Kursi Roda di Barisan Depan Demo Krisis Iklim
Sejak pukul lima pagi, Erwin, 46, sudah bersiap dengan motor kursi roda modifikasinya. Ia berangkat dari Bekasi pukul enam pagi, menembus macet, galian proyek, hingga jalur padat kendaraan menuju Jakarta. Dengan kecepatan terbatas, ia butuh tiga jam untuk tiba di sekitar Monas.
“Kalau bisa ngebut sih bisa, tapi takut kena tilang. Polisi kadang suka jebakan Batman,” katanya.
Hari itu, (28/8) Erwin hadir dalam aksi Koalisi Disabilitas untuk Keadilan Iklim. Puluhan orang dengan disabilitas dari berbagai daerah berkumpul menuntut agar suara mereka dilibatkan dalam kebijakan dan program perubahan iklim.
“Banyak yang pikir demo itu negatif, cuma bubarin DPR atau kudeta presiden. Padahal buat kita, ini cara menyambung hidup, cara didengar,” ujarnya.
Baca juga: Di Tengah Aksi Buruh dan Mahasiswa, DPR Justru Ramai-ramai WFH
Krisis Iklim dan Realitas Disabilitas
Motor kursi roda yang dikendarai Erwin bukan kendaraan biasa. Sejak 2012, ia sudah tiga kali menggantinya.
“Dulu bikinnya masih Rp5,5 juta, sekarang bikin gerobaknya saja bisa Rp8,5 juta sampai Rp19 juta. Tapi dengan ini saya bisa dagang dan tetap bisa ikut acara seperti ini,” katanya.
Erwin mengalami paraplegia setelah kecelakaan balap motor di Papua. Dua puluh tahun ia habiskan di Panti Sosial Bambu Apus, Jakarta Timur. Namun, pandemi Covid-19 memaksanya keluar tanpa pesangon, modal usaha, atau alat bantu.
“Kita disuruh mandiri. Jadi ya mental sudah ditempa, siap tempur, walau susah tetap harus jalan,” ujarnya.
Kini, Erwin bertahan dengan berdagang kecil-kecilan seminggu sekali sambil berlatih bulu tangkis untuk ajang olahraga disabilitas di Depok. Ia berharap partisipasinya dalam aksi bisa membuka jalan agar pejabat pemerintah lebih peduli pada rakyat.
“Semoga pemerintah bisa benar-benar melihat ke bawah. Jangan hanya duduk di belakang meja menikmati fasilitas. Rakyat itu majikan, rakyat itu bos,” ucapnya.
Bagi banyak orang, banjir mungkin hanya sebatas genangan di betis. Namun bagi orang dengan disabilitas, situasinya bisa melumpuhkan mobilitas dan keselamatan. Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Indonesia Yeni Rossa menuturkan, krisis iklim menempatkan orang dengan disabilitas di posisi paling rentan.
“Kalau banjir sebatas betis mungkin biasa saja bagi orang lain. Namun buat pengguna kursi roda, itu sudah lumpuh total. Kalau panen gagal, orang non-disabilitas bisa merantau ke kota cari kerja, tapi bagi disabilitas netra atau tuli, itu jauh lebih sulit,” katanya.
Yeni menambahkan, baik kebijakan iklim pemerintah maupun program kerja sama internasional hampir tidak pernah menyebut atau melibatkan orang dengan disabilitas.
“Seakan-akan kita tidak ada. Padahal, ketika krisis datang, kita yang paling duluan kena dampak dan paling susah pulih.”
Hambatan lain muncul dari minimnya akses informasi. “Berita-berita iklim jarang ada juru bahasa isyarat, selebaran tidak bisa dibaca teman netra karena tak ada screen reader. Jadi hambatannya bukan karena disabilitas tidak peduli, tapi karena memang akses partisipasi ditutup,” ujarnya.
Karena itu, sejak dua tahun terakhir, PJS bergerak mengenalkan isu iklim ke komunitas disabilitas. “Nunggu diajak tidak pernah. Akhirnya kita maju sendiri,” tambah Yeni.
Baca juga: Masihkah DPR Mewakili Kita?
Aksi Damai yang Dianggap Ancaman
Meski aksi ini berlangsung damai, polisi sempat melarang massa masuk ke kawasan Patung Kuda dengan alasan keamanan. Ketegangan pun terjadi.
“Saya sempat berdialog dengan polisi. Saya tanya, ancaman apa sih dari kami? Coba lihat barisan depan, ada pengguna kursi roda, netra bertongkat putih, teman Tuli. Ancaman apa mereka bagi negara,” kata Yeni.
Setelah perdebatan, massa akhirnya diperbolehkan masuk. Bagi Yeni, insiden ini menunjukkan bagaimana keberadaan orang dengan disabilitas masih sering dianggap tidak penting, bahkan dianggap ancaman.
“Coba lihat barisan paling depan, itu pengguna kursi roda, ada teman netra bertongkat putih. Militansi mereka sangat luar biasa,” ungkapnya.
Krisis iklim berdampak berbeda pada setiap kelompok masyarakat. Perempuan, kelompok miskin, dan orang dengan disabilitas tercatat menghadapi kerentanan lebih besar karena memiliki akses yang lebih terbatas terhadap sumber daya, informasi, maupun ruang pengambilan keputusan.
Aksi di Monas menyoroti hal tersebut dengan menekankan keterkaitan antara isu iklim, keadilan gender, dan inklusi. Peserta aksi menyampaikan tuntutan agar negara memastikan aksesibilitas, partisipasi bermakna, serta perlindungan bagi kelompok yang paling terdampak.
“Semoga pemerintah bisa benar-benar melihat ke bawah. Jangan hanya duduk di belakang meja menikmati fasilitas. Rakyat itu majikan, rakyat itu bos,” pungkasnya.
















