Masalah Lain Baliho Politik: Bahayakan Pengguna Jalan dan Jadi Sampah Baru
Selain membahayakan pengguna jalan, pemasangan APK Pemilu yang tak beraturan juga berdampak serius buat lingkungan.
Peletakan Alat Peraga Kampanye (APK) di berbagai ruas jalan menjadi perhatian Jasmine Floretta, 26. Sebagai pengguna jalan, ia sering melihat APK berada di trotoar, jembatan penyeberangan orang, flyover, hingga dipajang di batang pohon. Tak hanya polusi visual, Jasmine bilang, peletakan APK juga berisiko bagi pengguna jalan.
Saat berjalan kaki di bilangan Juanda dan Pancoran Mas, Depok, misalnya. Menurut Jasmine, trotoar di area tersebut cukup sempit. Ditambah adanya baliho yang menghabiskan ruang pejalan kaki. Ia terpaksa turun dari trotoar dan berjalan melipir, saat berhadapan dengan baliho yang menghalangi akses jalan.
“Ngeri-ngeri sedap, sih, takut keserempet kendaraan. Soalnya pengendara motor dan mobil di Depok enggak mikirin pejalan kaki,” cerita Jasmine.
Selain pejalan kaki, APK pun berisiko bagi pengendara motor yang lebih rentan kecelakaan. Jasmine yang sering mobilisasi dengan ojek online mengungkapkan perasaan waswas, tiap melewati flyover dipenuhi baliho dan bendera partai politik (parpol). Sebab, APK tersebut hanya ditopang tongkat panjang yang gampang roboh, jika terkena angin atau hujan besar. Akibatnya bisa menimpa pengendara motor yang melintas.
Seperti pasangan suami istri (pasutri) lansia yang kecelakaan di flyover Kuningan, Jakarta Selatan, pertengahan Januari lalu. Waktu itu ada bendera parpol yang ambruk. Kemudian terseret dan tersangkut di motor yang dikendarai pasutri, membuat mereka terjatuh. Tak cuma di Jakarta, baliho yang roboh juga menewaskan pelajar SMA di Kebumen, Jawa Tengah medio Januari lalu.
Kejadian tersebut menunjukkan dampak dari pemasangan APK yang sembarangan, membahayakan pengguna jalan. Namun, bagaimana aturan pemasangannya?
Baca Juga: Kebebasan Pers dan Berekspresi Terancam Pasca-Pemilu 2024?
Aturan Pemasangan APK
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum disebutkan, pemasangan APK harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kawasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aturan tersebut juga menyebutkan beberapa tempat umum, yang dilarang untuk pemasangan APK. Seperti tempat ibadah, tempat pelayanan kesehatan, tempat pendidikan, dan fasilitas milik pemerintah. Kemudian jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, serta taman dan pepohonan. Selain itu, aturan pun menyebutkan, lokasi pemasangan APK ditentukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
Namun, penempatan APK di masa kampanye justru sebaliknya: Mengganggu estetika, mengokupasi ruang pejalan kaki, dan mengancam keselamatan pengguna jalan. Salah satunya Januari lalu, ketika siswa SMK di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, meninggal lantaran tertimpa baliho caleg yang terletak di pinggir jalan raya. Peristiwa terjadi saat korban mengendarai motor bersama temannya, yang mengalami luka-luka.
Berdasarkan pengamatan Urban Planning and Inclusivity Manager Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, Deliani Siregar, pemerintah daerah justru bertindak seolah tak punya kuasa untuk menertibkan.
“Kami jadi mikir, ini ranah siapa untuk menertibkan dan bertanggung jawab (atas pemasangan APK)?” ujar Deliani. Ia menyayangkan pemerintah daerah yang tak cukup menyiapkan peraturan, untuk mengelola pemasangan APK.
Baca Juga: Dinasti Politik Hari ini dan Cara Putus Rantainya
Secara prinsip, penempatan APK sebenarnya sama dengan perencanaan ruang dan atribut lain di jalanan. Yakni jangan sampai APK menghalangi, atau tidak memfungsikan suatu ruang—seperti pemasangan APK di trotoar yang menutup ruang pejalan kaki, dan menutup papan informasi.
Tak hanya Deliani, Koordinator Kampanye Media Koalisi Pejalan Kaki (KOPEKA) Abiyyi Yahya Hakim pun menggarisbawahi keselamatan pejalan kaki. Ia mengungkapkan, “Secara sistemik, desain infrastruktur belum mendukung keselamatan pejalan kaki. Belum lagi ada baliho di tahun politik, jadi nambah (risiko para pejalan kaki).”
Kondisi ini juga berisiko bagi pejalan kaki di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). KOPEKA menegaskan, visibilitas di JPO yang tertutup APK berisiko meningkatkan tingkat kriminalitas, dan pelecehan seksual.
Namun, penempatan APK di masa kampanye justru sebaliknya: Mengganggu estetika, mengokupasi ruang pejalan kaki, dan mengancam keselamatan pengguna jalan.
Selain merugikan pengguna jalan, penempatan APK pun berdampak pada lingkungan. Misalnya APK yang dipasang di pohon dengan menancapkan paku. Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta, Dimas Perdana menjelaskan, paku tersebut melukai permukaan pohon. Dampaknya berpotensi menimbulkan bakteri yang menggerogoti pohon.
Sementara bekas APK yang mengandung plastik dan berakhir jadi sampah, membutuhkan waktu lama untuk terurai hingga berpotensi mencemari sungai. Sebab, plastik—yang digunakan sebagai bahan baliho—akan terdegradasi menjadi mikroplastik akibat terpapar sinar matahari, air, angin, dan suhu tinggi.
Mikroplastik sendiri berbahaya pada kerusakan ekosistem laut, membahayakan kesehatan manusia lewat kontaminasi pada makanan dan udara, serta memperburuk perubahan iklim. Karena itu, peserta pemilu semestinya bertanggung jawab dalam menggunakan APK.
“Peserta pemilu harus aware dengan residu dari APK (yang tak terpakai). Seharusnya mereka punya rencana pengelolaan sampah ya,” tambah Dimas.
Merespons peristiwa belakangan yang disebabkan APK, dalam wawancara bersama Detik.com, Koordinator Divisi Pelanggaran Pemilu Benny Sabdo mengatakan, telah menerima laporan dari aliansi masyarakat peduli demokrasi. Pihaknya akan mengkaji, menindaklanjuti, dan mengimbau peserta pemilu untuk menaati regulasi yang berlaku, serta mengedepankan kemanusiaan—terlebih sudah ada korban.
Lalu, bagaimana pelanggaran APK dan pencemaran sampahnya dapat ditangani?
Baca Juga: 5 Hal yang Perlu Dikritisi dari Rencana Prabowo Impor Sapi
Perlunya Mengutamakan Hak Pengguna Jalan
Untuk memberikan ruang bagi masyarakat, KOPEKA menerima laporan masyarakat di media sosial, terkait peletakan APK yang mengganggu. Mereka mengirimkan foto APK yang menghalangi akses pejalan kaki lewat direct message—atau Instagram story dan mention akun KOPEKA, serta menyertakan lokasi area dan tagar #DekatDenganPejalanKaki.
Selain mengunggah kembali di akun mereka, KOPEKA mendata laporan tersebut untuk dirilis pada Hari Pejalan Kaki Nasional, (22/01). Tujuannya agar publik menilai peserta pemilu, yang akan merepresentasikan mereka di pemerintahan.
“Biar publik yang nilai, orang (peserta pemilu) yang nggak menghargai fasilitas pejalan kaki, disabilitas, dan ibu yang bawa stroller bayi. Untuk apa mempertahankan mereka selama lima tahun (masa kerja)?” kata Koordinator KOPEKA Alfred Sitorus.
Dari laporan netizen selama ini, Alfred menyampaikan cuma ada dua calon legislatif yang merespons. Mereka adalah Uya Kuya dari Partai Amanat Nasional (PAN), dan Abraham Sridjaja dari Partai Golongan Karya (Golkar). Keduanya tanggap dengan mengerahkan tim untuk mencabut dan memindahkan baliho, ke area yang tak mengganggu akses pejalan kaki.
Membicarakan pencabutan APK yang melanggar aturan, sebenarnya merupakan kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) selaku perangkat daerah. Mereka bertugas menangani pelanggaran ketertiban umum. Artinya, dapat menertibkan APK tanpa berkonsultasi pada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Terlepas dari pelanggaran yang dilakukan, Dimas menggarisbawahi peserta pemilu seharusnya memahami etika lingkungan, yakni edukasi tentang bahaya kerusakan lingkungan, dan rencana pengelolaan sampah.
“Bukan malah memperlihatkan ketidakpahaman terhadap etika lingkungan, dengan menggunakan APK yang ngerusak (lingkungan),” tutup Dimas.