Setelah Putusan Tom Lembong, Apa Maknanya buat Pembuat Kebijakan?
Mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, diputus bersalah pada (18/7) atas dugaan kasus korupsi importasi gula.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menjatuhi Tom Lembong vonis 4,5 tahun penjara. Tom juga dikenakan denda sebesar Rp750 juta subsider pidana kurungan selama enam bulan.
Majelis Hakim menyatakan, Tom melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Baca juga: Siapa Tom Lembong? Dari Mantan Menteri Jokowi Sampai jadi Timses Anies
Melansir Hukum Online, dalam dalilnya, hakim menilai perbuatan Tom yang bertentangan dengan sejumlah aturan hukum sebagai bentuk perbuatan melawan hukum. Perbuatan yang dimaksud oleh hakim adalah memberikan izin ataupun mengetahui jika impor gula dilakukan bukan oleh perusahaan BUMN, padahal untuk impor gula seharusnya dilakukan oleh perusahaan BUMN. Selain itu, penugasan perusahaan swasta juga tidak sesuai dengan rapat koordinasi.
Perbuatan Tom juga dinilai memenuhi unsur menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi di Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Majelis Hakim berargumentasi, unsur dalam pasal tersebut bersifat alternatif, sehingga meskipun Tom tak memperoleh keuntungan pribadi, tindakan yang menguntungkan pihak lain tetap memenuhi unsur memperkaya orang lain secara hukum
Dalam pertimbangan hakim yang memberatkan untuk Tom, majelis menyebut Tom lebih mementingkan ekonomi kapitalis daripada prinsip demokrasi ekonomi dan Pancasila. Tom pun dianggap menjalankan tugas tanpa menjadikan hukum sebagai landasan kebijakan, tidak bertanggung jawab dalam pelaksanaannya, serta mengesampingkan kepentingan masyarakat sebagai konsumen yang berhak memperoleh gula dengan harga terjangkau.
Namun, majelis menganggap terdapat beberapa hal yang meringankan vonis Tom, di antaranya Tom belum pernah dihukum sebelumnya, tidak menikmati hasil korupsi, bersikap sopan, dan kooperatif selama persidangan. Karena tidak menerima keuntungan pribadi, ia dibebaskan dari pidana tambahan berupa uang pengganti.
Usai sidang putusan, Tom dan kuasa hukumnya menyoroti kalau selama persidangan berlangsung mens rea atau niat jahat darinya dalam kasus korupsi impor gula tidak pernah dibuktikan.
“Jadi hari ini kita sudah mendengar vonis dari majelis hakim. Tidak perlu saya uraikan lagi. Dari sudut pandang saya, pertama yang paling penting adalah majelis hakim tidak menyatakan adanya niat jahat dari saya. Tidak ada yang namanya mens rea. Itu saya kira paling penting,” ujar Tom, mengutip Hukum Online.
Sehingga, mereka bilang, hal ini membuktikan jika Tom sama sekali tidak mempunyai niat jahat dalam perkara ini.
Putusan ini memunculkan perdebatan hukum tentang pertanggungjawaban pidana bagi pejabat publik. Timbul pertanyaan apakah seseorang harus dipidana atas kebijakan yang dianggap keliru, meski tanpa bukti adanya niat jahat dan keuntungan pribadi.
Baca juga: Ragukan Guru Besar hingga Ahli di ‘Dirty Vote’, Warga +62 Harus Berhenti Menyangkal Pakar
Penegakan Hukum atau Kriminalisasi?
Sejak putusan dibacakan, warganet beramai-ramai menggunakan tagar Justice For Tom Lembong di media sosial. Ada juga yang saling berbagi cerita Instagram lewat fitur add yours yang berisi pesan keprihatinan terhadap ketidakadilan yang menimpa Tom Lembong.

Simpati publik terhadap kasus Tom Lembong menunjukkan, tidak semua kasus korupsi direspons dengan kemarahan, seperti yang sudah-sudah. Di kasus Tom, yang muncul justru simpati.
Ubedillah Badrun, pemerhati politik sekaligus akademisi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bilang, hal ini terjadi karena publik memiliki kecurigaan, kasus Tom Lembong merupakan bentuk kriminalisasi terhadap oposisi.
Ia menyebut, ada sejumlah kejanggalan dalam kasusnya yang membuat banyak pihak curiga. Seperti kasus yang baru diusut setelah sepuluh tahun berlalu, putusan hakim yang menyatakan kalau Tom tidak menerima keuntungan dan tidak mempunyai niat jahat, hingga posisi Tom yang kini berseberangan dengan kekuasaan.
Kejanggalan putusan hakim ini disoroti juga oleh pakar hukum tata negara Bivitri Susanti. Mengutip Tempo, ia menyoroti kejanggalan pada vonis Tom Lembong sebab tidak ada keuntungan apa pun yang Tom nikmati. Ia juga mempertanyakan mengapa majelis hakim tetap menjatuhkan hukuman penjara dalam putusan Tom Lembong.
“Yang mendapatkan (keuntungan) adalah orang-orang yang bahkan dia enggak kenal secara langsung,” ucap Bivitri kepada Tempo.
Selain itu, niat jahat Tom dalam kasus impor gula yang dinilai tidak terbukti di dalam pengadilan juga menambah kejanggalan putusan.
Johanna Poerba, peneliti di Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), mengatakan kalau dalam perkara tindak pidana korupsi, memang unsur niat jahat sering jadi perdebatan apakah harus terpenuhi atau tidak.
Ia sendiri berpandangan, seharusnya niat jahat harus dibuktikan dalam perkara korupsi, mengingat selalu ada peluang kerugian negara dalam pengambilan keputusan atau kebijakan pemerintah.
“Untuk itu, perlu dilihat apakah perbuatan tersebut memang sengaja (ada niat jahat) dilakukan dengan tujuan yang dilarang dalam pasal tersebut, atau ya, (jika tidak ada niat jahat) itu adalah pelanggaran/kesalahan administrasi,” jelas Johanna kepada Magdalene lewat pesan tertulis (22/7).
“Kalau yang terjadi adalah yang terakhir (pelanggaran administrasi), maka pemidanaan bukan solusinya. Apa lagi ada mekanisme dalam UU Administrasi Pemerintahan tentang penindakan atas maladministrasi,” ujarnya.
Sementara itu, Ubedillah menilai argumentasi hakim kalau kebijakan Tom Lembong bertentangan dengan Pancasila dan lebih tunduk pada ideologi kapitalisme tidak bisa dibenarkan.
“Karena seluruh praktik bisnis transaksi ekspor-impor dalam ranah ekonomi di Indonesia itu memang masuk kapitalisme semua. Bahkan menteri sebelumnya juga lakukan hal yang sama, sesudahnya lakukan hal yang sama,” jelasnya.
Ubedillah menambahkan, sekumpulan kejanggalan itu membuat tafsir publik kalau Tom Lembong menjadi korban kriminalisasi semakin kuat.
“Jadi yang membuat adanya tafsir semacam itu (kriminalisasi) sebetulnya putusan itu, proses peradilan itu. Saya kira publik tidak bisa disalahkan, para pengamat tidak bisa disalahkan, karena mengamati hal empirik terjadi seperti itu,” tutur Ubedillah kepada Magdalene (22/7).
Menanggapi narasi yang mencuat, PN Jakpus akhirnya buka suara. Menukil Antara, Juru Bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Andi Saputra mengatakan, vonis atas kasus korupsi importasi gula murni diambil berdasarkan fakta hukum.
“Apakah itu tekanan, apakah itu isu-isu politik dan sebagainya, itu tidak ada. Itu yang terpenting, tidak berdasarkan intervensi maupun tekanan lainnya,” kata Andi.
Baca juga: Revisi KUHAP dan Omon-omon Perlindungan bagi Perempuan
Dampak Putusan Tom Lembong
Ubedillah berkata, jika benar putusan Tom Lembong adalah kriminalisasi, maka dapat berakibat buruk pada tiga hal.
Pertama, pada indeks penegakan hukum, kebebasan sipil, dan demokrasi. Indeks penegakan hukum Indonesia sendiri saat ini berada di posisi yang rendah. Mengutip Kompas, pada 2024, peringkat Indonesia dalam indeks negara hukum di dunia berada di posisi 68 dari 142 negara. Adapun skor indeks negara hukum Indonesia berada pada angka 0,53.
Indeks yang rendah ini tercermin dari keraguan publik terhadap kerja-kerja penegak hukum, seperti yang terjadi di kasus Tom Lembong.
“Karena kualitas supremasi hukum kita rendah, jadi wajar kalau publik mencurigai bahwa keputusan pengadilan yang berkaitan dengan orang-orang yang berseberangan dengan kekuasaan, itu syarat dengan manipulasi hukum di situ,” ungkap Ubedillah.
Kedua, kriminalisasi dapat menciptakan ketakutan bagi publik untuk bersikap kritis terhadap kekuasaan. Publik akan ogah kritis, sebab sudah terlebih dahulu merasa takut dikriminalisasi.
“Karena ternyata orang-orang yang berseberangan dengan kekuasaan kemudian dikriminalisasi, atau disanksi, dicabut posisinya, dan seterusnya,” kata Ubedillah.
Terakhir, tak hanya membahayakan kebebasan sipil, kriminalisasi terhadap pejabat publik yang mengambil keputusan dapat menimbulkan efek ketakutan di kalangan pengambil kebijakan. Dikhawatirkan, keputusan ini dapat menjadi preseden buruk bagi kebebasan birokrasi dalam membuat kebijakan. Ubedillah khawatir, hal ini dapat membatasi kreativitas dan inovasi kebijakan oleh pejabat publik.
“Jadi saya kira dampaknya buruk terhadap posisi menteri yang mau melakukan inovasi kebijakan, takut dikriminalisasi, dan itu membuat negara jadi tidak maju-maju. Jadi makanya kriminalisasi itu tidak dapat dibenarkan,” jelas Ubedillah.
Sementara itu, mengutip Bloomberg Technoz, pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menyoroti potensi bahaya dari putusan ini. Abdul mengaku cemas keputusan serupa dapat menjerat pengambil kebijakan atau pejabat negara lain. Dirinya menduga langkah tersebut bisa disalahgunakan sebagai alat balas dendam politik atau alat pemerasan oleh pihak-pihak yang memiliki kuasa dalam proses penegakan hukum.
“Akibatnya, akan memandulkan lahirnya bibit-bibit pemimpin yang baik karena khawatir dikriminalisasi,” tegas dia.
Sebagai penutup, Ubedillah mengingatkan kriminalisasi bukan hanya mencederai hukum, tetapi juga demokrasi itu sendiri.
“Kriminalisasi adalah musuh demokrasi. Kriminalisasi juga musuh hukum, karena proses penghukuman pada orang melalui kriminalisasi adalah tindakan yang melanggar hukum, sekaligus juga melanggar hak asasi manusia,” tandasnya.
















