Dear Om Deddy Corbuzier, Tolong Kuasai Diri Sendiri
Pertanyaan-pertanyaan Deddy Corbuzier kepada Sophia Latjuba dalam siaran podcastnya sungguh ‘ageist’ dan mengobjektifikasi.
Dear Om Deddy Corbuzier,
Saya pertama kali mengenal Om Deddy ketika saya berusia tujuh atau delapan tahun. Sosok Om Deddy lumayan berkesan karena Om bisa membengkokkan sendok stainless steel dengan kekuatan pikiran dan bisa menebak kartu apa yang dipilih penonton di seberang sana.
Tahun demi tahun berlalu, saya enggak begitu sering mendengar kabar tentang Om Deddy Corbuzier. Sampai beberapa tahun belakangan, ketika nama Om jadi sering berseliweran di media sosial saya sejak Om Deddy menjadi pembawa acara podcast Close The Door, yang sering mengundang pro dan kontra. Om Deddy suka menghadirkan sosok atau tokoh yang sedang viral diperbincangkan warganet. Saya pernah membaca sebuah twit yang berbunyi, “Kalau orang habis bikin sensasi, paling bentar lagi diundang ke podcast Deddy Corbuzier buat klarifikasi.”
Om Deddy juga suka bikin sensasi sendiri dengan komentar-komentar dan pertanyaan yang problematik, seperti mengumbar maskulinitas toksik saat mewawancarai Ivan Gunawan. Untung Ivan cerdas dan gercep menyerang balik dengan asyiknya. Tapi bukan itu yang mendorong saya menulis surat ini.
Channel Podcast Youtube Deddy Corbuzier Undang Sophia Latjuba Mengandung Banyak Sekali Stereotip
Dari serangkaian kritik warganet terhadap konten podcast Om Deddy, satu yang paling bikin saya agak panas dingin adalah waktu Om mengundang Tante Sophia Latjuba. Siaran podcast ini sendiri sebenarnya sudah lama, yakni November 2019. Tapi seminggu terakhir, warganet di Twitter kembali ramai memperbincangkan ini. Judul episodenya, sebagaimana yang terpampang di kanal YouTube Om Deddy, adalah “SOPHIA LATJUBA – GUE MASIH BUTUH COWOK! (Warning!! GAK SEMUA NYA AKAN Paham”’. Mungkin saya termasuk ke dalam golongan yang “enggak akan paham” itu.
Baca juga: ‘Influencer’ dan ‘Beauty Privilege’: Ketimpangan yang Harus Dibicarakan
Di episode ini, pertanyaan Om Deddy mengandung banyak sekali stereotip, salah satunya soal umur. Om Deddy berkali-kali mengungkapkan ketidakpercayaan pada penampilan wajah, tubuh, dan gaya Sophia yang sudah berumur 50 tahun, tapi masih seperti anak muda. “Gila, ya, ini cewek udah umur segini, badannya masih begini,” kata Om waktu itu.
Om Deddy juga tak kunjung berhenti memberikan ungkapan ketidakpercayaan, judgment dan/atau kalimat berbalut stigma terhadap sosok Tante Sophia. Sampai pada satu titik, Tante Sophia pun bertanya pada Om Deddy, “Emang umur 50 tahun tuh harusnya kayak apa, sih?”
Dan Om Deddy menjawab, “Keriput, tua, jelek.”
Really, Om?
Di mata saya sendiri, Tante Sophia Latjuba adalah sosok yang sangat mengagumkan. Tapi penampilannya hanya salah satu hal yang bisa kita kagumi darinya. Dia juga pekerja seni yang mumpuni, ibu tunggal dari seorang penyanyi secanggih Eva Celia, dan seorang yogini.
Kita bisa bersepakat bahwa penampilan bukan segalanya, sebagaimana umur bukanlah satu-satunya penentu kualitas atau gambaran diri seseorang. Omongan Om Deddy merefleksikan cara pandangnya yang begitu berbalut stigma terhadap orang-orang yang sudah berumur (ageism) yang mengandung stereotip soal ketidakberdayaan mereka. Cara pikir seperti inilah yang turut melanggengkan anggapan tak masuk akal soal perempuan punya “tanggal kadaluwarsa”, “kalau sudah tua sudah tidak subur”, dan sejenisnya.
