Politics & Society

Lepas dari Aturan Keluarga, Terkungkung dalam Rumah Tangga

Banyak perempuan yang setelah lepas dari aturan keluarga, malah terkurung pula dalam aturan rumah tangga.

Avatar
  • January 21, 2020
  • 11 min read
  • 655 Views
Lepas dari Aturan Keluarga, Terkungkung dalam Rumah Tangga

Ada peraturan tak tertulis dalam masyarakat “Timur” bahwa keluarga memiliki hak prerogatif untuk mengatur kehidupan seorang anak perempuan selama ia belum menikah. Hak istimewa itu meliputi aturan yang banyak dan beragam dan hampir tanpa kecuali, mulai dari mengatur hal kecil seperti pemilihan jenis pakaian, hingga hal besar yang kelak akan mengikat perempuan hampir seumur hidupnya: penentuan program studi, kriteria jodoh, hingga orientasi seksual. Biasanya setiap keluarga memiliki standar minimal tersendiri dalam aturannya, tergantung kelas sosial mereka di masyarakat dan apa tujuan yang ingin mereka capai.

Meski sebagian perempuan lajang bisa saja tidak lagi tinggal serumah dengan orang tua demi alasan bersekolah atau bekerja, namun hak pengawasan keluarga tak lantas bisa ditanggalkan begitu saja. Orang tua, kakak atau adik laki-laki, om dan tante masih bisa dengan mudah memantau cara berpakaian, lingkungan pertemanan, aktivitas sehari-hari, hingga jam malam di akhir pekan melalui akses internet, atau bahkan dari mulut ke mulut. Itu baru sedikit perkara aturan jika seorang perempuan belum menikah hidup terpisah dengan keluarga. Jika serumah? Mengganti warna rambut saja bisa jadi masalah besar.

 

 

Keluarga Timur hanya akan melepaskan cengkeram kuasa mereka ketika anak perempuan sudah menikah. Jika belum menikah, maka jangan berharap banyak. Meski usia telah hampir mencapai angka 35, apabila ditemukan kejanggalan perilaku yang sekiranya berbeda dari aturan keluarga, maka persidangan keluarga untuk menyeragamkan pola pikir dan perilaku anak perempuan agar sesuai dengan pakem keluarga akan terjadi. Atau minimal interogasi personal yang seringnya berakhir dengan salah satu dari tiga kejadian: perempuan kembali mematuhi peraturan, perempuan hanya berpura-pura mematuhi peraturan, atau pemberontakan.

Anak perempuan yang kembali mematuhi peraturan terbagi dua. Satu, mereka yang benar-benar mematuhinya dengan keyakinan bahwa aturan keluarga adalah benar dan keinginan dirinya adalah salah. Dua, mereka yang mematuhinya karena ketakutan akan kemarahan keluarga yang bisa membuatnya menjadi anak durhaka jika melawan, atau ketakutannya terhadap ancaman kehilangan dukungan dan ditelantarkan.

Anak perempuan yang hanya berpura-pura mematuhi peraturan adalah tipikal yang tidak akan kehabisan akal untuk berbohong agar terhindar dari masalah keluarga, namun tetap bisa menjalankan kehidupan pribadinya sesuai dengan kata hatinya. Tapi jujur saja, perempuan mana, sih, yang tidak lelah berbohong terus menerus hanya untuk jadi diri sendiri?

Sementara pada pemberontak, meskipun sering memicu ledakan amarah keluarga sebab telah berani mengambil langkah konfrontatif, namun setidaknya ia berkesempatan untuk mendapatkan satu opsi terbaik: kesepakatan keluarga untuk memberinya hak menjadi diri sendiri tanpa harus terikat pada cita-cita keluarga. Sebagian lain berakhir dengan pasang surut hubungan keluarga, namun peraturan yang sama sering kali tidak lagi akan menjadi tuntutan. Sebagian yang lain memutuskan untuk tidak lagi mengakui, atau tidak lagi diakui sebagai bagian dari anggota keluarga.

Baca juga: Cintai Perempuan dengan Membebaskannya

Selain mereka yang secara total setuju bahwa aturan keluarga adalah kebenaran mutlak, dan mereka yang mendapatkan persetujuan keluarga untuk membebaskan jati diri, adalah sekelompok besar perempuan yang menunggu pembebasan total. Andai boleh memilih, tidak ada seorang pun yang ingin memiliki hubungan tak akur dengan keluarga mereka. Angan-angan itu sama kuatnya dengan keinginan diberikan hak penuh untuk pribadi bebas. Pembebasan total bagi perempuan di keluarga Timur sebenarnya hanyalah sesederhana berhak mengambil keputusan dan bertanggung jawab pada diri sendiri tanpa perlu memicu debat dan masalah berkepanjangan dalam keluarga. Namun entah mengapa pada praktiknya demikian sulit.

