Saat ini kesadaran masyarakat kita mengenai kesehatan mental masyarakat sudah cukup tinggi. Muncullah pernyataan-pernyataan seperti, “Jangan begitu, kamu harus peduli kesehatan mental”, atau “Kamu seharusnya memahami orang lain dengan lebih baik”, “Kamu tidak paham cara menjaga kesehatan mental orang lain.”
Sayangnya, kesadaran ini tidak dibarengi dengan pemaknaan yang baik tentang kesehatan mental itu sendiri, terutama dalam konteks curhat.
Suatu waktu seorang teman curhat mengeluh tentang giginya yang sakit. Saya mencoba menyimak keluhannya. Selesai menyimaknya berbicara, saya juga bercerita tentang pengalaman sakit serupa dan menawarinya opsi pengobatan yang sama seperti yang dulu saya lakukan, sebab saya pikir mungkin peluang sembuhnya akan sama. Alih-alih menyimak cerita saya, dia malah menyindirku dengan ekspresi seolah-olah saya tidak peduli dengan perasaan sakitnya. Waduh.
Ini sering kali membuat saya bingung saat teman curhat. Saya diam saja, dia anggap saya tidak peduli dan tidak mendengarkan ceritanya. Saya berusaha untuk memberinya dukungan dengan pengantar pengalaman serupa, tapi malah dianggap komparasi penderitaan. Serba salah.
Komparasi penderitaan berarti membandingkan penderitaan yang dia punya dengan penderitaanmu. Misalnya ketika kamu mengeluh tentang daya listrik di rumah kos yang tidak stabil, temanmu tiba-tiba menimpali dengan, “Yaelah itu sih masih mending, lah gue lebih parah lagi, gue pernah (bla bla bla)”.
Baca juga: 5 Akun Instagram Bermanfaat Soal Kesehatan Mental
Selain itu, orang-orang yang curhat sering tidak menyadari konteks pembicaraan. Mereka perlu memahami mana yang memang sedang menjatuhkan dengan membandingkan penderitaan mereka, dan mana yang sedang murni ingin bercerita.
Mereka seharusnya paham bahwa dalam curhat, ada orang yang berperan sebagai subjek (yang curhat) dan objek (yang sedang diajak curhat). Bahwa ketika orang sedang curhat, seharusnya dia siap dengan segala respons yang diberikan lawan bicara yang diajak curhat, entah dia mengernyitkan dahi, membelalakkan mata, menggelengkan kepala, dan lain sebagainya. Perlu disadari bahwa manusia memiliki daya refleks tertentu. Kecuali kamu sedang curhat dengan tembok, maka sudah pasti tembok tidak akan mengeluarkan respons atau bahkan perlawanan.
Dalam obrolan intim, atau curhat, seseorang yang sedang curhat biasanya menjadi subjek yang menguasai arah pembicaraan. Maka, ketika orang yang diajak curhat kemudian berbicara (sejauh tidak memojokkan) seharusnya tidak dianggap sedang melakukan komparasi penderitaan. Ketika orang kedua berbicara, anggap telah terjadi peralihan subjek. Saatnya subjek pertama mendengarkan objek yang kemudian menjadi subjek.
Kesehatan mental juga berarti menyadari bahwa dalam sesi curhat, yang perlu dijaga kesehatan mentalnya bukan cuma kamu yang sedang curhat dan menguasai arah pembicaraan. Bila kamu peduli dengan isu kesehatan mental, kamu juga seharusnya sadar bahwa teman yang kamu curhati juga punya kondisi mental yang bisa turun atau bahkan rusak akibat curhatan dan tanggapan orang lain. Maka jangan hakimi dia seolah-olah dia tidak sadar dengan kesehatan mental.
Baca juga: Jadi Pendengar yang Baik Saat Teman Ingin Bunuh Diri
Kalau kamu peduli dengan isu kesehatan mental, saat temanmu mungkin juga menceritakan hal yang serupa, alih-alih menganggap ia tidak memahami perasaanmu, bagaimana kalau kalian berdua sama-sama memahami penderitaan masing-masing. Temanmu juga punya mental yang butuh dijaga. Bila kamu saja menghakimi dia dengan label buruk maka apa bedanya kamu dengan label yang kamu berikan.
Idealnya, dalam obrolan intim semacam curhatan, seharusnya ada kesepakatan respons di awal sebelum pembicaraan semakin jauh. Saat curhat, kamu bisa mewanti-wanti lawan bicaramu dengan permintaan, “Saya hanya ingin didengarkan”, atau “Saya nanti butuh pendapatmu iya atau tidak”, atau “Saya minta komentar kamu tentang sesuatu”. Itu akan lebih baik kalau-kalau nanti orang yang kamu ajak curhat tiba-tiba mengeluarkan respons yang tidak sesuai dengan yang kamu harapkan.
Setiap orang ingin dihargai. Ketika kamu merasa senang saat temanmu mampu menjadi lawan bicara yang baik, maka berikan penghargaan untuk temanmu dengan mengapresiasi kesediaannya menjadi pendengarmu. Namun jika respons yang ia berikan tidak sesuai dengan kehendakmu, jangan hakimi dia dengan label buruk tertentu.