Issues Politics & Society

Kelangkaan Elpiji 3 Kg: Beban Berat Perempuan di Tengah Blunder Kebijakan

Kelangkaan elpiji 3 kg menambah beban perempuan, yang masih dilekatkan pada urusan domestik.

Avatar
  • February 12, 2025
  • 4 min read
  • 2427 Views
Kelangkaan Elpiji 3 Kg: Beban Berat Perempuan di Tengah Blunder Kebijakan

Beberapa pekan terakhir, kelangkaan elpiji 3 kg mengguncang masyarakat kelas bawah. Di berbagai daerah, antrean panjang terlihat di pangkalan dan agen gas, bahkan ada yang harus menempuh perjalanan jauh demi mendapatkan tabung subsidi ini. Tragisnya, seorang warga bernama Yonih dikabarkan meninggal akibat kelelahan setelah berjalan jauh dan mengantre.

Kisah Yonih menjadi bukti bahwa blunder kebijakan pemerintah berdampak langsung pada rakyat kecil. Lebih jauh, fenomena ini memperlihatkan satu pola yang mencolok: mayoritas yang mengantre adalah perempuan. Hal ini menegaskan bahwa perempuan menjadi kelompok paling terdampak ketika kebijakan energi salah urus.

 

Baca juga: Larangan Jual Elpiji 3 KG Eceran, OK Gas Penderitaan Perempuan

Kelangkaan elpiji dan beban perempuan

Dalam banyak pemberitaan dan gambar yang beredar, antrean panjang elpiji 3 kg hampir seluruhnya diisi oleh perempuan. Ini bukan kebetulan. Dalam masyarakat patriarkal seperti Indonesia, perempuan masih dibebani tanggung jawab domestik, termasuk memastikan ketersediaan bahan bakar untuk memasak.

Saat gas langka, beban perempuan berlipat ganda. Mereka harus mengantre berjam-jam, menghadapi kenaikan harga pangan akibat lonjakan harga elpiji, dan mencari alternatif bahan bakar yang lebih mahal atau berisiko, seperti kayu bakar atau minyak tanah yang semakin sulit ditemukan.

Sebagaimana dijelaskan dalam laporan Magdalene, perempuan menjadi kelompok paling rentan dalam situasi ini karena peran yang dilekatkan kepada mereka oleh konstruksi sosial. Hasil wawancara yang dilakukan oleh Purnama Ayu dan Chika Ramadhea menunjukkan bahwa perempuan sering kali menjadi pihak yang paling terdampak oleh kebijakan energi yang buruk.

Kondisi di atas juga memberikan gambaran bahwa perempuan di tengah masyarakat yang patriarkal akan rentan menjadi korban dari tata kelola kebijakan pemerintah yang salah. Krisis elpiji ini hanyalah satu dari sekian banyak kebijakan yang berdampak buruk pada perempuan.

Baca juga: Adopsi Energi Terbarukan: Perempuan Bergerak, Perempuan Berdaya

Blunder kebijakan dan kesenjangan gender

Pemerintah sering menggaungkan pembangunan, tetapi kebijakan yang diambil tidak selalu mempertimbangkan kelompok rentan.

Ester Boserup dalam Women’s Role in Economic Development (1984) menyoroti bagaimana perempuan kerap menjadi korban pembangunan. Program-program besar sering kali dirancang tanpa mempertimbangkan kebutuhan spesifik perempuan, sehingga mereka lebih rentan terhadap dampak negatifnya. Dalam banyak kasus, pembangunan cenderung meminggirkan perempuan dan kelompok rentan, membuat mereka tidak memiliki akses yang setara terhadap sumber daya ekonomi dan sosial.

Di era Presiden Joko Widodo yang dilanjutkan pemerintahan Prabowo Subianto, berbagai proyek ambisius seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), Food Estate, dan Modernisasi Bahan Bakar Gas (MBG) terus didorong atas nama pembangunan. Namun, seperti yang dikritisi oleh aktivis India Vandana Shiva, pembangunan sering kali menjadi mitos yang justru memperburuk ketimpangan sosial dan merusak lingkungan.

Shiva menyebut fenomena ini sebagai demitologisasi pembangunanisme (developmentalisme), sebuah kondisi di mana negara menciptakan mitos “mengejar ketertinggalan” pembangunan sebagai pembenaran atas kebijakan yang sering kali tidak adil. Dalam banyak aspek, pembangunan justru cenderung merugikan perempuan dan alam. Jika kebijakan energi terus salah kelola, perempuan akan terus menjadi korban pertama dari dampak sosial dan ekonomi yang diakibatkan.

Pembangunan yang diklaim sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan justru sering menciptakan lebih banyak masalah bagi perempuan. Dalam kasus kelangkaan elpiji 3 kg, negara berdalih bahwa kebijakan distribusi gas bersubsidi dilakukan agar lebih tepat sasaran. Namun, alih-alih memberikan solusi, kebijakan ini justru menimbulkan kelangkaan yang semakin menyulitkan masyarakat kelas bawah.

Baca juga: 5 Kebijakan yang Mempersulit Kelas Menengah di 2025

Perempuan, energi, dan krisis pembangunan

Ke depan, Indonesia akan meluncurkan berbagai program besar, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga ketahanan pangan dan energi. Namun, jika fokus utama tetap pada pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampaknya pada lingkungan dan kelompok rentan, akibatnya bisa sangat merugikan. Pola pembangunan seperti ini berisiko mempercepat kerusakan lingkungan, mulai dari perubahan iklim, krisis air bersih, bencana alam seperti banjir dan kekeringan, hingga konflik sosial, urbanisasi, dan penyebaran berbagai penyakit.

Selain itu, pembangunan yang mengabaikan aspek gender hanya akan memperdalam kesenjangan sosial. Proyek infrastruktur besar, seperti pemindahan ibu kota atau investasi energi fosil, sering kali lebih menguntungkan kelompok tertentu, sementara perempuan dan komunitas rentan tetap berada di posisi yang paling terdampak. Kelangkaan elpiji 3 kg adalah salah satu contoh nyata dari bagaimana kebijakan negara dapat memperburuk ketimpangan ini, dengan perempuan menjadi kelompok yang paling rentan.

Karena itu, kebijakan harus dirancang dengan perspektif yang lebih kritis dan inklusif. Pelibatan perempuan dan anak perempuan dalam perencanaan dan perumusan kebijakan sangat penting untuk memastikan bahwa program yang dijalankan tidak mengandung bias gender atau mendiskriminasi kelompok marjinal. Patriarki bukan hanya soal ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah domestik, tetapi juga menciptakan kerentanan sosial dan politik yang lebih luas. Dalam sebuah negara demokrasi, semua warga negara harus diperlakukan setara, tanpa memandang gender, ras, atau latar belakang sosial.

Radius Setiyawan adalah pengajar mata kuliah Cultural Studies di DKV Universitas Muhammadiyah Surabaya.



#waveforequality
Avatar
About Author

Radius Setiyawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *