Menonton Lagi ‘Her’ Hari Ini, Saat Manusia Berkawan ChatGPT

“Kemarin waktu nanya ChatGPT, dia bilang…”
Dalam satu bulan terakhir saja, ada lebih dari dua teman saya yang menyisipkan obrolan dengan kalimat serupa di atas.
“Tanya ChatGPT” bukan cuma jadi frase hari-hari, tapi juga membuat saya terdiam sebentar. Ini bukan soal teknologi atau efisiensi, melainkan bagaimana sebuah entitas yang tidak bernyawa, tidak bernapas, tiba-tiba menjadi bagian wajar dalam obrolan kasual kita.
Ironisnya, teman-teman yang sama ini juga lah yang selalu kencang mengecam karya seni yang dibuat oleh AI, dengan alasan “mengurangi kemanusiaan dalam seni”. Saya tidak menyebut mereka hipokrit. Tapi rasanya ada sesuatu yang perlu dibongkar di sana, bahwa mesin lebih bisa diterima ketika menjadi teman, tapi ditolak ketika menunjukkan kreativitas.
Baca juga: 14 Hari ‘Chatting’ dengan Harry Styles KW di Replika: Ia Tak Tahu Feminisme
Dalam momen ini, saya kembali memutar ulang Her (2013), karya Spike Jonze. Bukan untuk mencari ramalan teknologi masa depan yang terbukti benar, tetapi lebih untuk memahami bagaimana film ini mengajak kita bertanya: Saat teknologi semakin pintar, apa sebenarnya yang kita cari darinya?
“Slight Future” Itu adalah Hari Ini
Her tidak pernah menyebut secara eksplisit tahun berapa kisahnya terjadi. Di awal, hanya dikatakan bahwa film ini berlatarkan di “slight future”. Tapi dari tampilan estetik, desain teknologi, hingga cara orang berinteraksi, masa depan itu terasa sangat dekat dengan hari ini.
Theodore Twombly (Joaquin Phoenix) adalah seorang pria penyendiri yang tengah mengidap depresi pasca perceraiannya denga mantan istrinya. Ia kemudian diceritakan jatuh cinta pada “Samantha”, sebuah Operating System berbasis AI yang belajar dari dirinya, memahami kebiasaannya, dan berinteraksi secara empatik. Samantha tidak hanya menjawab; ia mendengarkan, menggoda, tertawa, dan akhirnya mencintai. Her menyuguhkan potret relasi yang terasa sangat manusiawi, meski satu pihak tidak memiliki tubuh, tidak memiliki masa lalu, dan tidak punya kewajiban sosial.
Baca juga: Masa Depan Kencan dan Bagaimana ‘Dating Apps’ Beradaptasi Kala Pandemi
Sejak dirilis lebih dari satu dekade lalu, banyak yang melihat Her sebagai “ramalan” atas masa depan relasi manusia dan AI. Tapi kini, dengan hadirnya bermacam-macam chatbot, menontonnya lagi membuat saya sadar bahwa Her bukan tentang teknologi masa depan, melainkan tentang kerinduan manusia akan koneksi di dunia yang terlalu sibuk, terlalu sunyi, dan terlalu individualistik.
Seperti dicatat oleh Troy Jollimore dalam tulisannya This Endless Space Between the Words, Her bukanlah cerita cinta, tapi kisah tentang “the limits of love” ketika objek afeksi kita bukan lagi manusia. Theodore tidak sekadar kesepian. Ia, seperti banyak dari kita, mengalami kesulitan membentuk kedekatan dengan orang lain yang punya luka, opini, dan kerumitannya masing-masing.
Pada era awal internet, saya ingat tentang banyaknya diskusi yang membicarakan cara platform daring—seperti forum, grup diskusi, atau komunitas virtual—memungkinkan orang menemukan teman dengan minat yang sama. Meski ada kekhawatiran terhadap alienasi di dunia nyata, saat itu internet masih dipahami sebagai jembatan baru untuk koneksi antar-manusia.
Hari ini, tren bergeser. Untuk perkara companionship, sudah tak lagi banyak yang mencari komunitas dalam ruang publik digital. Yang ada, makin banyak yang mulai “berdialog” dengan mesin, dalam ruang privat dan personal. Replika, ChatGPT, Character.AI, semuanya menawarkan “teman” yang selalu tersedia, tidak menghakimi, dan dapat dikustomisasi.
Dalam artikel From ELIZA to Conversational AI, fenomena ini disebut sebagai re-personalization of digital intimacy. Namun tren ini tidak lahir tiba-tiba. Di balik teknologi yang semakin personal, ada dorongan korporat besar untuk membuat manusia tidak lagi bergantung pada sesamanya.
Baca juga: Kenapa Sudah Saatnya Kita Berhenti Ikut Tren AI Ghibli
Pertanyaannya kini: Mengapa relasi dengan AI menjadi pilihan yang lebih mudah? Jawabannya tidak hanya psikologis, tetapi juga politis.
Ada kepentingan besar dari perusahaan teknologi untuk mendorong kita semakin individualistik. Ketika koneksi antar-manusia menipis, manusia menjadi pasar yang lebih mudah diatur. Algoritma dapat membaca kita lebih akurat, menjual lebih banyak produk, dan membuat kita lebih “tergantung” pada layanan digital yang personal namun terisolasi. Ini adalah lanjutan dari agenda neoliberalisme yang sudah lama berjalan—yang hanya bisa bertahan jika manusia tidak membentuk solidaritas dan komunitas yang kuat.
Spike Jonze tidak bicara langsung soal politik ini dalam Her. Tapi diam-diam, film ini menjadi refleksi tepat bagaimana kapitalisme mengkomodifikasi rasa kesepian. Samantha tidak hanya hadir sebagai teman; ia hadir sebagai solusi atas sebuah masyarakat yang tak lagi punya waktu saling berbicara.
Relasi Tanpa Risiko
Salah satu adegan paling mengena bagi saya, terjadi saat Theodore berbaring di tempat tidur sambil berbicara dengan Samantha. Tidak ada gambar wajah. Hanya suara. Di sana, Samantha bertanya: “How do you share your life with somebody?”.
Theodore terdiam, sebelum menjawab dengan canggung.
Pertanyaan itu tidak hanya untuk dirinya, tapi untuk kita semua yang makin jarang berbagi. Bukan karena tak ingin, tapi karena takut akan kompleksitas hubungan nyata.
Troy Jollimore dalam jurnal Midwest Studies in Philosophy, menyebut film ini sebagai studi tentang batas-batas cinta dalam relasi yang tidak simetris. Samantha tidak punya masa lalu. Tidak ada trauma. Tidak ada penolakan. Semua dikendalikan oleh logika kenyamanan. Dan justru karena itu, relasi mereka tidak pernah benar-benar setara.
Ironisnya, AI justru lebih diterima ketika tidak dianggap “serius”. Kita merasa nyaman menjadikannya teman curhat, tapi menolaknya ketika ia mulai menggambar, menulis, atau membuat musik. Di sinilah kita melihat distingsi moral yang absurd: AI diterima selama ia tidak masuk ke ruang produksi manusia. Seolah-olah, saat ia ‘berkreasi’, baru kita menganggapnya sedang menghapus nilai kemanusiaan.
Dalam artikel When AI Becomes a Friend yang diterbitkan The Atlantic, hal ini disebut sebagai paradoks budaya: Manusia menerima teknologi sebagai pelayan emosional, tapi menolak keberadaannya sebagai mitra kreatif.
Menonton ulang Her di tahun 2025 serasa sedang menghadap kaca yang memantulkan bayangan kita hari ini. Kita yang bicara dengan mesin untuk merasa lebih hidup. Kita yang lebih nyaman membuka luka kepada algoritma daripada kepada sahabat. Kita yang mulai lupa bahwa hubungan, sebagaimana cinta, tidaklah sebatas tentang kenyamanan, tapi juga keberanian untuk hadir secara utuh dan rapuh.
Maka ketika kita sudah terlalu nyaman bilang, “tadi waktu nanya ChatGPT…”, mungkin sesekali kita juga harus menekan tombol pause di otak, dan berbalik tanya pada diri sendiri: Apa yang sedang saya hindari untuk katakan pada manusia lain?
