya dia bilang, “Wow baru pertama kalinya saya denger orang muda yang sangat passionate dengan hal-hal ini dan enggak takut membicarakannya”. Kemudian dia menawarkan gimana kalau jadi duta anti kekerasan terhadap perempuan. Aku serta mamaku merasa ini kesempatan bagus untuk speak out. Akhirnya kita sepakat untuk membantu apa yang bisa dibantu oleh aku bersama kementerian.
Kampanye apa saja yang sudah dilakukan oleh Cinta bersama KPPA dan apa momen yang paling berkesan?
Sebagai duta, misi aku di tahun pertama, atau mungkin dua tahun ke depan, adalah membuat awareness yang kuat. Kenapa aku selalu ngomongin awareness? Karena untuk kita bisa mengatasi isu kekerasan adalah dengan terus-terusan mengedukasi masyarakat Indonesia akan hal ini.
Bagaimana kita bisa membuat perempuan, juga laki-laki Indonesia, mendukung isu ini dan berjuang bareng kita kalau masih banyak dari mereka yang enggak tahu kekerasan itu apa dan kekerasan itu ada tipe-tipe apa aja. Mereka enggak tahu harus ke mana ketika mengalami kekerasan. Kebanyakan orang Indonesia masih belum tahu informasi tentang kasus kekerasan.
Beberapa waktu lalu aku melakukan kegiatan dengan Komnas Perempuan, dan masih banyak perempuan yang enggak sadar kalau mereka mengalami kekerasan. Yang membuat aku shock adalah kenapa program-program pemerintah dan NGO lain belum terlalu menyebar luas karena funding atau budget. According to my research, di Indonesia, KPPPA hanya menerima anggaran sekitar Rp500 miliar per tahun. Mungkin itu kedengaran besar tapi di negara seperti Amerika, anggarannya….ini kita berbicara hanya untuk aktivitas sosial, untuk membuat awareness soal isu-isu kekerasan itu anggarannya Rp1 triliun. Jadi itu udah melebihi apa yang didapatkan Kementerian.
Bayangin, kementerian mereka untuk dapat hal ini dapat berapa? Probably even more. So we are very underfunded. Itu yang membuat aku sedih. Karena dana yang sangat sedikit, volunteers kadang enggak bisa membantu korban kekerasan. Ya, misalkan mereka ini di NTT. Kekerasan di sana tinggi sekali, tapi gimana volunteer mau terbang ke sana dan disambung naik perahu untuk tempat-tempat terpencil kalau enggak ada dananyas. Dana itu bukan dipake untuk diri sendiri. They needed it to help women. So it just breaks my heart.
Kementerian dan organisasi kemanusiaan di Indonesia itu sangat kurang anggarannya. Mereka perlu banyak uang untuk membantu perempuan-perempuan yang menjadi korban. The money is not for the volunteers, the money is to help the victims. Ini bagiku menunjukkan bahwa kepedulian-kepedulian di Indonesia itu masih minim banget. Makanya anggarannya pun sedikit sekali. Tugas aku sebagai duta adalah membuat awareness yang kuat dan mengedukasi tentang isu kekerasan ini. If you don’t understand the issue, how can you do anything.
Baca juga: Cinta Laura Kiehl, Soal Tantangan Sebagai Perempuan dan Dukungan terhadap LGBT
Menurut Cinta, apa hal-hal fundamental yang perlu dibenahi oleh Indonesia untuk penanganan kasus kekerasan?
Sekarang orang lagi stres dengan COVID-19, tapi sadar enggak sih kekerasan itu adalah pandemic yang sudah ada sejak lama. Berdasarkan data UN Women, 35 persen dari populasi perempuan di dunia pernah mengalami suatu kekerasan, dan di Indonesia pun kenapa masih tinggi sekali, sebetulnya dari dulu sudah tinggi. Tapi seperti yang kita bahas tadi, people are scared to speak up.
Masih banyak kasus kekerasan yang tidak tercatat. Aku percaya sebenarnya angka kekerasan jauh lebih tinggi dari apa yang kita lihat di statistik yang selama ini disodorkan. Banyak korban merasa malu kalau kekerasan terjadi kepada mereka karena di sini masih banyak situasi yang menyalahkan korban. Victim blaming is a huge issue.
Balik lagi ke jawaban aku yang sebelumnya, itu semua berawal dari edukasi. Kalau dari kecil anak-anak perempuan dan laki-laki sudah diajarin soal kesetaraan gender, bagaimana menghargai satu sama lain, aku rasa kita bisa secara perlahan membuang stigma yang ada di negara ini tentang korban. Kita bisa membuang shame yang ada karena kasus kekerasan.
Ingat ya, masih banyak korban yang feel ashamed when they experience abuse and that is so sad. Harusnya mereka enggak pernah merasakan hal itu. Mereka enggak mendapatkan informasi yang cukup dan banyak orang yang masih belum mengerti soal isu kekerasan. Masih banyak orang yang berpikir bahwa kekerasan yang mereka alami itu adalah normal dalam relationship atau dalam hidup.
Contohnya marital rape. A lot of women in this country don’t realize that your husband can rape you. Pemerkosaan itu enggak selalu terjadi saat ada orang asing memaksakan diri mereka ke orang tersebut. Your husband can rape you, your boyfriend can rape you. It can be anybody, termasuk orang dalam keluarga kita.
Itu kan mengerikan, bahwa banyak perempuan merasa itu adalah hal yang normal. Mendidik anak sejak dini tentang apa itu kesetaraan gender membuat hal-hal tidak seharusnya dilakukan atau dikatakan itu bisa diminimalisir. Media kita, misalnya, kadang-kadang masih suka bercanda tentang tubuh perempuan. Padahal itu seksis dan enggak boleh.
Baca lanjutan wawancara dengan Cinta soal tantangan menjadi perempuan dan dukungan terhadap LGBT.