Suami mengakuisisi jati diri istri

Dalam peliknya urusan perebutan hak kuasa antara perempuan dan keluarganya, pernikahan seolah merupakan jalan tengah. Ketika perempuan menikah, pihak keluarga dengan suka cita mengakui bahwa anak mereka adalah perempuan dewasa yang sesungguhnya. Sedangkan sang pengantin melihat pernikahan sebagai gerbang kebebasan. Pernikahan baginya adalah rumah baru dengan jati diri yang bisa bergerak sebebas-bebasnya, bersama dengan suami yang ia cintai.

Sayangnya, sering kali pernikahan adalah proses pemindahan kepemilikan atas perempuan. Beruntung jika suaminya tidak memberi doktrin baru penyerahan diri atas nama cinta. Bagi mereka yang semula letih terikat pada doktrin taat pada keluarga atas dasar utang budi, surga adalah ketika pernikahan menjauhkannya dari aturan keluarga dan memberinya ruang untuk menjadi dirinya yang sesungguhnya. Ia bisa pergi dengan pakaian yang ia senangi atau mendatangi acara apa saja tanpa repot ditanya-tanyai bahkan disidang terlebih dahulu. Saat itu ia telah ada di tempat yang sepantasnya menjadi haknya. Namun bagaimana jika ternyata suaminya tidak mendukung kebebasan itu, tetapi justru malah mengakuisisinya?

Sejumlah perempuan berubah drastis setelah menikah. Mereka yang dulunya selalu datang paling awal ke acara-acara tiba-tiba tak lagi hadir dengan alasan tak ada izin suami. Atau mereka yang dulu selalu bersemangat memburu fashion item terbaru kini hanya akan mengenakan pakaian yang disetujui suaminya saja. Padahal sebelum menikah, mereka sering berhasil melakukan apa saja yang mereka inginkan meski harus sembunyi-sembunyi dari pengawasan keluarga.

Dalam masyarakat yang menyetujui paham suami memiliki hak penuh terhadap istri, aturan akan berlaku lebih buruk dibandingkan dengan aturan keluarga asal. Pada keluarga asal, anak perempuan masih bisa mempertanyakan dan memperjuangkan eksistensi diri sebab aturan masih terlihat diterapkan dan membelenggu secara kasat mata. Namun dalam pernikahan, aturan terhadap perempuan telah berkamuflase sedemikian rupa dalam banyak bentuk yang sangat halus hingga hampir tidak bisa lagi dikenali sebagai aturan. Kita secara umum mengenalnya sebagai pengabdian seorang istri kepada suami. Rasa cinta, takluk, dan ketergantungan yang demikian besar menggelayuti tubuh dan pikiran adalah pangkal leburnya jati diri asli perempuan menjadi bentuk yang lain, yaitu jati diri hasil bentukan sesuai dengan kehendak suaminya.

Pembebasan total bagi perempuan di keluarga Timur sebenarnya hanyalah sesederhana berhak mengambil keputusan dan bertanggung jawab pada diri sendiri tanpa perlu memicu debat dan masalah berkepanjangan dalam keluarga, namun entah mengapa pada praktiknya demikian sulit.

Jika kebahagiaan dalam pernikahan yang menjadi penukarnya, saya tidak tahu apakah itu memang sebanding dengan terkuburnya mimpi seorang perempuan tentang kebebasan yang sedari kecil tidak pernah benar-benar menjadi haknya. Karena, toh, ternyata pernikahan tidak pernah membuatnya bebas melakukan apa saja terhadap hidupnya sendiri. Ibarat kata lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Lepas dari aturan keluarga, terkurung pula dalam aturan suami.

Larangan pergi berkumpul, menggunakan pakaian ini dan itu, atau bekerja dan berkarya mengandung isyarat menjauhkan perempuan dari bahaya. Namun bahaya seperti apa? Berapa persen kemungkinan bahaya itu terjadi? Mengapa kasih sayang keluarga dan cinta seorang suami tidak cukup akal untuk memikirkan bagaimana meminimalisir bahaya demi tercapainya kebahagiaan, tanpa harus menghindari risiko secara total namun dibayar dengan matinya eksistensi perempuan?

Apakah hidup aman dalam ketakutan lebih baik dibandingkan dengan hidup penuh kesempatan dan kemungkinan dalam kemerdekaan? Jika segala aturan yang telah kenyang ditelan oleh perempuan di keluarga asalnya terjadi lagi dalam lingkup pernikahan, lalu apa gunanya penantian dalam diam atau perjuangan terang-terang seorang perempuan untuk merebut hak kebebasannya selama ini?

