Safe Space

Curhat Penyiar Radio: Kami Juga Diobjektifikasi dan Jadi Korban KBGO

Mereka hanya mendengar suara tawa dan melihat muka riang di media sosial tanpa menelisik lebih dalam apa yang sesungguhnya menimpa kami di lapangan.

Avatar
  • March 1, 2023
  • 5 min read
  • 1689 Views
Curhat Penyiar Radio: Kami Juga Diobjektifikasi dan Jadi Korban KBGO

Kekerasan verbal maupun non-verbal dalam dunia nyata ataupun maya menjadi santapan harian pekerja radio secara khusus penyiar perempuan – mendapatkan perlakuan tidak etis berasal dari orang yang mengaku sebagai pendengar radio di media sosial pribadi serta kantor. Berbagai jenis KBGO pernah dialami oleh penyiar perempuan mulai dari cyber harrasment, hingga creepshots.

Dilansir dari laporan tahunan SAFEnet tahun 2021, tercatat sebanyak 677 korban KBGO terdiri dari 559 perempuan, 79 laki-laki, 38 non biner, dan 1 trans laki-laki. Didukung data dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) tahun 2021, tercatat sebanyak 70,1% dari 1256 pekerja media perempuan di Indonesia mengalami Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan KBGO.

 

 

Penyiar radio layak memperoleh hak karyawan – tertera dalam UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 86 Ayat 1 mengenai hak atas perlindungan pekerja meliputi keselamatan hingga memperlakukan pekerja sesuai nilai sosial. Adapun UU No. 13 Tahun 2003 mengenai hak pekerja secara umum dan UU No. 12 Tahun 2022 secara khusus Pasal 4 serta Pasal 14 Ayat 1 dan 2 membahas jenis kekerasan seksual termasuk KBGO beserta sanksi terhadap pelaku.

Suara Tawa Ketika Radio Hidup, Suara Tangis Ketika Radio Hening

Konsep ‘theatre of mind’ dunia radio kerap kali diserap dengan maksimal bahkan berlebih oleh para pendengar sehingga buta akan batas wajar berujung melakukan kekerasan melalui dunia maya.

Penetapan hukum terkait hak pekerja hingga TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) telah terbit. Akan tetapi, tidak sedikit penyiar menjadi korban KBGO merasa bimbang untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada siapa, ke mana, dan apakah prosesnya akan ditindaklanjuti seperti seharusnya.

Penulis mendapatkan izin dari 4 orang penyiar perempuan tersebar di Provinsi Jawa Barat bersedia membagikan sisi kelam dalam dunia radio tanpa paksaan. Adapun jenis KBGO yang dialami korban seperti cyber stalking, cyber harrasment hingga hate speech.

Korban KBGO 1 – penyiar, bekerja selama 2,5 tahun

Meniti karir selama kurang lebih 2,5 tahun merasakan asam-garam dunia radio. Sesi training, gerbang awal pekerja radio – kemampuan mereka diasah secara motorik halus hingga alam bawah sadar.

“Dari training udah dikasih tau gitu. Kaya di-normalisasi aja.” ujarnya.

Rekan kerja mengetahui apa yang terjadi, namun tidak membantu mengatasi ataupun memberikan jalan keluar dan kembali menormalisasi.

“Ga pernah kepikiran bawa jalur hukum. Soalnya ga tau juga kasus kaya gini bisa dipidanain.” jelasnya.

Korban KBGO 2 – penyiar, bekerja selama 3 tahun

Memantau media sosial kantor maupun pribadi ketika siaran merupakan kewajiban penyiar sebagai cara berinteraksi dengan pendengar – tidak jarang mereka melewati batas ketika berinteraksi.

“Ada yang pernah stalking aku. Kalau alesannya kemungkinan obsesi.” ujar korban dengan mimik muka heran.

Kasus KBGO lagi-lagi diacuhkan oleh rekan kerja dan menyarankan untuk menormalisasi. Jauh sebelum terjun siaran, ia tidak pernah mendapat pelatihan mengenai isu-isu KBGO di radio.

“Ga pernah denger sama sekali KBGO apa dan ga pernah dijadiin bahan training.” tegasnya.

Korban KBGO 3 – penyiar, bekerja selama 13 tahun

Aplikasi WhatsApp dan Instagram, jalur utama pendengar dan penyiar berinteraksi.

“Sering banget pas siaran dapet chat di WA kantor kata-kata kasar. Cuma aku ga terlalu tanggepin sih.” jelas korban kepada penulis.

Kebocoran nomor telepon pribadi menjadi medium KBGO dan berdampak pada hilangnya privasi di media sosial.

“Ga jarang mereka kontak lewat nomor pribadi. Aku jadi risih banget ga bisa upload kehidupan aku.” ujarnya dengan nada kesal mengingat kejadian tersebut.

Korban KBGO 4 – penyiar, bekerja selama 22 tahun

Laki-laki kerap kali diberi stempel sebagai pelaku – jenis kekerasan apapun dapat dilakukan oleh siapapun tidak terkecuali perempuan.

“Cukup sering dapet voice note atau ga request on air dengan suara cewe mendesah. Jujur bingung kenapa dia kaya gitu.” ujar korban terhera-heran ketika bercerita.

Pengalaman korban selama 22 tahun tidak hanya menampung sukacita melainkan dukacita. Sangat disayangkan, pekerja radio tidak mengetahui lembaga atau instansi untuk menindaklanjuti kasus KBGO.

“Sampe sekarang masih ada trauma dari kejadian dulu. Ga tau lembaga yang bisa nindak lanjutin kasus gini.” tambahnya dengan nada sendu.

Bendera Kuning Hukum Perlindungan Terpampang Bagi Pekerja Radio

Para pekerja radio secara khusus penyiar seharusnya mendapatkan payung hukum yang setara dengan pekerja media lain. Akan tetapi, merujuk pada pengalaman keempat penyiar di atas dapat dikatakan payung hukum dalam dunia radio sangat lemah.

Penulis melakukan wawancara dengan salah satu dosen Ilmu Hubungan Internasional Kajian Diplomasi, Media, dan Komunikasi Universitas Katolik Parahyangan, Anggia Valerisha, S.IP, M.Si, mengenai pandangannya terkait KBGO di radio.

Apakah benar bila perempuan masih dianggap tidak punya ‘power‘ di dalam dunia radio yang maskulin sehingga marak terjadi peristiwa KBGO?

“Sudah ada perkembangan akan kesetaraan gender, dilihat dari peningkatan jumlah penyiar perempuan. Namun, stereotip perempuan sebagai kaum tidak berdaya mengakar sejak lama dan sedikit banyaknya berpengaruh pada banyak hal seperti pengambilan keputusan sampai hirarki radio.”

“(Rating) radio lebih tinggi ketimbang media lain karena lebih ‘menjual’ suara perempuan ketimbang laki-laki. Dibuktikan dengan VO (voice over) atau iklan memilih untuk menggunakan suara perempuan.”

Dilansir dari Jurnal Perempuan Edisi 28 mengenai ‘Stereotipe dan Komoditisasi Perempuan Dalam Iklan’, perempuan dinilai mampu meningkatkan target penjualan produk mulai dari barang berkaitan dengan kecantikan hingga kendaraan ketimbang laki-laki kepada masyarakat. Perusahaan penggagas iklan mengetahui tatanan hukum nasional maupun sosial yang berlaku, namun dihiraukan dan fokus pada alur bisnis.

Mengapa hukum di Indonesia masih sangat tergolong lemah terhadap Pers Indonesia secara khusus penyiar radio sehingga rentan menjadi korban KBGO?

“Sebenarnya ada hukum mengatur radio, contohnya UU No. 32 Tahun 2002. Memang hanya berbicara mengenai dunia radio general saja lebih ke perusahaan bukan pekerja di dalamnya. Perlu waktu untuk pengarusutamaan gender di radio.”

UU No. 32 Tahun 2002 membahas mengenai dunia penyiaran secara umum mulai dari teknis penyiaran hingga konten layak konsumsi publik tanpa menyinggung para pekerja. Fakta tersebut menjadi masukan kepada pemerintah untuk mengkaji ulang UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 86 Ayat 1 terkait hak pekerja.

Bagaimana dengan eksistensi dan peran dari lembaga/institusi berfokus pada KBG dalam dunia radio?

“Sangat penting eksistensi lembaga atau instansi tersebut. Lembaga tersebut menjadi payung pertama untuk menangani kasus KBGO secara khusus radio.”

Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), wadah bagi seluruh radio swasta di Indonesia yang berpedoman pada UU No. 32 Tahun 2002 terkait aturan penyiaran. Dalam situs resmi PRSSNI, tidak ditemukan mengenai aturan maupun hukum yang membahas mengenai KBGO di radio.



#waveforequality


Avatar
About Author

Divya Sanjay

Seorang anak tunggal perempuan tertarik dengan isu gender walaupun tidak menjadikan sebagai konsentrasi bidang ketika kuliah dan kerap kali mendengar radio untuk mengisi waktu kosong. Bila tertarik dengan tulis-menulis bisa coba kontak ke ig @divyasanjayb ya~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *