Deretan Aksi Kekerasan Polisi di Berbagai Negara, Prancis Bukan Satu-satunya
Sebelum polisi tembak mati remaja di Prancis, sebenarnya kekerasan institusi ini terhadap minoritas sudah sering terjadi.
Nahel Merzouk meregang nyawa di tangan polisi Prancis, (27/6). Dada kirinya ditembak dari jarak dekat karena menolak dihentikan oleh polisi saat tengah mengemudikan mobilnya. Sang ibu sambil menangis berkata, “Hanya karena ia menolak berhenti, bukan berarti polisi berhak membunuh anak tunggal saya.”
Nahel adalah anak berusia 17 tahun keturunan Aljazair. Di Prancis, imigran Aljazair jadi yang terbesar selain Maroko dan Portugal. Meski disebut-sebut sebagai surganya imigran, tapi Prancis belakangan dinilai belum cukup ramah untuk mereka.
Kematian Nahel yang dibingkai sebagai kekerasan polisi berbasis rasisme, memicu civil war. Melansir The New York Times, ribuan massa ramai-ramai turun ke jalan dan merusak 500 bangunan, 2.000 mobil, serta menjarah berbagai tempat perbelanjaan. Mayoritas menyerukan agar polisi Prancis segera direformasi dan diawasi secara ketat supaya lebih humanis.
Masalahnya, aksi kekerasan polisi terhadap minoritas bukan kali pertama terjadi. Magdalene telah merangkum berbagai aksi kekerasan polisi, mulai dari Amerika Serikat, India, Afrika Selatan, Brasil, hingga Australia.
Dengan memperhatikan kejadian-kejadian ini, kita dapat memahami lebih lanjut tantangan dan isu yang dihadapi oleh minoritas dalam konteks penegakan hukum.
Kasus Kekerasan Polisi terhadap Minoritas di Amerika Serikat
Amerika Serikat telah menjadi sorotan internasional terkait kasus-kasus kekerasan terhadap minoritas oleh polisi. Kasus-kasus ini telah memicu protes massal dan perdebatan tentang rasisme sistemik dan perlunya reformasi dalam penegakan hukum. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang menggambarkan kekerasan terhadap minoritas di Amerika Serikat:
Penembakan Terhadap Warga Kulit Hitam
Dikutip dari BBC, George Floyd dan kematian warga kulit hitam lain seperti Breonna Taylor di Amerika Serikat telah memicu gelombang protes besar. Ini menyoroti ketidakadilan dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian terhadap minoritas. Peristiwa-peristiwa ini telah membangkitkan gerakan Black Lives Matter dan menuntut perubahan dalam sistem penegakan hukum.
Baca Juga: Sejarah Bedah Plastik: Dipakai Badan Intelijen Sampai Jadi Simbol Rasisme
Kasus Brutalitas Polisi di Ferguson, Missouri
Pada 9 Agustus 2014, remaja kulit hitam Michael Brown ditembak mati oleh polisi kulit putih Darren Wilson di Ferguson. Kejadian ini menjadi pusat perhatian publik karena memunculkan dugaan akan kekerasan polisi yang tidak perlu terhadap remaja yang tak bersenjata.
Dikutip BBC, saat itu Michael Brown sedang berjalan di jalan ketika diberhentikan oleh Darren Wilson. Pertikaian verbal terjadi antara keduanya, yang kemudian berujung dengan pemukulan fisik. Selama perkelahian itu, Darren Wilson menembak Michael Brown hingga tewas. Kematian Michael Brown yang tragis ini menciptakan kemarahan di komunitas Ferguson dan meluas menjadi protes nasional.
Masyarakat yang terguncang oleh insiden ini menuntut keadilan dan akuntabilitas bagi Darren Wilson. Mereka berunjuk rasa dengan tujuan memperjuangkan kesadaran akan kekerasan polisi terhadap minoritas dan perlunya perubahan dalam sistem penegakan hukum.
Kasus Kekerasan Polisi terhadap Minoritas di India
Pembantaian Muslim di Gujarat
Pada 2002, negara bagian Gujarat di India menjadi saksi dari salah satu peristiwa paling tragis dalam sejarah India modern. Peristiwa ini dikenal sebagai “Pembantaian Muslim di Gujarat” dan menyoroti kekerasan etnis dan agama yang terjadi di negara tersebut.
Dikutip Republika, pada 27 Februari 2002, sebuah kereta api yang membawa umat Hindu di wilayah Godhra, Gujarat, terbakar, menyebabkan kematian 59 orang Hindu. Insiden ini kemudian memicu gelombang kekerasan yang ditujukan kepada masyarakat Muslim di Gujarat. Beberapa hari setelah kejadian itu, serangkaian serangan dan pembunuhan massal terhadap warga Muslim terjadi di berbagai kota dan desa di Gujarat.
Setelah insiden pembakaran kereta api di Godhra, muncul serangkaian serangan yang terorganisasi terhadap masyarakat Muslim. Kelompok-kelompok ekstremis Hindu melakukan pembakaran rumah, penyerangan, pemerkosaan, dan pembunuhan massal terhadap warga Muslim. Imbasnya, banyak keluarga Muslim yang menjadi korban kekerasan, dengan ribuan orang tewas, terluka, atau kehilangan tempat tinggal mereka.
Selama kejadian tersebut, banyak laporan dan bukti menunjukkan keterlibatan pasukan kepolisian dan petugas pemerintah dalam membiarkan, bahkan membantu, aksi kekerasan terhadap masyarakat Muslim. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Gujarat kepada warga Muslim selama periode itu. Kritik meluas terhadap kurangnya tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk menghentikan pembantaian.
Baca Juga: Heboh Tragedi Arema, Kenapa Polisi Suka Bertindak Represif?
Diskriminasi terhadap Kasta Dalit
Sistem kasta di India adalah sistem sosial yang terstratifikasi berdasarkan kelahiran. Kasta Dalit, yang merupakan kasta terendah dalam sistem ini, secara historis memang selalu terpinggirkan. Mereka diabaikan, disingkirkan, dan diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh komunitas lain di India.
Dikutip dari CNN Indonesia, data statistik dari Biro Catatan Kejahatan Nasional India memperlihatkan kalau sebanyak 25.455 kasus kejahatan menimpa kasta Dalit pada 2000. Data itu juga mengungkapkan kalau setiap jam dua orang penyandang kasta Dalit diserang, dan setiap hari tiga perempuan Dalit diperkosa, dua orang Dalit dibunuh, serta dua rumah Dalit dibakar.
Kasta Dalit menghadapi diskriminasi dan pemisahan sosial yang sistemik di berbagai bidang kehidupan. Mereka sering dilarang mengakses fasilitas umum, seperti tempat ibadah, air bersih, dan pendidikan yang setara. Diskriminasi ini juga tercermin dalam pekerjaan yang tersedia bagi mereka, di mana mereka sering terbatas pada pekerjaan yang dianggap rendah dan tidak dihormati oleh masyarakat lain. Masalahnya, polisi setempat juga turut andil dalam kekerasan dan diskriminasi tersebut.
Kasus Kekerasan Polisi terhadap Masyarakat Aborigin di Australia
Kekerasan polisi terhadap masyarakat Aborigin di Australia telah menjadi perhatian yang serius. Terdapat laporan tentang penangkapan yang sewenang-wenang, penganiayaan fisik, dan kematian yang tidak wajar terhadap individu-individu Aborigin. Perlakuan ini menyoroti tantangan yang dihadapi dalam mencapai kesetaraan dan keadilan bagi masyarakat Aborigin.
Baca Juga: Kronologi Meninggalnya Aktivis Transgender Peru dalam Tahanan Polisi Indonesia
Seperti kasus anggota polisi di negara bagian Northern Territory (NT) Australia, Zachary Rolfe, yang divonis tidak bersalah dalam kasus penembakan terhadap orang Aborigin bernama Kumanjayi Walker, yang di kutip ABC Australia.
Kematian Kumanjayi Walker memicu gelombang protes dan kemarahan publik di seluruh Australia. Banyak masyarakat yang merasa marah dan terpukul oleh kejadian tersebut, serta melihatnya sebagai contoh nyata dari kekerasan dan ketidakadilan yang dialami oleh komunitas Aborigin.
Protes-protes dan demonstrasi menuntut keadilan dan perubahan sistemik segera diadakan di berbagai kota di Australia. Banyak orang Australia, tanpa memandang latar belakang budaya atau etnis mereka, bersatu untuk menentang rasisme dan mendukung keluarga Kumanjayi Walker.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari