Issues Politics & Society

‘Gadis Kretek’ dan Citra Perempuan Merokok: Melawan atau Sekadar Keren-kerenan?

Ada industri rokok yang membonceng agenda perlawanan perempuan. Nyatanya, melawan ketidakadilan gender tak sesederhana dilakukan dengan merokok.

Avatar
  • November 9, 2023
  • 7 min read
  • 3143 Views
‘Gadis Kretek’ dan Citra Perempuan Merokok: Melawan atau Sekadar Keren-kerenan?

Serial terbaru Netflix, “Gadis Kretek” jadi perbincangan hangat di media sosial sejak dirilis pada (2/11) lalu. Diadaptasi dari novel berjudul sama dan disutradarai oleh Kamila Andini serta Ifa Isfansyah, serial ini mengikuti kisah Soeraja (Ario Bayu), pemilik pabrik kretek Djagad Raja yang sedang sekarat. Soeraja punya permintaan terakhir kepada tiga anaknya. Ia ingin bertemu Jeng Yah atau Dasiyah (Dian Sastrowardoyo), perempuan yang pernah menjadi cintanya di masa lalu. 

Ketiga anak Soeraja, Lebas (Arya Saloka), Karim (Dimas Aditya), dan Tegar (Winky Wiryawan) berusaha mencari keberadaan Dasiyah di pelosok Jawa. Dalam perjalanan itu, mereka pun menguak beberapa rahasia, termasuk asal mula kenapa Kretek Djagad Raja menjadi kretek nomor satu di Indonesia.

 

 

Sesuai dengan judulnya, “Gadis Kretek” memang konsisten mengangkat narasi tentang industri kretek. Enggak heran serial ini banyak memperlihatkan adegan merokok. Kompilasi adegan Dian Sastro sebagai Dasiyah yang tengah menghisap tingwe (linting dewe atau kretek yang dibuat sendiri) bahkan sampai viral di media sosial X. Banyak warganet menilai Dian Sastro terlihat keren setiap kali menghisap rokok dengan ekspresi wajah dingin dan karismatik.

Baca juga: Jerat Rokok Elektrik untuk Perempuan: Kisah ‘Vaping’ dari Aceh

Citra Perempuan Merokok dan Cara Mereka Melawan

Apresiasi terkait Gadis Kretek dan respons positif terhadap adegan merokok yang dilakukan Dian Sastro, memperlihatkan bagaimana adanya pergeseran citra perempuan merokok. Dalam penelitian yang berjudul Studi Etnografi Tentang Stigmatisasi dan Konformitas Perempuan Perokok dalam Budaya Patriarki (2023) dijelaskan, citra perempuan merokok yang tertanam di masyarakat umumnya bersifat negatif.

Perempuan yang merokok dicap nakal bahkan amoral. Mereka pun dilarang untuk merokok di tempat umum. Ini terjadi pada salah satu informan yang pernah dikomentari oleh rekan laki-lakinya di gereja. Katanya, perempuan tak seharusnya merokok karena tak enak dilihat, padahal ia sendiri memegang rokok di tangannya.

Citra negatif perempuan merokok pun diperkuat lewat budaya populer.  Dalam film-film terutama yang rilis pada ‘90-an hingga 2000-an awal, tokoh perempuan perokok digambarkan sebagai remaja nakal atau pekerja seks komersial. Tak hanya itu, dalam masyarakat dengan penduduk mayoritas muslim, rokok juga dikaitkan dengan kesalehan perempuan.

Dalam tulisan Rokok dan Jilbab dalam buku Perempuan Berbicara Kretek (2012) dijelaskan, ada anggapan di masyarakat tentang rokok yang mampu merusak citra baik jilbab. Karena itulah, jika ada perempuan berjilbab yang merokok, mereka bakal dianggap telah menyalahi norma agama dan dipertanyakan kesalehannya.

Citra negatif tersebut muncul karena rokok memang selalu dikaitkan dengan jenis kelamin dan atribut gender. Niken Wresthi dalam tulisannya Rokok itu Berjenis Kelamin Laki-laki menyebutkan, rokok milik lelaki dan lekat dengan maskulinitas. Anggapan ini, kata dia, telah mengurangi nilai perempuan sebagai individu yang bebas.

