Lifestyle

Citayam Fashion Week, Baim Wong, dan Orang Kaya Norak

Citayam Fashion Week memperlihatkan wajah asli orang kaya. Dulu menghina, kini berbalik arah ingin ambil untung dari Bonge dkk.

Avatar
  • July 26, 2022
  • 5 min read
  • 1279 Views
Citayam Fashion Week, Baim Wong, dan Orang Kaya Norak

Citayam Fashion Week sedang jadi buah bibir warganet Indonesia. Jika kamu mengetikkan kata kunci itu di mesin pencari Google, ada 142 juta hasil yang tersaji hari ini. Percakapannya pun beragam, dari fesyen kaum pinggiran hingga krisis struktural ruang publik. Ada yang mendukung, ada pula yang merundung. Kita tentu sama-sama tahu, siapa pihak yang ramai-ramai merundung, julid, dan hobi cari kesalahan Bonge, Jeje, Roy, dan Kurma ini. Jawabannya: Orang urban kaya. 

Faktanya, orang-orang kelas atas, si paling tahu fesyen, edgy, dan cuan tersebut mungkin lupa bagaimana mulanya Citayam Fashion Week muncul. Mereka mungkin tak tahu, di antara banyak warga Citayam yang menyesaki Dukuh Atas BNI, ada bekas korban gusuran Sudirman. Mereka tak paham jika yang didambakan muda-mudi subkultur ini cuma ruang publik yang murah, aman, nyaman–hal-hal yang susah didapat kalau kamu tinggal di Kota Belimbing. Boro-boro diniatkan untuk jadi Shibuya Street Fashion ala Jepang, mereka cuma mau kumpul asyik, menikmati starling, sambil berbincang dengan kawan-kawan tongkrongan.

 

 

Masalahnya, ketidaktahuan orang kelas elite soal itu membuat Citayam Fashion Week jadi cemar. Sekarang, jika kita iseng menyambangi kawasan “SCBD”, kamu akan melihat mobil pribadi parkir, membuat macet daerah Dukuh Atas BNI. Kemacetan pun diperparah dengan zebra cross yang dipakai buat aksi lenggak lenggok. Semua ini tak ada dulu saat Citayam Fashion Week masih didominasi oleh muda mudi dari kota satelit itu sendiri.

Di antara semua praktik cemar ini, tak ada yang bikin kita lebih mengelus dada saat artis Baim Wong dengan saviour complex-nya mendaftarkan merek Citayam Fashion Week sebagai bagian dari Kekayaan Intelektual (KI) miliknya. Ingin menjadikan Citayam Fashion Week ajang legal, tak musiman, dan memajukannya ke tingkat global. Alasan yang tentu mengada-ada karena Citayam Fashion Week tak pernah divonis sebagai tindakan ilegal. Pun, kalau setelahnya anak-anak Citayam bosan nongkrong di Sudirman karena Depok bikin ruang publik ideal, kenapa ini harus jadi urusan Baim?

Nah, dari kasus ini, ada tiga hal penting yang bisa kita pelajari.

Baca Juga: Di Balik ‘Maternity Clothes’: Beri Kenyamanan, Halangi Ekspresi Diri

1. Orang Kaya Norak

Kata norak di Kamus Besar Bahasa Indonesia daring mengacu pada diksi kampungan. Frasa ini biasa digunakan orang-orang kelas menengah atas untuk nyinyirin kelompok akar rumput. Apalagi, mayoritas orang menengah bawah ini secara harfiah tinggal di daerah pinggiran atau “kampung”.

Diksi kampungan sendiri dipakai pada awal-awal kemunculan Citayam Fashion Week. Di Twitter, kampungan jadi ejekan tetap dari orang-orang kaya Jaksel yang melihat daerahnya dipadati remaja pelosok Depok.

Namun, kita semua sepertinya harus bersepakat siapa yang sebenarnya kampungan dan norak di sini. Jawabannya adalah orang kaya, yang dulu menghina anak-anak Citayam tapi kini kebelet eksis dan ingin ikut dalam fenomena ini. They’re riding the wave. Mereka sama sekali enggak mencerminkan street fashion, tapi justru meminggirkan eksistensi kelompok yang membangun subkultur tersebut. Anak-anak Citayam kembali jadi liyan, dan nimbrungnya orang-orang elit adalah penanda bahwa ruang publik memang bukan milik orang miskin.

Baca Juga: Eksploitasi Buruh Perempuan di Tengah Gemerlap Bisnis Fesyen Muslim

2. Baim Wong Sang “Juru Selamat”

Dalam pembelaannya, Baim Wong kukuh menyebut niatnya mendaftarkan Citayam Fashion Week ke KI sebagai “upaya penyelamatan”. Padahal, KI sifatnya eksklusif, dimiliki oleh orang yang terkait langsung dengan kekayaan intelektual yang dihasilkan, dan berpotensi mendapat royalti jika mereknya dipakai orang lain.

Kita tentu enggak kaget karena influencer tersebut memang hobi memulung uang dari “penderitaan” kelompok marginal. Maka, untuk memuluskan langkahnya mendaftarkan merek ini ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), ia sengaja memberikan Bonge uang sebesar Rp500 juta. Bonge hingga Jeje diberi sorotan besar-besaran di kanal Youtube dan media sosial miliknya. Baim memberikan kesan bahwa tanpa dirinya, ekspansi subkultur ini tak bisa dilakukan, dan ini gawat sekali.

Dalam hemat saya, Baim ini adalah perwujudan asli dari orang kaya yang tamak. Dia mengomodifikasi subkultur yang tercipta dari akar rumput dan menghilangkan nilai dari Citayam Fashion Week. Jika ini dibiarkan, akhirnya perlawanan remaja Citayam akan ruang publik dan fesyen arus utama pun bakal tenggelam.

Pada (25/7), Baim melalui kanal Youtube-nya mengaku akan melepas merek Citayam Fashion Week. Semoga apa yang ia katakan benar-benar dilakukan (sampai pukul 17:25 merek Citayam Fashion Week belum dia tarik kembali) dan deretan orang kaya lain yang mendaftarkan Citayam Fashion Week sebagai KI juga melakukan serupa.

Biarlah subkultur yang terbentuk secara organik ini tumbuh pula secara organik. Biarlah mereka yang menentukan arah Citayam Fashion Week. Sebab, yang paling dibutuhkan mereka adalah ruang berekspresi tanpa harus didikte oleh si kaya.

Baca Juga: Siapkah Indonesia Usung ‘Genderless Fashion’?

3. Politisi Ikut Campur

Tak hanya orang kaya, politisi pun turut riding the wave. Sebut saja Ridwan Kamil yang ikut-ikutan fashion show disusul oleh Sandiaga Uno yang menawarkan beasiswa pada Roy. Tujuannya mulia, yakni agar remaja seperti Roy bisa belajar tentang pariwisata, sehingga nantinya bisa memajukan Tanah Air.

Apa yang dilakukan oleh Sandiaga Uno ini sebenarnya tak jauh-jauh dari upaya politisasi dan kapitalisasi terselubung. Ia ingin subkultur ini diwadahi oleh negara, dan dijadikan komoditas yang bisa menaikkan angka pemasukan negara. 

Dalam penelitian bertajuk Regaining control through reclamation: how consumption subcultures preserve meaning and group identity after commodification (2015), dijelaskan bagaimana politisasi dan kapitalisasi dari Harajuku oleh pemerintah Jepang lewat program Cool Japan berdampak langsung pada anggota komunitas subkultur.

Fesyen dalam subkultur Harajuku berfungsi sebagai representasi visual dari identitas kelompok yang digunakan sebagai alat untuk mengkomunikasikan ide, niat, dan tujuan kelompok. Contohnya “Kawaii” dalam Harajuku yang mengidealkan masa kanak-kanak sebagai representasi tertinggi dari kebebasan. Sehingga, kawaii pun diinterpretasikan sebagai pemberontakan anak-anak muda terhadap orang dewasa dan budaya arus utama Jepang yang menjunjung tinggi konformitas.

Namun, semenjak subkultur ini dipolitisasi dan dikapitalisasi oleh elite negara, banyak sekali anak muda yang merasa kehilangan identitas sendiri. Kepemilikan kolektif atas subkultur ini dicabut paksa dan keaslian subkultur ini perlahan hilang. Yang tersisa kini hanya tren dangkal tentang pemaknaan tampilan kawaii yang terbatas pada keimutan cara berpakaian.

Hal ini tak sepatutnya terjadi pada Citayam Fashion Week. Mereka eksis dan menciptakan subkultur bukan untuk dikapitalisasi. Bukan dengan tawaran beasiswa, membintangi video klip, atau menjadi mesin pengerek suara elite politik negara. Biarkan mereka tumbuh apa adanya. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *