Issues

Coki Pardede dan Latah Media Eksploitasi Isu LGBTI

Selain hobi mengurus agama para idola, media juga kerap menjadikan isu LGBTI sebagai objek pemberitaan. Tentu saja dengan gaya yang sensasional dan bombastis.

Avatar
  • September 9, 2021
  • 6 min read
  • 1096 Views
Coki Pardede dan Latah Media Eksploitasi Isu LGBTI

Sebenci-bencinya saya terhadap komika Coki Pardede karena pernyataannya soal pelaku kekerasan seksual Gofar Hilman, saya tetap akan membelanya sekarang. Bukan membela perilakunya dalam penyalahgunaan narkoba, tapi tentang pemberitaan media yang menyudutkan identitas gendernya. 

Dalam banyak pemberitaan, Coki ditampilkan sebagai seorang “pesakitan” yang punya kelainan hanya karena dengan menjadi gay. Detik.com misalnya pada (3/9) mengambil tajuk Coki Pardede Ditangkap Saat Nonton Video Porno Gay, Polisi: Ada Kelainan dalam Dirinya. Jika dibaca beritanya, satu-satunya informan yang diwawancarai jurnalis cuma satu, berasal dari sumber formal, polisi. Celaka dua belas, alih-alih memberikan keterangan soal isu penyalahgunaan narkoba yang tengah membelitnya, polisi lebih senang menceritakan “kelainan” Coki yang menyuntik sabu lewat anusnya. “Jadi memang dia ada kelainan dalam dirinya,” ucap polisi di Polres Metro Tangerang Kota.

 

 

Lazimnya kebiasaan media yang ogah ketinggalan isu, Tribunnews di hari yang sama juga menulis berita dengan judul Ditangkap Kepergok Nonton Film Cowok, Inilah Pengakuan Coki Pardede Sebelum Jadi Suka Sesama Jenis. Dalam berita, si empunya wartawan mengaitkan identitas gender Coki dengan keengganan pesohor itu untuk menikah buru-buru. Pikiran Rakyat lebih ekstrem. Ia mengangkat judul Coki Pardede Diduga Seorang Gay, Mahfud MD: Jangan Makan Barang Kotor, Lawan LGBT! Daripada membahas isu penyalahgunaan narkoba yang menimpa Coki atau mewawancarai narasumber yang relevan, Pikiran Rakyat mengutip pernyataan politisi Mahfud MD saat jadi pembicara dalam diskusi Indonesia Lawyers Club.

Katanya itu orang gay dan lesbi itu kan ciptaan Tuhan, tapi Tuhan maunya kan mereka tidak LGBT. Tuhan juga menciptakan iblis tapi kita harus lawan iblis! Kan begitu logikanya,” ucapnya.

Apa yang terjadi dalam mayoritas media daring kita saat ini menjadi bukti bahwa isu LGBTI tak diberitakan secara berimbang dan positif. Yang ajek muncul, media akan mewartakan isu LGBTI secara sensasional dan judul-judul bombastis. Mirip seperti yang dilakukan sejumlah media daring di atas. Hal ini juga meneguhkan riset yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terhadap 10 media daring dan 10 media cetak di Indonesia terkait pemberitaan isu LGBTI pada 2015. Temuan mereka menyebutkan, media daring paling banyak menentukan berita tentang LGBTI mencapai 107 kali (86,99%). Sementara, media cetak hanya menurunkan berita soal ini sebanyak 16 buah (13,01%).

Baca juga: Kepanikan Moral dan Persekusi atas Minoritas Seksual di Indonesia

Sayangnya, model pengemasan berita lebih banyak berupa straight news, episodik (berbasis peristiwa, bukan ide), dengan satu narasumber, biasanya sumber formal. Apalagi jika berita yang dihasilkan menyangkut kejahatan atau pelanggaran hukum. Berita dengan sentimen negatif ini juga bertaburan justifikasi terhadap identitas mereka, alih-alih mendudukkan konteks masalah yang dihadapi berikut kerentanan kelompok ini.

Riset ini senada dengan temuan Muhammad Ghifari Putra dan Kharisma Nasionalita dalam Jurnal Komunikasi Makna Volume 6 Edisi 1, Februari-Juli 2015. Menurut keduanya, salah satu subjek penelitian, Republika cenderung mengritik konten  SGRC-UI yang terang-terangan memberikan dukungan dan  mencoba menerima kelompok LGBTI. Tak heran jika pemilihan narasumbernya pun kebanyakan diambil dari mereka yang kontra terhadap kaum minoritas tersebut.

Perbanyak Berita yang Berimbang Tanpa Penghakiman

Apa yang terjadi di media kita sangat berbeda dengan model pemberitaan bertema LGBTI di media Barat. Isu LGBTI di Indonesia umumnya diberitakan dengan sentimen positif. Sebut saja pemberitaan tokoh-tokoh besar yang berani melela bahwa dirinya seorang gay, termasuk Tim Cook CEO Apple. Media juga memberi dukungan dengan meliput pernikahan sejenis Perdana Menteri Luxemburg  Xavier  Bettle  dengan  Gauthier Destenay. Saat Ellen Page coming out sebagai seorang transgender dan mengganti namanya jadi Elliot Page, media Barat pun ramai-ramai memberikan dukungan dan afirmasi. 

Sementara di Indonesia, menurut pengamatan saya, tak banyak yang menjadikan isu LGBTI ini dari perspektif non-komersil. Bahwa mereka adalah kelompok rentan yang hak asasi manusianya juga perlu dijamin. Bahwa mereka menghadapi tekanan berlapis, stigmatisasi, dan beban ekonomi karena kesulitan memperoleh akses administrasi publik, seperti KTP, BPJS Kesehatan, dan sejenisnya.

Sebagai gantinya, LGBTI dipandang sebagai sesuatu yang berjarak, antagonis, tapi di saat bersamaan juga seksi untuk dieksploitasi, apalagi jika disangkutkan dengan urusan selangkangan orang terkenal. Buat saya ini adalah salah satu yang layak kita gugat bersama-sama. Apalagi jika mengacu pada Laporan LGBT Nasional Indonesia – Hidup Sebagai LGBT  di  Asia yang dirilis USAID pada 2015 menyebutkan, LGBTI masih jadi kelompok yang terpinggirkan dalam berbagai akses kehidupan, termasuk urusan hukum.

Baca juga: Studi: Transgender Korban Terbanyak Persekusi Terhadap LGBT 2017

Di dalam laporan itu tertulis, beragam perilaku seksual dan identitas gender telah dikenal di wilayah Nusantara pada masa-masa terdahulu. Bahkan sejak era Hindia Belanda. Namun, sebagai sebuah gerakan atau perkumpulan, baru muncul pada 1968 lewat istilah wadam (wanita adam). Itu digunakan sebagai pengganti kata banci atau bencong yang dianggap bercitra negatif. Karena itulah dibuat organisasi untuk melindungi mereka.

Seiring berkembangnya waktu, tak banyak kemajuan yang diperoleh oleh kelompok LGBTI. Bahkan hingga pasca-Reformasi sekalipun, masih belum ada regulasi anti-diskriminasi yang secara tegas menjamin perlindungan hukum untuk kelompok ini. Sejauh ini pembagian gender hanya mengenal lelaki dan perempuan saja, sehingga transgender misalnya terhambat dalam mengurus berbagai urusan administratif jika belum melakukan operasi pergantian kelamin secara total. Tak hanya itu, sejumlah peraturan daerah (Perda) juga memasukkan homoseksualitas sebagai tindak pidana karena dipandang tak bermoral. Dari sudut pandang sosial lebih sadis lagi: LGBTI dinilah menyebarkan penyakit HIV/AIDS. Dari perspektif agama, LGBTI adalah pendosa. Sementara, dari perspektif media daring macam Tribunnews hingga Detik.com, isu LGBTI artis adalah ladang klik.

Bagaimana tidak, melaporkan identitas gender Coki dengan menggunakan diksi “iblis” atau “kotor” cenderung sarkastik dan memenuhi syarat sebagai berita dengan kekerasan simbolik. Frasa “kelainan” juga bertentangan dengan normativitas komunikasi media massa. Mengutip catatan AJI pada 2015, normativitas komunikasi menyangkut etika komunikasi yang diadopsi menjadi etika penulisan jurnalistik sebagai panduan komunikasi massa untuk menjaga sikap egaliter, penghormatan terhadap sesama serta menjunjung tinggi rasa keadilan. Sementara, frasa-frasa di atas yang secara langsung ditunjukkan pada kelompok LGBTI jelas-jelas memenuhi unsur kekerasan simbolik dalam media massa.

Baca juga: Ada Apa dengan Depok dan LGBT?

Pertanyaannya, harus bagaimana media melaporkan isu LGBTI? Saya ingin mengutip sejumlah rekomendasi yang diterbitkan AJI. Agar pemberitaan yang dihasilkan lebih berimbang dan berperspektif HAM, wartawan perlu diberi pemahaman soal etika penulisan kelompok minoritas dalam berita. Selain itu, penting agar disusun buku pedoman peliputan LGBTI agar para kuli tinta memiliki kompas yang sesuai. Di dalam pedoman ini, perlu dimasukkan frasa-frasa apa yang haram digunakan, bagaimana memperlakukan LGBTI, dan bagaimana melakukan framing lebih lanjut.

Berikutnya, media perlu lebih banyak mengangkat tulisan LGBTI berdasarkan ide-ide, alih-alih menunggu peristiwa. Terakhir, memberikan pemahaman prinsip keberimbangan dalam penulisan berita, terutama untu kelompok marjinal macam LGBTI.

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *