Culture

Review ‘Gadis Kretek’: Rahasia Kretek Djagat Raja dan Dendam Cinta Segitiga

Sebelum ‘Gadis Kretek’ resmi bisa kita tonton di Netflix, saya membacanya sekali lagi.

Avatar
  • September 9, 2022
  • 6 min read
  • 20932 Views
Review ‘Gadis Kretek’: Rahasia Kretek Djagat Raja dan Dendam Cinta Segitiga

Peringatan: artikel ini mengandung spoiler.

Novel Gadis Kretek bukan cuma menceritakan sejarah sebuah keluarga dan konflik di masa lalu saja. Namun, bisa juga menjadi “jendela” baru melihat sejarah Indonesia, khususnya masa penjajahan Jepang, pasca-kemerdekaan, dan masa-masa G30S. Cinta segitiga dan persaingan bisnis menjadi aroma utama karya Ratih Kumala ini. Permintaan terakhir seorang ayah, perseteruan antarsaudara, persaingan bisnis turun-temurun, konflik percintaan diracik jadi plot penuh kejutan.

 

 

Sejak terbit, Gadis Kretek langsung beken di kalangan pecinta sastra Indonesia. Pada 2012, ia masuk dalam daftar sepuluh besar penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa. Sebagai pencinta sastra, cara novel ini dikemas jadi faktor utama yang bikin saya jatuh cinta. Bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, sekaligus indah.

Pembaca dibawa dengan mudah masuk ke latar tempat dan waktu yang sedang berjalan. Sebagai contoh, pada masa peralihan Belanda ke Jepang Indonesia dikabarkan menyambutnya dengan gegap gempita. Sebab, kompeni mata biru-kulit putih diganti “saudara tua” dari tanah Asia sendiri. Nyatanya, rakyat jauh lebih menderita.

Baca juga: Akankah Serial Netflix ‘Gadis Kretek’ Romantisasi Industri Rokok?

Konteks Budaya yang Rapat dan Riset Ketat dalam Gadis Kretek

Konteks budaya sangat kental dalam Gadis Kretek. Latar tempatnya banyak di area Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sebagai orang yang besar dengan budaya Jawa, tidak sulit membayangkan deskripsi suasana dan latar di Novel ini. Bahkan saat novel ini menyebut sebuah kota misterius dengan nama Kota M, saya yang besar di Yogyakarta dan Magelang, langsung bisa menebaknya sebagai Muntilan—tebakan yang juga ramai dicetuskan di internet.

Kentalnya budaya Jawa, ditambah penggunaan bahasa Jawa dalam dialog bikin saya gampang akrab dengan cerita dan karakternya. Membuat saya merasa kembali ke rumah di Yogyakarta.

Saya bahkan sempat tertawa terbahak, saat kata makian gombal mukiyo muncul pada pertengkaran kakak-adik di Keluarga Soeraja. Kata itu juga sering hadir dalam rumah saya, dan akrab datang dari kawan-kawan zaman SMA. Novel ini berhasil bikin saya sadar sedang rindu rumah, makin kangen Yogyakarta.

Selain nuansa budaya Jawa dan Yogyakarta yang kental, saya juga terpana dengan dua karakter perempuan di dalamnya, Roemaisa dan Dasiyah, dua perempuan Jawa yang berdaya. Mereka ditampilkan jago berbisnis, teguh, berani bersaing dengan laki-laki, dan tak takut berpandangan bahwa perempuan bisa lebih baik dari laki-laki di masa itu.

Riset tentang industri rokok dan kretek Indonesia bukan sembarang aksesoris yang ditempel belaka. Saat membaca deskripsi dan detail yang disisipi Ratih, kita tahu kalau risetnya tentang klobot, kretek, tingwe, pembelian tembakau, pembuatan saus rokok kretek, hingga teknik marketing pada masa-masa itu bukan usaha singkat.

Ratih Kumala melakukan riset selama empat tahun, pergi ke berbagai pabrik kretek di Jawa Tengah dan Jawa Timur demi menyelesaikan novel ini. Selain itu, dia juga mengoleksi 200 bungkus kretek selama proses risetnya. Kerja keras dalam proses riset ini berbuah manis, karena pembaca bisa mengerti dinamika dan proses bisnis kretek Indonesia secara mudah, dengan deskripsi akurat.

Baca juga: Melihat Pembungkaman Perempuan lewat Hidup Jeng Yah di Gadis Kretek

Sebagai penggemar novel sejarah, Gadis Kretek menjadi novel favorit saya selain Cantik Itu Luka. Pembaca tidak perlu mendalami konteks sejarah Indonesia, justru bisa belajar bersamanya sambil membaca.

Narasi Gadis Kretek dengan sederhana mampu menjelaskan kondisi masyarakat Indonesia saat itu. Menariknya, sejarah Indonesia diceritakan dalam sudut pandang masyarakat, bukan orang berpengaruh atau pahlawan.

Keadaan Indonesia saat itu berdampak langsung pada kehidupan para karakter. Seperti saat pencarian orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Soeraja yang hanya ingin berbisnis kretek dengan modal dari PKI menjadi buronan. Bahkan Dasiyah dan ayahnya ikut terseret hanya karena memiliki hubungan dekat dengan Soeraja dan produsen rokok Merdeka! yang berbungkus kertas merah.

Karakter-karakter yang Dilinting Masa Lalu dan Rahasia Sang Ayah

Tali merah yang membangun plot Gadis Kretek adalah hubungan personal antara karakter di dalamnya. Cinta segitiga antara Idroes Moeria, Soedjagat, dan Roemaisa jadi pertunjukan utama, dilanjutkan dengan Soeraja dan Dasiyah (yang akrab disebut Jeng Yah). Lalu diikat dengan persaudaraan Tegar, Karim, dan Lebas.

Namun, kretek menjadi objek utama dalam hubungan para karakter: Mulai dari persaingan bisnis antara Idroes Moeria dan Soedjagat yang lahir karena merebutkan Roemaisa; pertemuan pertama Soeraja dan Jeng Yah karena Kretek Gadis; hingga usaha tiga saudara memenuhi permintaan terakhir ayah mereka yang malah membuka rahasia keluarga, semuanya berkaitan dengan kretek.

Selain hubungan romansa yang menarik, Gadis Kretek juga bercerita tentang dinamika bersaudara yang digambarkan lewat hubungan Tegar, Karim, dan Lebas.

Menurut Sara Shine dalam How Birth Order Impacts Your Personality urutan lahir seseorang berpengaruh pada kepribadian. Anak tertua seseorang yang memiliki standar tinggi, anak tengah adalah seseorang yang loyal dan setia, sementara anak terakhir lebih sosial, bahkan cenderung pemberontak.

Karakterisasi itu pula yang hadir dalam tiga tokoh ini. Tegar, si sulung yang selalu tegas dan serius, menjadi penerus perusahaan. Karim, si tengah menjadi penengah antara keributan Tegar dan Lebas. Sementara, si bungsu Lebas, lebih bebas dan merasa berbeda dari saudara.

Namun, mereka memiliki kecemburuan antara satu sama lain. Tegar adalah “putra mahkota” kerajaan Kretek Soedjagat Raja, sehingga setelah lulus SMP dia diminta untuk terlibat langsung dalam pabrik. Padahal, Tegar yang masih kecil ingin bermain bebas seperti adiknya. Karim dan Lebas malah iri dengan Tegar yang sering diajak pergi ayah mereka ke pabrik, mereka merasa perhatian Soeraja hanya untuk Tegar bukan mereka.

Tiga saudara ini juga jadi alat Ratih untuk menyelesaikan konflik antargenerasi.

Dari kacamata pembaca, ayah dan kakek Tegar, Karim, dan Lebas mungkin terlihat bukan seperti orang yang baik. Mereka menyadari kejahatan yang dilakukan keluarga mereka kepada keluarga Jeng Yah.

Namun, bagi saya penyelesaian masalah ini terlalu terburu-buru. Cara mereka menebus kesalahan Soeraja dan Soedjagat terlalu mudah. Terlebih luka yang dirasakan keluarga Jeng Yah begitu besar karena hak mereka direnggut keluarga Soedjagat Raja.

Baca juga: Gadis Kretek dan Citra Perempuan Merokok: Apakah Bisa Disebut Perlawanan?

Meski begitu, Gadis Kretek kini menjadi salah satu novel favorit saya. Selain plot dan karakternya yang menarik, konteks budaya yang begitu dekat dengan saya jadi alasan besar. Sebagai penyuka sejarah, budaya, dan tumbuh besar di lingkungan Jawa saya merasakan kedekatan tersendiri pada Gadis Kretek dan para karakter.

Gadis Kretek saat ini sedang dalam tahap produksi menjadi serial original Netflix pertama dari Indonesia. Kabarnya serial ini akan tayang pada 2023. Sebenarnya, saya tidak ingin memberi ekspetasi tinggi pada adaptasi novel Gadis Kretek. Sebagai pembaca, saya sudah berapa kali dikecewakan dengan film yang diadaptasi dari novel yang saya baca. Namun, melihat rekam jejak pemeran dan sutradaranya, serial ini rasanya patut ditunggu.

Sebab, ia disutradari Kamila Andini dan Ifa Isfansyah. Setelah menonton film Kamila Andini seperti Before, Now, & Then (Nana) saya tidak sabar menanti Gadis Kretek menjadi serial di Netflix di bawah asuhan tangannya. Lalu, ada nama Dian Sastrowardoyo yang juga bikin saya makin tidak sabar melihatnya menghidupkan sosok Jeng Yah.



#waveforequality


Avatar
About Author

Theresia Amadea

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *