Realita, Cinta, dan Dunia ‘Roleplay’
Jauh sebelum film Her (2013) memperlihatkan kemungkinan cinta antara manusia dan kecerdasan buatan, dunia roleplay di X (dulu Twitter) sudah lebih dulu menjadi ruang tempat koneksi emosional tumbuh tanpa batas nyata. Di dalam dunia yang sepenuhnya virtual ini, para roleplayer menjalin hubungan, merasakan cinta, dan bahkan melangsungkan pernikahan, semua dalam balutan identitas yang anonim dan cair.
Roleplay, atau permainan peran, bukanlah hal baru. Konsep ini berakar dari dunia teater dan gim, namun mendapat definisi sosial yang lebih kompleks lewat pemikiran Erving Goffman, sosiolog yang menyebut individu sebagai aktor sosial yang memainkan berbagai peran dalam panggung kehidupan. Dalam dunia digital, panggung itu diperluas, atau mungkin justru dipersempit, menjadi lini masa dan pesan langsung (DM).
Dalam konteks ini, roleplayer adalah pengguna yang mengambil identitas tokoh atau idol favorit, biasanya dari dunia K-pop atau anime, dan berinteraksi dengan pengguna lain melalui narasi yang mereka ciptakan sendiri. Permainan ini bersifat anonym, dengan para pemain menyamarkan identitas asli, menggunakan nama dan persona tokoh yang mereka mainkan. Seperti bermain The Sims, mereka bebas menjadi siapa pun, termasuk mencoba peran dengan gender berbeda dari gender asli mereka. Di dunia ini, istilah transgender roleplayer (TG) merujuk pada roleplayer yang memerankan karakter dengan gender berbeda dari identitas aslinya.
Baca juga: Selamat Datang di ‘Alterland’: Tempat Cinta dan Perang Jadi Satu
Eksperimen gender dalam dunia virtual
Pertanyaan tentang bagaimana dunia maya mengakomodasi kecairan gender membawa saya pada obrolan panjang dengan “Irene”, seorang teman yang sudah aktif sebagai roleplayer di Twitter selama lebih dari sepuluh tahun. Selama itu, ia telah mengganti karakter sebanyak tujuh kali—semuanya idol perempuan, mengikuti tren girlgroup K-pop yang sedang naik daun. Tapi ia juga memiliki akun lain sebagai Sehun, idol laki-laki dari grup EXO.
Menariknya, gaya komunikasinya berubah total tergantung karakter yang ia perankan. Ketika menjadi idol perempuan, ia mengetik panjang, penuh emotikon. Sebaliknya, saat memerankan Sehun, ia mengetik pendek-pendek tanpa emoji, dengan gaya lebih “dingin”.
Ini mengingatkan saya pada konsep performativitas gender dari pemikir feminis Judith Butler, bahwa gender bukanlah identitas tetap, melainkan sesuatu yang ditampilkan dan dibentuk melalui pengulangan. Di media sosial, performa ini terlihat dari cara mengetik, memilih kata, hingga interaksi yang ditampilkan.
Namun, Irene tak pernah merasa bahwa memainkan tokoh laki-laki membuatnya ingin menjadi laki-laki di dunia nyata. “Aku tetap perempuan, tapi ya harus menjiwai aja kalau jadi TG,” katanya.
Berbeda dengan Irene, dua responden lain yang saya wawancarai—“Dowoon” dan “Johnny”—sudah lama memerankan karakter laki-laki dalam RP, meskipun di dunia nyata mereka perempuan. Mereka mengaku bahwa gaya cuek dan sikap tsundere (dingin di luar, hangat di dalam) lebih disukai oleh roleplayer perempuan daripada karakter yang terlalu ramah. Dalam banyak kasus, performa maskulinitas mereka diterima dan bahkan dirayakan dalam dinamika interaksi RP.
Bagi ketiganya, membangun hubungan secara virtual terasa jauh lebih mudah daripada kencan di dunia nyata. Tidak ada tatapan fisik, tidak ada tekanan performa tubuh atau status sosial. Seperti yang dikemukakan Lea dan Spears (1995), ketidakhadiran sinyal fisik dalam pertemuan daring menciptakan ruang yang lebih bebas untuk membangun koneksi emosional. Identitas seperti umur, jenis kelamin, atau daya tarik tubuh tidak langsung terekspos, memungkinkan hubungan berkembang dari isi percakapan, bukan penampilan.
Ketiganya pernah menjalin hubungan asmara dengan sesama roleplayer selama lebih dari satu tahun. Namun, tidak satu pun dari mereka yang pernah bertemu langsung atau membuka identitas asli kepada pasangan mereka. Cinta tetap tumbuh dalam batas ruang siber, lengkap dengan dinamika posesif, pertengkaran, dan kerinduan.
Baca juga: Saat Kita Jatuh Cinta dengan ‘Pacar AI’ dan Sexbot
Pernikahan virtual: Bentuk cinta baru?
Tak hanya berpacaran, sebagian roleplayer bahkan memilih melangsungkan pernikahan virtual. Saya sempat “menghadiri” salah satu pernikahan tersebut yang digelar oleh akun event organizer RP, @EO_castle. Seperti pernikahan sungguhan, acara ini dirancang serius: ada MC, pengisi acara, bridesmaid, bahkan “katering” digital. Semua berlangsung selama 2–3 jam dalam bentuk utas, dengan mention ke akun pengantin, teman-teman, dan keluarga maya.
Para tamu menggunakan fitur mention dan retweet untuk menunjukkan kehadiran. EO juga menyediakan background photobooth digital yang bisa diedit oleh para tamu, menciptakan ilusi kehadiran fisik dalam sebuah acara yang sepenuhnya virtual.
Yang mengejutkan, bisnis EO roleplay ini cukup menjanjikan. Jadwal mereka sudah penuh hingga Agustus 2025. Meski tidak memungut bayaran dalam bentuk uang, EO menetapkan syarat promosi dua kali di lini masa dengan copywriting persuasif. Calon pengantin bisa memilih tema pernikahan dari katalog yang tersedia—romantis, klasik, hingga eksperimental.
Pernikahan virtual dinilai sama seriusnya dengan pernikahan sungguhan. Setiap individu dalam hubungan harus meluangkan lebih banyak waktu untuk berinteraksi secara intens. Keputusan ini diaku Irene didorong oleh multifaktor. Ada yang ingin setidaknya merasakan pernikahan virtual dan sudah terlalu “cinta” kepada pasangan roleplayer sehingga memutuskan lebih baik menikah daripada hanya berpacaran.
Namun, cinta virtual tidak serta merta menghapus kesepian. Irene, Dowoon, dan Johnny sepakat bahwa tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran dan percakapan nyata. Dunia RP memberi ruang aman untuk berekspresi, tapi tetap ada batas yang tak bisa dilewati.
Baca juga: Sisi Gelap Roleplay: Celah Rentan Terjadinya KBGO
Kini, ketika chatbot AI makin canggih dan bisa meniru hubungan antarmanusia, muncul pertanyaan baru: akankah dunia roleplay tergantikan? Akankah cinta virtual semakin terotomatisasi dan dikomodifikasi?
Jawabannya belum jelas. Tapi satu hal pasti: di dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, ruang alternatif seperti RP menjadi tempat bagi banyak orang untuk merasa, mencoba, dan mencintai, dengan cara yang mungkin lebih jujur daripada dunia nyata.
Saraswati N masih bermimpi melihat Kim Taeri dan Yoo Ah-in dalam proyek yang sama. Menggalang dukungan untuk pendidikan perempuan muda di @beasiswapersaudarian.
