Baca juga: Breaking the Taboo Surrounding Older Women: A Conversation with Alex Bruni
Ada banyak hal yang sebenarnya bisa Om Deddy gali dari sosok Sophia Latjuba. Misalnya, karena Om Deddy sendiri kerap mengungkit soal Sophia yang sudah lebih lama hidup darinya, kenapa tidak Om tanyakan hal-hal soal kedewasaan dan pengalaman hidup Tante Sophia? Atau, cara Tante Sophia membesarkan anak sebagai orang tua tunggal dan cara tetap bekerja sama dengan pasangan untuk membesarkan anak meski sudah bercerai?
Mungkin bagi Deddy Corbuzier, Sophia Latjuba adalah sebuah anomali. Tapi Sophia juga adalah manusia, bukan objek percontohan obat awet muda, apalagi objek seks. Membicarakan umur dan penampilan seorang perempuan ujung-ujungnya mengobjektifikasi secara seksual.
Saya tak habis pikir, kenapa yang jadi sorotan pertanyaan selalu umur dan penampilan? Apa salahnya kalau seorang perempuan menjaga penampilan dan bentuk tubuhnya hingga tetap terlihat fit meski umur terus bertambah? Ini justru adalah contoh baik yang bisa alasan sekaligus motivasi untuk menerapkan pola hidup sehat dan mencintai diri sendiri yang berdampak baik bagi kesehatan tubuh dan jiwa. Keriput, tua, dan jelek yang Om Deddy sebut-sebut juga merupakan human nature yang tak terhindarkan. Tapi, perubahan-perubahan fisik itu tak lantas mengurangi kualitas diri seorang manusia.
Mungkin bagi Om Deddy, Tante Sophia adalah anomali yang benar-benar harus digali sampai terungkap rahasianya. Tapi sepertinya Om Deddy lupa kalau Tante Sophia adalah manusia, bukan objek percontohan obat awet muda, apalagi objek seks. Membicarakan umur dan penampilan seorang perempuan ujung-ujungnya mengobjektifikasi tubuh secara seksual.
Ada sebuah bagian dari percakapan Om Deddy Corbuzier dan Sophia Latjuba yang benar-benar membuat saya ternganga saking tidak masuknya di dalam akal maupun nurani saya.
Om Deddy bilang, “Saya laki-laki. Di media sosial melihat kamu yoga, pakai bikini, fantasi saya jadi liar. Apalagi laki-laki lain di luar sana.”
“Itu bukan salah saya,” kata Tante Sophia.
Om Deddy membalas, “Itu salah kamu. Menurut sejarah, pria itu ingin bisa menguasai wanita. Ini psikologi, loh. Tapi kamu bukan tipe wanita yang bisa dikuasai.”
Baca juga: Ivan Gunawan, Deddy Corbuzier, dan Maskulinitas vs. Feminitas
Kalau kita mengenal istilah victim blaming dalam pelecehan seksual, alias malah menyalahkan korban alih-alih pelaku, kasus ini menunjukkan ironi lainnya. Belum ada korbannya saja, perempuan sudah disalahkan. Sophia Latjuba diobjektifikasi karena cantik. Kalau ada perempuan yang dinilai tidak cantik, nanti dia akan diolok-olok dan disebut bukan perempuan seutuhnya karena tidak menjaga penampilan. Masyarakat seperti ini maunya bagaimana, ya?
Kalau melihat perempuan cantik dengan tubuh yang indah itu begitu berat dan menyakitkan buat para laki-laki, saya kira jawabannya sudah jelas. Jangan mencoba menguasai apa yang bukan jadi milikmu, kuasai saja dirimu sendiri dengan seperangkat ego dan nafsu yang sudah membelenggu kemanusiaanmu. Toh, menguasai perempuan tak akan membuat kamu tambah maskulin atau bisa jadi laki-laki seutuhnya. Dan, definisi menguasai perempuan itu apa sih? Bagaimana manusia bisa berpikir kalau mereka bisa memiliki dan menaklukkan manusia lain, ketika realitasnya kita semua setara?
Nah, kalau Om Deddy punya ilmu lebih hasil kuliah psikologi bertahun-tahun yang bisa dibagikan, mungkin Om bisa baca-baca lagi bagaimana maskulinitas toksik berdampak terhadap cara kita berkomunikasi dan berempati dengan orang lain. Sebagai seorang podcaster, bisa menjalin empati dan komunikasi yang baik dengan narasumber tentu adalah hal yang penting, kan, Om?