Lalu apa gunanya predikat perempuan dewasa yang telah diakui oleh keluarga asal dan masyarakat setelah pernikahan jika hak dan tanggung jawab terhadap diri tak juga kunjung diberikan? Apakah pengertian perempuan dewasa yang sebenarnya hanya berupa sikap sabar dan tidak pernah mengeluh ketika para pembesar memberikan daftar mengenai ekspresi yang harus digunakan, pakaian yang harus dikenakan, dan sederet pekerjaan yang harus dilakukan? Lalu bagaimana dengan ekspresi jujur perempuan, pakaian yang ingin mereka dikenakan dan pekerjaan yang ingin mereka dilakukan? Apakah semua ingin itu harus dilupakan?

Hanya ada satu kata: Lawan!

Kita tidak perlu membahas tentang pernikahan yang tidak membahagiakan, sebab jawabannya hanya satu jika tidak bahagia: lawan! Yang harus dicari jawabannya adalah, bagaimana jika seandainya ketiadaan eksistensi kebebasan perempuan dalam pernikahan ditukar dengan kebahagiaan semu bak burung dalam sangkar emas? Mereka bahagia, tapi dalam kebahagiaan yang tidak mereka pilih sendiri.

Dalam percakapan sehari-hari, hal ini sering menjadi perdebatan, terutama antara kubu perempuan yang berprinsip bahwa kebahagiaan harus bersumber dari kebebasan menjadi, melawan kubu yang percaya bahwa kebahagiaan perempuan adalah ketika menyerahkan diri sepenuhnya pada suami. Masing-masing kubu memiliki acuan tersendiri, mulai dari konsep feminisme hingga kitab suci.

Baca juga: Menikah: Menghidupkan atau Mematikan Diri Perempuan?

Keluar dari ring adu fakta atau ayat, sebagian perempuan menyukai pemikiran praktis seperti timbangan untung rugi, bahwa prinsip kebahagiaan harus bersumber dari kebebasan untuk menjadi. Sebab yang demikian pada akhirnya benar-benar mengajarkan kita kemandirian, juga keyakinan akan hak kepemilikan atas hidup dan tubuh pribadi, yang kelak akan mendorong kita untuk berani bersuara, bertindak dan berkarya. Sederhananya, pemikiran demikian memihak gagasan perempuan harus setara dengan gender lainnya dalam keluarga dan masyarakat. Lebih sederhananya lagi, semakin berdikari perempuan, maka semakin banyak keuntungannya.

Sementara konsep kebahagiaan atau keamanan yang bergantung pada orang lain, dirasa terlalu murah harganya jika penukarnya adalah perampasan kebebasan perempuan. Apakah ada jaminan kebahagiaan dari orang lain akan selalu ada? Apakah ada jaminan bahwa jika takluk pada tuntutan pembentukan ulang jati diri berdasarkan permintaan keluarga maka hidup akan baik, makmur dan jaya selalu?

Tidak ada yang bisa menjamin, sebab semua hal buruk bisa terjadi kapan saja, di mana saja, pada siapa saja. Leluconnya, kau bisa saja mati seketika meskipun tengah dipeluk suamimu. Tapi kita tidak ingin membicarakan kematian; kita tengah menelusuri pelucutan hak yang dihadapi setiap perempuan sejak ia lahir. Pelucutan hak yang semula ia lawan, namun pada satu titik bisa saja ia serahkan dengan suka cita tanpa perlawanan.

Yang tidak disadari, total menyerahkan diri pada aturan suami hingga sampai pada titik tidak lagi mempertanyakan jati diri sendiri sangat melemahkan perempuan, yang berpotensi besar menghilangkan kemampuan kemandirian perempuan terutama secara mental. Sebenarnya, tidak ada perempuan yang tidak mampu melakukan sesuatu, yang ada hanya perempuan yang mengira bahwa mereka tidak mampu, dan itu lumrah terjadi jika seumur hidupnya mereka telah dicuci otaknya agar menggantungkan hidupnya pada aturan orang lain. Perempuan tidak mampu berdikari ketika tidak pernah benar-benar mengasah jati diri mereka yang asli. Perempuan tidak percaya bahwa mereka berhak dan mampu mandiri ketika mereka telah kehilangan diri sendiri.