Guna mendobrak citra negatif ini, perempuan menggunakan rokok untuk melawan. Dikutip dari penelitian yang diterbitkan National Institutes of Health dan Tobacco Control pada 2000, merokok bagi perempuan berubah menjadi resistensi, protes, kritik terhadap tatanan sosial patriarkal yang cenderung menomorduakan perempuan.

Dimulai sejak Perang Dunia pertama, semakin banyak perempuan mulai menggunakan rokok sebagai senjata untuk menantang gagasan tradisional. Di kamar-kamar mandi dan tempat publik, banyak perempuan mencari sesama perokok yang ingin mendorong batas-batas konvensi sosial. Mereka masuk ke area yang selama ini hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Tak butuh waktu lama sampai rokok berubah menjadi simbol peran dan harapan baru perempuan.

Di Indonesia sendiri, kegiatan merokok sebagai bentuk perlawanan perempuan bisa ditarik jauh lewat cerita Jawa klasik: Rara Mendut. Niken Wresthi dalam tulisanya yang sama menjelaskan, Rara Mendut menggunakan tembakau sebagai alat perlawanan terhadap tatanan sosial yang patriarkal dan feodal.

Rara Mendut yang seorang budak dipaksa menikah dengan panglima tua bernama Wiraguna. Rara Mendut menolak, ia melawan. Sebagai ganjarannya, panglima yang marah itu menaikkan pajak kepada Mendut. Ia tak kehabisan akal. Mendut memutuskan berjualan rokok sambil menari di pasar-pasar. Ia menjadi populer bahkan puntung rokok bekas hisapannya selalu jadi rebutan dan berharga mahal. Dari penghasilannya itulah Mendut bisa membayar pajaknya pada Wiraguna.

Baca juga: Alasan Rokok Hambat Kesetaraan Gender di Indonesia

Diboncengi Industri Rokok

Perempuan merokok boleh sedang melawan superioritas lelaki. Namun, perlawanan tersebut banyak dikritisi. Disarikan dari laporan Think Global Health pada 2021, The Washington Post, dan penelitian International Journal of Environmental Research and Public Health pada 2015, perlawanan perempuan dengan merokok tidak bisa dipisahkan dari peran kapitalis, yaitu industri tembakau yang sengaja menargetkan perempuan.

Industri ini memanipulasi makna bahwa seolah-olah perlawanan pada ketidakadilan gender bisa diraih lewat merokok. Dalam melakukannya, industri rokok dengan cerdik menggunakan momentum gerakan feminisme gelombang pertama di Amerika Serikat.

Sebagai contoh, pawai feminis 1929 sebagian besar diorganisasi oleh American Tobacco Company (ATC). Para perempuan yang berpawai memegang rokok sebagai penanda pembebasan, dan berita utama The New York Times keesokan harinya berbunyi “Sekelompok Gadis Mengisap Rokok sebagai Isyarat Kebebasan.” Pawai ini sukses besar dan berhasill memperkuat citra rokok sebagai “obor kebebasan” dalam gerakan feminis.  

Pada 1930-an di Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan rokok semakin gencar membidik target pasar perempuan. Mereka mulai memasang iklan penuh majalah seperti Vanity Fair dan Vogue, lalu meluncurkan kampanye khusus untuk perempuan. Phillip Morris contohnya memperkenalkan Virginia Slims pada 1968 sebagai versi “perempuan” dari Silva Thins, merek rokok langsing tanpa gender. Perusahaan ini memperkenalkan Virginia Slims kepada publik sebagai alternatif yang anggun untuk rokok tradisional seraya mempertahankan konotasi pemberdayaan perempuan melalui slogan-slogan seperti “You’ve come a long way, baby” dan “Find your voice.”

Kampanye yang didorong industri tembakau ini mengkomunikasikan gagasan bahwa ibu rumah tangga dan perempuan yang bekerja sama-sama berhak mendapatkan waktu untuk diri mereka sendiri untuk menikmati kenikmatan merokok. Iklan rokok mengambil keuntungan dari kebutuhan psikososial perempuan dengan mengaitkan merokok dengan kesetaraan dan kesenangan.

Untuk melancarkan bisnisnya, industri tembakau juga menggunakan warna dalam pemasaran berbasis gender mereka, termasuk kemasan merah muda dan kertas rokok Pink Dreams di Amerika Utara dan Pink Elephants rasa vanila di Eropa. Bahkan produk yang tidak secara eksplisit berdasarkan gender pun memanfaatkan pesan fesyen dalam upaya berkelanjutan untuk menggunakan stereotip perempuan yang sudah ketinggalan zaman untuk menarik perhatian perempuan.  

Tidak hanya di Eropa dan Amerika, usaha industri tembakau dalam membingkai rokok sebagai bentuk dari perlawanan dan perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan gender juga terjadi di Asia. Dalam penelitian From Social Taboo To “Torch of Freedom”: The Marketing of Cigarettes To Women (2000) di India pada tahun 1990, Golden Tobacco Company berusaha menyasar perempuan dengan merek baru, “MS Special Filter”. Iklan yang ditampilkan menampilkan perempuan India dengan pakaian Barat, simbol pembebasan bagi perempuan India yang memperoleh kemandirian finansial dan profesional.

Di Cina dan Hong Kong, merek-merek yang pertama kali dikembangkan oleh industri tembakau Cina ditujukan untuk perempuan dengan slogan iklan seperti “You’re on your way”. Di Jepang iklan-iklan rokok mengiklankan produk yang mendorong perempuan untuk menjadi diri sendiri, “Be You”. Di Sri Lanka, perusahaan tembakau Ceylon mempekerjakan perempuan muda untuk berkeliling dengan mobil dan jip “Players Gold Leaf” yang membagi-bagikan sampel rokok dan barang promosi gratis kepada perempuan. Para perempuan pekerja ini juga membagikan barang dagangan gratis di pusat perbelanjaan populer bahkan kampus-kampus yang secara implisit mengirimkan sinyal bahwa kegiatan merokok bagian dari proses intelektual yang mampu memberdayakan.

Pendekatan pemasaran industri tembakau dunia ini sukses besar. Di Amerika, berdasarkan data Centers for Disease Control and Prevention satu dari tiga perempuan merokok selama tahun 1960-an. Sedangkan di Eropa seperti di Spanyol tingkat merokok di kalangan perempuan Spanyol meningkat cepat, dari 17 persen pada 1978 menjadi 27 persen pada 1997.

Baca juga: Ramai-ramai Mengebiri Hak Anak Lewat Rokok

Atau di Lituania merokok di kalangan perempuan meningkat dua kali lipat selama periode lima tahun pada tahun 1990-an dan meningkat lima kali lipat di antara kelompok termuda. Sedangkan di Asia seperti di Jepang menurut survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang menunjukkan bahwa merokok di kalangan perempuan berusia 20-29 tahun meningkat dua kali lipat antara tahun 1986 dan 1999, dari 10,5 persen menjadi 23,2 persen.

Melihat gencarnya industri tembakau dalam memproduksi makna budaya baru terkait kesetaraan dan merokok, seperti apa yang dikatakan Beladenta Amalia Postdoctoral Fellow at the Institute for Global Tobacco Control, Johns Hopkins University dalam tulisannya di The Conversation kita patut mempertanyakan, apakah perempuan merokok atas dasar keputusan sendiri secara sadar? Perempuan selama berdekade lamanya telah dibombardir oleh iklan dan pemasaran masif yang sengaja ditujukan untuk menarik mereka.

Belum lagi menurut Beladenta, beban peranan perempuan dalam keluarga, pekerjaan, masyarakat patriarkal membuat perempuan lebih cenderung menggunakan rokok sebagai strategi mengatasi stresnya dibandingkan laki-laki.  Hal ini membuat perempuan lebih sulit berhenti merokok dibandingkan laki-laki.

Pada titik ini, perempuan bisa dibilang kehilangan agensinya untuk menjadi manusia bebas. Perilaku merokok bukan lagi tentang kebebasan berekspresi dan perlawanan terhadap penindasan jika mereka selama ini menjadi objek eksploitasi korporasi besar, seperti perusahaan tembakau.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *