#IndonesiaGelap: 6 Dampak Buruk Efisiensi Anggaran Pendidikan
Dari mahasiswa hingga dosen, semua terciprat kebijakan efisiensi anggaran pendidikan. Ada yang terancam putus sekolah, kehilangan pekerjaan, atau terlunta-lunta di negara orang.

Tagar #IndonesiaGelap menggema di media sosial Indonesia seminggu terakhir. Penyebabnya, kebijakan efisiensi anggaran Presiden Prabowo Subianto telah membuat derita rakyat kian naik ke leher. Salah satu yang kena getahnya adalah orang-orang di sektor pendidikan. Melansir Tempo, pemotongan anggaran pada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek), dan Kementerian Agama (Kemenag), disinyalir memperburuk kualitas pendidikan Indonesia.
Masih dari sumber yang sama, besar potongan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) mencapai Rp14,3 triliun dari pagu awal. Di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, ada pemotongan Rp7,27 triliun. Sementara Kementerian Agama efisiensi anggaran sebesar Rp12 triliun.
Magdalene merangkum dampak dan potensi dampak buntut pemangkasan anggaran di sektor pendidikan:
Baca juga: 6 Dampak Efisiensi Anggaran Prabowo: PHK Massal hingga Riset yang Mandek
1. Kenaikan Biaya Kuliah
Edi Subkhan, pengamat pendidikan Universitas Negeri Semarang bilang, efisiensi anggaran berpotensi menaikkan uang kuliah tunggal (UKT). Disitir dari Kompas, hal ini terjadi lantaran ada pemotongan bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) sebesar 50 persen, sebagai imbas efisiensi anggaran di Kemendiktisaintek.
Karena itulah, imbuh Edi, ada potensi angka putus kuliah di kalangan mahasiswa. Sebab, kenaikan UKT tentu membuat banyak mahasiswa perlu berpikir dua kali untuk melanjutkan pendidikan
“Ini dampaknya akan berantai, bahkan ada yang berpotensi putus kuliah,” kata Edi.
Menteri Kemendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro sepakat. Menyadur Antara, ia mengatakan kenaikan biaya kuliah bisa saja terjadi lantaran kampus perlu mencari dana tambahan untuk operasional.
“Kalau mereka juga kena efisiensi, ada kemungkinan perguruan tinggi akan mencari tambahan dana untuk pengembangan, dan kalau tidak ada opsi lain terpaksa menaikkan uang kuliah,” tuturnya.
2. Pemotongan Anggaran Riset
Enggak cuma berpengaruh pada kenaikan UKT, pemangkasan anggaran juga berpotensi menurunkan kuantitas dan kualitas riset perguruan tinggi. Kepada Kompas, Fauzan Adziman, Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kemendiktisaintek bilang, riset dan pengembangan jadi bagian yang terimbas efisiensi anggaran.
Sebanyak 30 persen dana riset berasal dari bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN), yang mana juga kena efisiensi. Karena itu, Fauzan menyebutkan kemungkinan hanya 7 persen dari keseluruhan jumlah proposal riset yang masuk yang bisa didanai.
“Kami dari riset dan pengembangan tentunya juga menjadi bagian dalam proses efisiensi ini (anggaran). Sebelumnya, dana riset ini hanya kebagian sekitar Rp1,2 triliun sehingga masih sangat kecil. Bayangkan kalau kita potong lagi lebih kecil lagi gitu. Jadi hanya 7 persen dari jumlah proposal yang bisa kami danai,” jelasnya.
Rektor Universitas Andalan (Unand) Sumatera Barat, Efa Yonnedi, bahkan sudah mulai ambil langkah. Kepada Antara, ia mengatakan bahwa pihak kampus sudah mulai menggaungkan antisipasi dalam mencari sumber-sumber alternatif untuk pembiayaan riset.
“Dengan adanya efisiensi anggaran lewat Inpres Nomor 1 Tahun 2025, kita harus bijak mencari pendanaan alternatif untuk riset,” imbuhnya.
Baca juga: Kelangkaan Elpiji 3 Kg: Beban Berat Perempuan di Tengah Blunder Kebijakan
3. Beasiswa yang Terancam
Selain mengancam biaya riset di perguruan tinggi, efisiensi anggaran juga berdampak pada pendanaan beasiswa perguruan tinggi. Manyadur Antara, Menteri Staryo mengatakan terdapat pemangkasan sejumlah anggaran beasiswa, yakni beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (Adik), beasiswa Kerja Sama Negara Berkembang (KNB), serta beasiswa dosen dan tenaga kependidikan.
Pemotongan ini terjadi dalam nominal yang berbeda-beda. Dalam Dalam Rapat Kerja bersama Komisi X DPR RI (13/2), Satryo Soemantri Brodjonegoro memaparkan terdapat efisiensi sejumlah Rp1,31 triliun pada beasiswa KIP, Rp85 miliar pada beasiswa KNB, dan R 236 miliar pada beasiswa dosen dan tenaga kependidikan, dikutip dari media yang sama.
Namun, setelah pernyataan itu dibuat, Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, pemerintah akan memastikan efisiensi anggaran takkan memengaruhi pemberian beasiswa. Saat konferensi pers di Gedung DPR RI (14/2), ia bilang anggaran beasiswa, khususnya uktuk program KIP sudah dialokasikan dan tidak akan dipangkas.
“Anggaran tersebut tidak terkena pemotongan dan tidak dikurangi,” jelasnya.
4. Tunjangan Dosen Terancam Hilang
Setelah ramai tunjangan kinerja dosen yang mandek, efisiensi anggaran ala pemerintahan Prabowo juga berdampak pada hilangnya tunjangan tenaga pendidik non-PNS (pegawai negeri sipil). Melansir Detik.com, dalam Rapat Kerja Komisi X DPR (13/2), Menteri Kemendiktisaintek, Satryo, menjelaskan terdapat efisiensi sebesar 25 persen pada tunjangan dosen non-PNS.
Namun, Menteri Satryo sendiri mengupayakan agar hal ini tidak terkena efisiensi. Menurutnya, tunjangan dosen non-PNS seharusnya masuk ke dalam anggaran non-efisiensi rupiah murni, seperti halnya gaji dan tunjangan Kemendiktisaintek, serta bantuan sosial, atau beasiswa Kemendiktisaintek.
Baca juga: Jadi ASN Tak Jamin Hidup Nyaman: Cerita Mereka yang Terdampak Efisiensi Anggaran
5. Operasional Sekolah Kena Imbas
Selain perguruan tinggi, sekolah dasar sampai menengah di bawah naungan Kemenag, yakni Madrasah, juga harus menelan imbas efisiensi anggaran. Menyadur Times Indonesia, bantuan operasional sekolah (BOS) Madrasah harus mengalami penurunan lantaran Kemenag terkena pemangkasan anggaran.
Secara rinci besaran BOS untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) sendiri turun jadi Rp500 ribu dari yang tadinya Rp1,1 juta per siswa. Untuk Madrasah Tsanawiyah (MTs), dana bantuan yang semula menyentuh Rp1,3 juta per siswa, turun menjadi Rp600 ribu per siswa. Adapun untuk siswa Madrasah Aliyah (MA), dana bantuan yang tadinya menyentuh Rp1,5 juta, kini menyusut menjadi Rp700 ribu per siswa.
Penurunan nominal bantuan Madrasah ini disampaikan oleh Kementerian Agama dalam surat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam pada (14/2). Kepala Bidang Pendidikan Madrasah pada Kantor Kemenag Kabupaten Probolinggo, Barzan Ahmadi pun mengamini hal ini. Kepada Times Indonesia, ia mengatakan bahwa pemangkasan ini terjadi pada madrasah negeri.
“Untuk madrasah negeri (terkena efisiensi). Yang (madrasah) swasta tidak ada potongan (terkena efisiensi),” pungkas Barzan.
6. Pemerataan Pendidikan yang Jauh Panggang Dari Api
Efisiensi anggaran pun tak lepas dari pupusnya pemerataan akses pendidikan ke beberapa daerah di Indonesia. Terutama di Papua, Daniel Ayub Dawan, Pembantu Dekan III Ekonomi dan Bisnis Universitas Cendrawasih (Uncen) bilang, pemangkasan anggaran juga berimbas pada operasional Uncen. Melalui Jubi Papua ia mengatakan bahwa efisiensi anggaran sudah semestinya dikritisi ulang. Pengembangan sumber daya manusia hanya akan jadi angan-angan apabila hal ini tidak dilakukan dengan cermat.
“Saya pribadi di Lembaga Uncen, ya berharap untuk pemerintah meninjau kembali efisiensi anggaran itu. Supaya, apa yang mau diefisiensikan itu bisa jelas. Ini untuk mendukung pengembangan sumber daya manusia kita,” kata Daniel.
Di tempat lain, Ubad Matraji, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pun mengkritisi hal yang serupa. Pasalnya, berdasarkan penuturan Ubaid melalui Detik.com, pemangkasan anggaran yang serampangan hanya berdampak pada penurunan kualitas pendidikan dan sulitnya akses pendidikan di daerah.
Untuk itu, Ubaid pun menambahkan bahwa pemerintah wajib menjaga mandatory spending minimal 20 persen untuk pendidikan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi:
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
