Cerita ‘Driver’ Perempuan di Aksi Ojol 20 Mei: Hapus Program yang Mencekik Pengemudi

Ratusan pengemudi ojek online (ojol) meramaikan Aksi 205 di Kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, (20/5). Mereka datang dari berbagai daerah, termasuk di luar Jadetabek—seperti Bogor, Palembang, Subang, dan Jawa Timur—dengan tuntutan agar aplikator menghapuskan program yang mencekik pengemudi.
Selama ini, potongan yang diberlakukan aplikator lebih besar, dari yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor 1001 Tahun 2002. Dalam aturan tersebut, disebutkan biaya sewa penggunaan aplikasi maksimal 15 persen. Atau, aplikasi mengambil lima persen untuk menunjang kesejahteraan mitra pengemudi—mencakup bantuan operasional, dukungan pusat informasi, penyediaan fasilitas pelayanan, asuransi, dan keselamatan.
Ketidaksesuaian itu membuat pengemudi menerima hasil bersih yang sangat kecil. Salah satunya dialami Indira, 40, pengemudi Lalamove asal Jakarta Barat. Dari penghasilan yang diterima, ia menyatakan ada pemotongan 40 persen—20 persen dari aplikator dan 20 persen untuk diskon yang digunakan pelanggan.
“Paling bersihnya dapat Rp150 ribu per hari, soalnya kalau ada diskon juga kami (driver) yang nanggung. Belum lagi dipotong uang bensin sama bayar parkir,” ujar Indira.

Baca Juga: Lebih Satu Dekade Ojol di Indonesia, Riwayatmu Kini
Biaya Murah, Driver Tercekik
Potongan tersebut menjelaskan, fasilitas yang menguntungkan pelanggan justru ditanggung pengemudi. Ini tak hanya terjadi di Lalamove, melainkan perusahaan lain seperti Grab, Gojek, ShopeeFood, dan Maxime. Mereka menerapkan program hemat dan prioritas, yang menawarkan potongan tarif cukup besar kepada konsumen. Sementara pengemudi hanya menerima pendapatan bersih sekitar Rp5 ribu dari setiap pesanan.
Siti, 55, pengemudi Grab bike asal Cikarang, Jawa Barat, misalnya. Dari hitungannya, Siti hanya menerima Rp100 ribu setelah mengantar 20 penumpang. Itu pun harus dikurangi biaya bensin sebanyak Rp40 ribu.
“Bawa pulang Rp60 ribu, tapi belum makan. Kalau dihitung-hitung cuma dapat capeknya aja,” kata Siti pada Magdalene.
Bagi Siti, bebannya semakin terasa karena perannya sebagai ibu tunggal dengan anak tiga: Ada yang sudah bekerja, sedang menyelesaikan SMA, dan duduk di bangku SD. Biasanya, si sulung membantu perekonomian rumah tangga, terutama jika Siti sedang sepi pelanggan. Sebab, Siti baru bisa menyalakan aplikasi begitu sampai di Cibitung karena tak banyak warga Cikarang yang membutuhkan ojol.
“Nyalain aplikasi tuh kira-kira jam 8.30 WIB. Itu pun belum dapat orderan,” ucapnya.
Sementara Susan, 51, mengeluhkan program Argo Goceng (Aceng) milik Gojek. Program ini menguntungkan pelanggan ketika membeli makanan, karena ongkos kirim yang murah. Ongkos yang dipaksa murah ini berimbas pada semakin sedikitnya penghasilan yang diterima pengemudi.
Selain itu, waktu pengantaran juga lebih lama. Pesanan akan muncul di aplikasi milik restoran, kemudian diterima oleh pengemudi 20 menit setelahnya. Ini membuat Susan sering dikomplain oleh pelanggan. Bahkan, beberapa pelanggan mengatakan pada Susan, mereka menggunakan layanan pesan-antar makanan dari program reguler. Sedangkan yang muncul di aplikasi Susan adalah Aceng.
“Kadang pelanggan nunjukkin kalau mereka bayarnya mahal, sekitar Rp17 ribu. Tapi yang kecatat justru Aceng, jadi driver cuma dapat Rp5 ribu,” cerita Susan.

Baca Juga: Basi-basi THR Ojol: Bukan Solusi, Cuma Basa-basi
Berusaha Mencukupi Kebutuhan Hidup
Bekerja sebagai pengemudi ojol sebenarnya bukan pilihan. Sejak pandemi Covid-19 dan terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Indira yang tadinya bekerja di perusahaan swasta tak punya opsi lain. Ia harus memenuhi kebutuhan rumah tangga, karena mengandalkan penghasilan dari suami saja tak cukup.
Waktu awal bekerja sebagai pengemudi Lalamove pada 2020, penghasilan Indira terbilang mencukupi. Ia menerima penghasilan sebesar Rp250 ribu per hari, dilengkapi bonus tambahan dan biaya untuk mengisi bensin. Namun, sejak akhir 2021, perusahaan menghilangkan fasilitas tersebut, dengan penyebab yang tak Indira ketahui.
Sejak saat itu, realitas pengemudi ojol semakin jauh dari kesejahteraan. Apalagi, pengemudi Lalamove baru menerima upah dalam 1×24 jam, dan pengemudi harus menanggung biaya servis kendaraan jika terjadi kerusakan selama proses kerja.
Contohnya saat suku cadang motor Indira rusak, setelah mengantar kain satu bal dari Mangga Dua, Jakarta Utara ke Panongan, Banten, dengan ongkos kirim Rp70 ribu. Kejadian seperti ini membuat Indira harus mengeluarkan biaya lebih, karena pelanggan maupun perusahaan tak bertanggung jawab. Yang bisa ia lakukan, adalah memberi pengertian pada pelanggan, supaya menambahkan ongkos kirim jika berat barang melebihi kapasitas.
Sementara Susan, ia terpaksa berutang untuk membayar kontrakan dan cicilan motor, jika penghasilannya tak cukup karena sepi pelanggan. “Pendapatan kotor Rp250 ribu juga langsung ludes, kalau dipake bayar kebutuhan,” ujarnya.

Baca Juga: Balada Pekerja ‘Gig Economy’ di Indonesia
Karena itu, Susan, Siti, dan Indira berharap, tuntutan aksi pengemudi ojol bisa direalisasikan. Di antaranya penetapan tarif layanan, dihapuskannya program hemat dan prioritas yang diskriminatif, serta potongan maksimal 10 persen oleh aplikator.
Aksi 205 berakhir, setelah audiensi dengan 25 perwakilan ojol dan pemerintah selesai. Ketua Umum Perkumpulan Armada Sewa (PAS) Wiwit Sudarsono, mengatakan tuntutan para pengemudi sudah diterima oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Aan Suhanan.
“Kami menyampaikan tuntutan teman-teman, yaitu potongan aplikator sebesar 10 persen,” ucap Wiwit. “Bapak Dirjen menerima aspirasi kita, dan akan meneruskan kepada Bapak Menteri Perhubungan (Dudy Purwagandhi) terkait tuntutannya.”
Perjuangan para pengemudi ojol belum selesai. Hari ini, (21/5), Komisi V DPR RI mengundang mereka ke Rapat Dengar Pendapat, untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Transportasi Online.