Menikahi lelaki yang dicintai bukanlah ancaman mutlak bagi eksistensi jati diri asli perempuan, namun tentu juga bukan pasti jalan keluar. Syarat dan ketentuan haruslah berlaku sebelum seorang perempuan yang mendamba kebebasan penuh memutuskan untuk menikah. Pertanyakan saja pada para lelaki itu bagaimana pandangannya terhadap kebebasan menjadi. Sepakati bagian apa saja yang ia berhak mencampuri, sekadar memberi saran, atau bahkan tidak usah bicara sama sekali kecuali untuk mengapresiasi.  Angkat janji, sebab sebagai perempuan dewasa kita juga berani bersumpah menunaikan ikrar yang sama, yaitu memerdekakan jiwanya atas nama cinta.

Seorang perempuan yang terus menerus dihilangkan haknya dalam keluarga, perlahan menjelma sebagai seorang pembenci kebebasan perempuan.

Pembenci kebebasan perempuan lain

Jika kau bukan perempuan, kau tentu tidak tahu betapa kesalnya hatimu ketika suamimu memintamu menghapus gincu merahmu hanya karena ia tidak menyukainya dan menuduhmu berdandan berlebihan sebagai ungkapan bahwa kau tengah haus perhatian. Kekesalanmu pada suamimu barangkali terkubur bersama rasa cintamu padanya, dan kau percayai itu sebagai kegembiraan sebab kau yakin bahwa suamimu hanya tak ingin kecantikanmu dilihat oleh lelaki lain padahal kebahagiaanmu semu.

Tetapi kekesalan itu tidak mati; ia akan hidup dalam jiwamu, tumpukan ingin yang harus mengabu membuatmu sakit. Kesakitanmu bangkit setiap kali kau melihat seorang perempuan dengan berbahagia dan berani memakai gincu merah, yang membuatmu iri dan benci padanya, yang membuatmu marah pada kebebasannya yang seakan-akan menari mengejek mimpimu yang telah lama terkubur. Dan karena kemarahanmu pada perempuan itu tidak beralasan secara personal namun sangat menunggu untuk diungkapkan, kau akan mencari alasan dengan mengidentikkan bahwa semua perempuan bergincu merah adalah simbol dari perilaku tidak pantas yang berpotensi membangkitkan perselingkuhan atau kebebasan yang terlarang.

Semua itu kauucapkan pada sesama atau kautulis di lini masa dalam bentuk umpatan atau tuduhan yang terbungkus dalam kata mutiara. Dibenarkan dan disebarkan oleh sekumpulan perempuan dengan kebencian pada objek serupa, namun bisa saja berasal dari latar kesedihan yang bermacam bentuknya. Dan kemudian terjadilah perundungan dan perdebatan tiada habisnya yang menyasar perempuan lain yang tengah berjuang menggunakan tubuhnya sebagai media kampanye atas perayaan hak perempuan atau penolakannya atas pemberangusan.

Dalam kasus demikian dapat dilihat, seorang perempuan yang terus menerus dihilangkan haknya dalam keluarga, perlahan menjelma sebagai seorang pembenci kebebasan perempuan. Gelora eksistensinya yang telah lama terpasung kini mulai menemukan jalan keluar. Ia menjadi pejuang di garda depan barisan pegiat keyakinan bahwa hak perempuan memang mesti dihilangkan sebab dapat menjadi pemicu terjadinya bahaya, bahaya, dan bahaya dan bla bla bla.

Ia menemukan lagi gairahnya untuk didengar. Ia kecanduan kebahagiaan yang lain yang tidak pernah ia miliki sebelumnya yaitu kebahagiaan ketika ia mampu bersuara lantang dan didengarkan orang-orang. Yang tak ia sadari, ia kini menjadi bagian dari katalisator mundurnya peradaban, menolak kemajuan pikiran dan perkembangan budaya seiring zaman. Perempuan-perempuan yang telah menjadi korban dibuat percaya bahwa mereka terkurung dalam bahaya sekaligus menjadi penyebabnya, tanpa upaya untuk melawan atau meniadakan bahaya tersebut dengan cara yang adil, tetapi dikondisikan untuk memilih bersetuju dan meringkuk dalam malas yang nyaman.

Di sinilah perjuangan kesetaraan perempuan semakin berat, kita kini tidak hanya melawan sistem patriarki yang memberangus hak setiap anak perempuan, yang dengan santainya sudah menjadi budaya bahkan menjadi standar sosial dalam masyarakat dan keluarga, tapi juga ironisnya telah dilanggengkan dan digaungkan secara tidak sadar oleh para korbannya. Para korban yang kelak menjadi ibu. Para ibu yang kelak menjadi pengarah jalan yang dipercaya tanpa pertanyaan, atau mungkin menjadi monster yang harus dilawan anak perempuannya sendiri.


Avatar
About Author

Pratiwi Juliani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *