Jadi ASN Tak Jamin Hidup Nyaman: Cerita Mereka yang Terdampak Efisiensi Anggaran
Kebijakan pemangkasan anggaran Presiden Prabowo memakan korban ASN. Tak cuma kehilangan tunjangan, ada sebagian yang terpaksa bekerja dengan penuh keterbatasan.

Ambisi Prabowo untuk menghemat anggaran negara menuai kritik publik. Pasalnya, efisiensi ini punya dampak luas pada operasional sebagian besar lembaga dan kementerian di Indonesia. Melansir Berita Satu, pemangkasan anggaran pada lembaga dan kementerian bahkan menyentuh puluhan triliun. Yang tertinggi, pemotongan anggaran menimpa Kementerian Pekerjaan Umum (PU), yakni sebesar Rp81,38 triliun atau 73,34 persen.
Imbasnya, sejumlah aparatur sipil negara (ASN) yang harus pil pahit, mulai dari lembur, bekerja tanpa ruangan yang memadai, tanpa listrik, bahkan ada yang terancam tak menerima gaji penuh. Kepada Magdalene, tiga ASN, “Dio”, “Bimo”, dan “Lita” menceritakan pengalamannya soal dampak efisiensi anggaran. Berangan-angan hidup nyaman jadi abdi negara, kini mereka dibuat kelimpungan di masa pemerintahan Prabowo.
Baca juga: 6 Dampak Efisiensi Anggaran Prabowo: PHK Massal hingga Riset yang Mandek
Operasional Lapangan, Lift, sampai Pemadaman Listrik
Dio adalah salah ASN di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Sejak ditetapkan sebagai ASN beberapa tahun silam, Dio cukup percaya diri dengan gaji dan karier yang stabil. Namun, realitas berbalik 360 derajat beberapa hari belakangan. Sebagai orang yang bekerja di bagian teknis, Dio merasakan betul sulitnya kerja dengan pemangkasan hal-hal substantif, seperti pendanaan riset, misalnya.
“So far signifikan banget sih ya pemotongan anggaran itu. Karena gue bekerja di bagian teknis atau penanganan, jadi agak susah karena butuh persiapan. Kalau di tempat gue itu, penanganan perlu didahului sama penelitian. Penelitian ini kena pangkas dan di-cut begitu aja. Jadi ini sangat berefek ke (penanganan) ke depan,” kata Dio.
Ia cemas pemangkasan anggaran justru akan berdampak pada citra dan kredibilitas ASN. Proses penanganan kasus bisa jadi melempem lantaran dana riset yang disunat. Akhirnya masyarakat tidak akan menerima manfaat yang seharusnya.
“Yang gue khawatirkan, citra kami jadi tambah jelek karena tidak bisa menangani suatu kasus dengan tepat waktu, sebagai imbas dari pemotongan anggaran itu. Misal kayak temen gue yang lagi menangani perkara, selain dari awal udah banyak di-cut, operasional yang dipangkas juga berdampak ke sulitnya kita buat hadir dalam persidangan kasus. Jadi bisa aja kita enggak dianggap serius dalam perkara itu.”
Selain dana operasional lapangan yang kena sunat, penggunaan lift sampai pendingin ruangan pun ikut kena pembatasan. Sampai (13/2), hanya 1 dari 2 lift yang dapat digunakan untuk operasional kantor. Yang terparah, per jam 4 sore, Dio dan teman-teman di Kementerian ATR juga perlu merasakan pengurangan penggunaan pendingin ruangan.
Hal serupa juga dialami Bimo, ASN di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Di kantornya, fasilitas umum seperti listrik dan air mengalami pembatasan. Lembaga pun perlu menyesuaikan cara kerja bahkan menerapkan work from home (WFH) di beberapa hari dalam seminggu. Hal ini tentu punya pengaruh besar pada produktivitasnya sebagai pegawai Kemenlu.
Selain itu, penyunatan anggaran juga berdampak pada anggaran dinas yang kian menyusut. Alhasil, banyak pertemuan internasional yang enggak bisa didatangi. Hal ini punya bahaya besar pada inti pekerjaan teman-teman di Kemenlu yang berkelindan dengan urusan internasional.
“Pemangkasan anggaran dinas dan operasional sangat signifikan. Banyak pertemuan internasional yang jadinya enggak dapat dihadiri karena alasan pembiayaan. Tentunya ini sangat mengkhawatirkan karena anggaran perjalanan dinas merupakan suatu hal yang krusial mengingat spektrum pekerjaannya bersifat internasional,” kata Bimo.
Baca juga: Dari Pelanggar HAM, Agamis, hingga ‘Gemoy’: Cara Prabowo Poles Citra demi Kuasa
Tunjangan Kinerja Dosen Cuma Mimpi?
Pemotongan anggaran yang besar juga memancing kekhawatiran Lita, tenaga pendidik di salah satu kampus negeri di Jabodetabek. Ini tak lepas dari tunjangan kinerja (tukin) dosen yang belum kunjung turun. Sebelum efisiensi terjadi, persoalan tukin sudah jadi isu besar yang belum diselesaikan pemerintah. Dengan pemangkasan anggaran, Lita makin pesimis persoalan tukin akan diselesaikan segera.
“Sebenernya kan isu efisiensi ini baru muncul Januari-Februari ini ya. Menurut saya, even misalnya enggak ada kasus efisiensi anggaran ini, tetap aja tuh kemungkinan tukinnya turun juga enggak akan diperjuangkan. Apalagi kalau teman-teman dosen kemarin enggak pada demo seperti itu. Terus, dengan ada efisiensi ini, kita juga tambah semakin khawatir, jangan-jangan emang semakin kecil kemungkinan kita dapat yang kita mau sesuai sama haknya seperti itu,” jelas Lita.
Sebagai ASN tenaga pendidik, Lita mengaku belum ada dampak langsung yang terjadi dari pemangkasan anggaran pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan dampaknya bisa terasa di kemudian hari, seperti kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) atau pengurangan dana riset, misalnya.
“Sebenarnya kalau dampak langsung banget sih aku belum merasakan ya. Cuma kita enggak tahu Maret nanti. Pas uang turun itu, adakah yang dipangkas kita belum tahu. Cuma kan emang ada uang-uang yang sebenarnya dari pemerintah, ya. Jadi misalnya kayak dana penelitian, kayak gitu kan. Nah, kemarin sempat dengar kabar tuh dari Dikti, kalau itu akan dipotong juga kemungkinan. Ada juga isu bisa jadi UKT yang naik sebagai imbas penghematan ini,” tambah Lita.
Baca juga: Makan Bergizi Gratis Prabowo, Sudahkah Libatkan Anak dengan Disabilitas?
Jadi ASN Bukan Lagi Jadi Jaminan
Dari kejadian ini, baik Dio, Bimo, maupun Lita cukup ketar-ketir. Pasalnya, menjadi ASN yang terlihat nyaman nyatanya tidak didapatkan di masa pemerintahan Prabowo. Pemotongan anggaran pada masing-masing kementerian jadi pengingat bahwa serampangannya kebijakan pemerintah, langsung berdampak pada hidup ASN.
Bivitri Susanti, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dalam analisis politiknya di Kompas “Politik Anggaran dan Ke(tidak) Bijakan” (2024) menjelaskan ini sebagai politik anggaran. Ini dimaknai sebagai proses politik yang terjadi dalam penentuan dan pengalokasian anggaran publik. Dalam politik anggaran, moralitas atau kepentingan publik tak jadi pertimbangan untuk mengatur keuangan. Sebaliknya, semua dibuat berdasarkan kepentingan elite dan ambisi penguasa.
Efisiensi anggaran ini, lanjut Bibip, yang sedianya akan dialihkan untuk program MBG juga dinilai tak pas. Alih-alih mewujudkan keadilan sosial bagi anak-anak miskin, orang tua yang sebenarnya mampu memberi makan layak justru dipersulit hidupnya. ASN termasuk di dalamnya: Mereka dipersulit.
Bimo sendiri merefleksikan fenomena efisiensi anggaran pada kenaikan karier yang otomatis terhambat apabila ada perubahan kebijakan ekstrem seperti sekarang. “Meskipun memang pendapatan ASN di mayoritas itu di atas UMR (upah minimum regional), tapi proses kenaikan pangkat dan gaji atau tunjangan itu enggak sebentar. Butuh setidaknya 3-4 tahun untuk ASN naik jenjang, kalau di masa itu ada perubahan-perubahan ekstrem di kebijakan pemerintah, kayak sekarang, banyak ASN pasti berpikir dua kali untuk bertahan,” ungkap Bimo.
Dio sempat mendengar isu restrukturisasi dana pensiun ASN selepas pemangkasan anggaran dilakukan. Apabila hal tersebut sampai terjadi, jelasnya, sudah barang tentu ada sebagian haknya yang dilucuti negara.
“Orang-orang kan mau masuk ASN pasti karena stabil pendapatannya, dari kerja sampai pensiun. Kalau kayak gini, apalagi ada isu pensiunan diubah-ubah, pasti ngerasa ada hak-hak yang diambil,” pungkas Dio.
