Cinta Laura Kiehl, Soal Tantangan Sebagai Perempuan dan Dukungan terhadap LGBT
Aktris Cinta Laura Kiehl tidak ragu bicara soal hak perempuan dan dukungan terhadap LGBT.
Pada Juni lalu, Magdalene mengangkat kisah Hendrika Mayora, transpuan pertama yang menjadi pejabat publik di Indonesia. Artikel tersebut direspons banyak pihak, termasuk media yang menindaklanjuti artikel tersebut. Tapi saya tidak menyangka bahwa aktris Cinta Laura Kiehl akan me-repost-nya. Jarang sekali selebritas di Indonesia yang berani secara terbuka menyampaikan dukungannya kepada komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT). Tapi Cinta mengekspresikan dukungannya dengan menulis “We Stand Together” di instastory-nya.
Sehari sebelum wawancara kekhawatiran bahwa Cinta tidak mau menjawab pertanyaan saya tentang isu LGBT sempat terlintas. Namun setelah dihubungi kembali Cinta mengatakan dengan ringan jika ia sama sekali tidak keberatan buka suara tentang dukungannya terhadap komunitas LGBT. Menariknya, obrolan kami tidak berakhir dengan pernyataan normatif kebanyakan orang yang bermain “aman” seperti, “Ya saya menghargai kehadiran LGBT tapi tidak mendukung ‘gaya hidup’ mereka”. Cinta justru bersikukuh jika ia memiliki argumen yang jelas di balik dukungannya. Bagi saya keberanian Cinta sebagai selebritas patut diacungi jempol.
Berikut rangkuman obrolan saya dengan Cinta baru-baru ini.
Magdalene: Beberapa waktu lalu Cinta sempat me-repost artikel Magdalene tentang Hendrika Mayora, transpuan pertama yang menjadi pejabat publik. Di Indonesia itu kan isu LGBTQ sangat sensitif, apa Cinta tidak takut diserang?
Aku sangat suka dengan artikel itu dan aku sangat suka dengan artikel Magdalene karena you guys really speak the truth. Kalau masalah LGBT ini takut apa enggak, absolutely not. I know what I believe in and I know my argument is valid.
Belum lama ini aku melihat Instagram post soal rasisme. Di sana menggambarkan ada dua telor, yang satu cokelat dan yang satu kuning. Saat kita buka isinya, sama-sama aja putih telor dan kuning telor. Aku rasa analogi itu bisa kita pakai untuk membandingkan orang-orang heteroseksual yang dianggap “normal” dengan LGBTQ. At the end of the day, we are all human. Mau kita LGBTQ atau bukan we are all human, kita punya kromosom yang sama.
Baca juga: Cinta Laura Kiehl, Tentang Indonesia dan Hollywood
Dalam kehidupan personal, aku banyak sekali punya teman-teman yang merupakan bagian dari komunitas LGBTQ dan mereka professionally bekerja denganku. Kalau syuting banyak dari teman-temanku yang bagian dari mereka and I love them. Banyak dari mereka adalah orang-orang yang menurutku sangat pintar, sangat kreatif, sangat sukses. Indonesia pun punya sutradara yang sangat sukses and proudly speaks he’s gay. I’m not gonna mention him but we all know who he is. Dia adalah salah satu sutradara Indonesia terbaik.
Balik lagi ke pertanyaan awal, satu hal yang sangat membuat Indonesia berubah adalah, aku melihat orang-orang melupakan jati diri sebagai orang Indonesia. Selain Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang membuat kita satu, dalam budaya Indonesia pun, seperti dalam film Kucumbu Tubuh Indahku itu ada penari reog yang kalau nari pura-pura jadi perempuan, itu dari dulu sudah ada budaya seperti itu, dan orang Indonesia jaman dulu tidak mempermasalahkan hal itu.
Emang mereka bilang, “Oh my God he’s LGBT!” kan enggak, malahan mereka menerima hal itu dan melihat itu sebagai sebuah karya yang indah. Aku juga pernah nonton dokumenter tentang laki-laki yang satu bulan sekali harus bertransformasi jadi perempuan untuk kebutuhan ritual dan spiritual di Kalimantan sana. Bisa dilihat dalam budaya Indonesia, kita sebetulnya sangat-sangat toleran terhadap orang-orang yang gender fluid dan orang-orang yang punya sexual orientation yang berbeda. Jadi aku rasa stigma terhadap LGBTQ community adalah sebuah konstruksi sosial yang menjadi semakin kuat dan semakin enggak toleran baru mungkin 10-20 tahun terakhir ini.
Apakah selama ini pernah diserang warganet?
Surprisingly aku belum pernah mendapatkan backlash dari fans aku terhadap artikel Magdalene. Kalaupun ada backlash, it’s people right to have their own opinions. Kalau mereka enggak suka, mereka punya pilihan untuk mengabaikan aja. Kalau mereka mau menjelek-jelekkan aku, that’s their problem. Tapi aku tahu apa yang aku tahu dan aku punya argumen dan evidence yang kuat. For me we are all human, dan kalau kita menghargai satu sama lain, enggak membuat orang lain menjadi negatif. Gender fluidity dan sexual orientation itu bukan sesuatu yang harusnya jadi masalah yang ditangani oleh publik maupun pemerintah. We have our own personal life. Sama seperti agama, mau kita Islam, Buddha, Kristen, Hindu, itu hak kita. Kita selalu punya hak untuk percaya apa yang kita yakini.
Perempuan itu 50 persen dari populasi di Indonesia. Kalau kita mengalami kekerasan, terancam, implikasinya adalah kita bisa terganggu secara mental, tidak bisa jadi orang-orang sukses. Kalau ditarik dari segi ekonomi Indonesia enggak bisa maju.
Bagaimana Cinta menyikapi kekerasan gender berbasis online dan cyberbullying?
Satu hal yang perlu dipahami itu adalah sistemis. Kita hidup di masyarakat yang sangat patriarkal. Banyak perempuan yang hidup dan percaya bahwa mereka harus hidup sesuai norma gender mereka. Dan mereka harus melaksanakan kewajiban mereka. Ketika ada kekerasan semacam itu mereka enggak tahu harus berbuat apa.
Buat aku, untuk menangani hal itu ketika terjadi pada kita, itu pertama kita bisa screenshot agar kita punya bukti untuk melaporkan. Aku tahu ada ketakutan ketika ingin melaporkan karena lingkungannya yang tidak mendukung. Kadang polisi pun masih melakukan victim blaming. Jadi kita harus terus mendorong pemerintah agar peduli akan itu semua. Enggak cuman masyarakat biasa tapi juga yang punya kekuatan seperti polisi, militer, dan pemerintah.
Karena kalau orang-orang di atas enggak peduli gimana orang-orang di bawah bisa mencari bantuan. Selalu ingat ada rumah aman yang akan membantumu, bisa hubungi lembaga-lembaga yang bersangkutan. Kalau kita lihat di social media, misalnya di Twitter saat kita ketik KDRT, kekerasan dalam pacaran atau kekerasan akan ada langsung simbol kayak headline lembaga-lembaga yang bisa membantu kita.
Menurut Cinta, apa tantangan terbesar menjadi perempuan di Indonesia?
Tantangan terbesarnya adalah membuat perempuan Indonesia sadar bahwa korban itu enggak pernah salah. Bagaimana untuk mendorong mereka speak up. That’s a big obstacle. Hal itu tidak bisa kita selesaikan sepenuhnya sampai kita bisa mengedukasi masyarakat tentang apa yang ada dalam isu ini sebenarnya.
Kalau personal obstacle sebagai perempuan adalah untuk membuang mindset peran gender normatif seperti perempuan hanya boleh masak, menikah, atau punya anak. Membuang nilai-nilai itu dan sadar bahwa sebagai perempuan kita punya pilihan. Entah menjadi pemimpin atau mengejar impian.
Di tingkat komunitas, tantangannya kita harus bisa membuat orang lebih peduli tentang isu ini, karena ini kan isu kemanusiaan. Bagaimana membuat orang sadar bahwa kekerasan itu seperti COVID-19, bisa menyebar luas dan punya dampak yang buruk bagi masyarakat. Ingat, perempuan itu 50 persen dari populasi di Indonesia, kalau kita mengalami kekerasan implikasinya adalah kita bisa terganggu secara mental. Mungkin bisa kehilangan rasa percaya diri, atau merusak masa depan, dan 50 persen perempuan itu terancam tidak bisa jadi orang-orang sukses. Kalau ditarik dari segi ekonomi sama aja Indonesia enggak bisa maju.
Baca juga: Cinta Laura Kiehl, Dari Dunia Akting ke Aktivisme Sosial
Selain isu perempuan dan lingkungan, Cinta juga memiliki kepedulian terhadap isu pendidikan, dan salah satu wujudnya adalah keluarga Cinta memiliki yayasan pendidikan sendiri. Bisa ceritakan soal ini?
Keluarga aku dari Mama aku, nama keluarganya Soekarseno. Pada 2004 keluarga aku membuat foundation yang namanya Soekarseno Peduli Pendidikan. Dari dulu hingga sekarang misinya adalah membangun sekolah-sekolah di daerah Bogor. Kenapa Bogor? Dulu aku punya rumah di Bogor dan aku percaya setiap agama mengajarkan kita untuk membantu pertama-tama orang-orang di sekeliling kita. Setelah kita lihat ternyata banyak sekolah-sekolah di kaki Gunung Salak yang benar-benar dalam kondisi tidak layak. Ada yang gentengnya mau roboh dan kurikulumnya masih ngikutin tahun 80-an padahal waktu itu sudah tahun 2000-an.
Kita banyak kerja sama dengan organisasi-organisasi di Indonesia dan juga luar negeri untuk mencari dana dan membangun sekolah. Kini kita sudah punya 10 SD dan 1 SMP semua di daerah kaki Gunung Salak. Kita sudah membantu 4.000-an anak. Bagiku pendidikan bukan cuman bisa memutus rantai kemiskinan tapi juga rantai kekerasan.
Sangat menarik melihat video Cinta di YouTube yang memperlihatkan kamar sederhana, tidak banyak barang/baju. Sangat bertolak belakang dengan gaya hidup jorjoran, tidak hanya selebritas, tapi masyarakat kelas atas pada umumnya. Bagaimana Cinta sampai memiliki sikap hidup seperti ini?
Aku sangat beruntung karena aku tumbuh besar di keluarga yang secara finansial sangat baik. Aku bisa mendapatkan semua fasilitas yang aku perlukan. Tapi aku sangat bersyukur karena Papa aku adalah orang yang sangat disiplin dan dari kecil dia ngajarin aku betapa berharganya uang. Sejak kecil aku diajarin kalau kita mau mendapatkan sesuatu, kita harus kerja keras dulu. Jadi beda dengan anak-anak yang dimanjain. Aku dulu enggak bisa hanya minta uang. Aku harus ngelakuin dulu sesuatu sebelum dapat itu.
Waktu kecil mungkin bete, tapi setelah dewasa aku ngerti kenapa Papa melakukan itu. Mungkin karena didikan itu aku jadi enggak peduli dengan barang-barang materialistis. Jadi bedakan antara apa yang diinginkan dan kebutuhan. Sesuatu yang diinginkan itu belum tentu dibutuhkan. Bagi sebagian orang ,apa yang mereka inginkan itu bisa berupa barang, kalau aku apa yang aku inginkan itu ya karier yang sukses. Aku juga pingin agar semua orang mempunyai kesempatan yang sama dan bebas dari kekerasan.Makanya aku bergabung dengan aktivisme karena itu yang aku inginkan. Sedangkan yang aku butuhkan seperti makan dan hidup layak itu sudah aku dapatkan.