December 5, 2025
Issues Politics & Society

Kalau Perempuan Turun ke Jalan, Artinya MBG Memang Sudah Gawat 

Ratusan perempuan di Jogja (26/9) dari berbagai latar belakang, turun ke jalan menuntut penghentian program Makan Bergizi Gratis.

  • September 29, 2025
  • 5 min read
  • 1621 Views
Kalau Perempuan Turun ke Jalan, Artinya MBG Memang Sudah Gawat 

Suara kelontang panci saling bersahutan di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, (26/9). Sore itu, dua ratus perempuan berkumpul untuk menyerukan protes terhadap pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) rezim Prabowo-Gibran. Protes bergulir karena program yang diduga meracuni lebih dari 5.000 jiwa itu bikin anak-anak semakin rentan. 

Firda Ainun Ula, pemimpin demo perempuan Jogja, mengubah lagu anak-anak ‘Di Sini Senang, di Sana Senang” menjadi lirik satir: “Di sini MBG, di sana MBG, di mana-mana makanan beracun. Di sini MBG, ayo kita setop MBG-nya.” 

Sesekali, Firda menyisipkan kalimat perlawanan, “Jangan diam, lawan!”, yang disambut koor massa. Firda ikut aksi massa “Kenduri Suara Ibu Indonesia”, yang berlangsung secara damai dari pukul 16.00 hingga 18.00 WIB. Perempuan demonstran berasal dari beragam latar, mulai petani, dosen, hingga ibu hamil dan nenek-nenek yang menolak berdiam diri. Mereka tidak hanya datang dari Yogyakarta, tetapi juga dari Magelang, Solo, dan Klaten. Beberapa perempuan bahkan membawa serta anak-anak mereka.

Baca juga: KBGO pada Jurnalis Tajam ke Perempuan dan Gender Minoritas: Tips Jaga Diri karena Sistem Jelek  

Gerakan Organik Perempuan Terdorong KLB MBG

Kasus keracunan MBG terus menimbulkan keresahan di kalangan orang tua. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, hingga saat ini tercatat 8.649 anak menjadi korban keracunan MBG di berbagai daerah di Indonesia. Lonjakan paling signifikan terjadi pada pekan lalu, 22–27 September 2025, dengan 2.197 anak terpapar keracunan, hingga kasus ini ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Nurul Aini, menilai KLB ini bak “bensin yang disiram ke dalam tungku yang sudah panas.” Menurutnya, persoalan bukan hanya soal keracunan semata, tetapi akumulasi masalah tata kelola program MBG yang sejak awal bermasalah.

“Mulai dari distribusi yang masih bergantung pada komando distrik militer, pemilihan menu yang tidak sesuai standar gizi, hingga proses tender yang tidak transparan, semuanya menunjukkan rapuhnya sistem dari hulu hingga hilir,” jelas Nurul.

Minimnya jaminan keamanan makanan bagi anak sekolah juga menjadi perhatian serius. “Sebagai ibu dari dua anak yang masih sekolah, saya khawatir apakah makanan itu aman dikonsumsi. Kalau sampai keracunan pun, biaya perawatan tidak ditanggung BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan,” tambahnya.

Keresahan ini mendorong lahirnya gerakan Kenduri Suara Ibu Indonesia. Tanpa koordinasi formal, para perempuan langsung mengorganisasi diri. Dimulai Kamis malam melalui pertemuan daring, individu dan kolektif perempuan—seperti Koalisi Suara Ibu Indonesia, Ibu-Ibu Berisik, dan Forum Cikditiro—menggodok aksi damai, dari titik kumpul hingga simbol perlawanan yang akan dibawa.

Salah satu pegiat, Kalis Mardiasih menjelaskan, panci sengaja dipilih sebagai simbol aksi. “Panci ini menandakan kedaruratan atau bahaya. Suaranya yang nyaring sejak dulu dipakai sebagai sinyal bencana, roh jahat, atau krisis. Selain itu, panci dekat dengan perempuan,” kata Kalis.

Menurutnya, pemilihan simbol itu juga menegaskan soal peran perempuan dalam pemenuhan gizi keluarga. “Selama ini urusan memberi makan keluarga memang dilakukan oleh keluarga. Tapi MBG mencoba mengambil alih urusan itu melalui negara, dengan cara yang sangat generalistik dan militeristik,” ujarnya.

Baca juga: Temuan Komnas Perempuan dalam Aksi Massa: Penangkapan, Label ‘Nakal’, dan ‘Fear Mongering’ Kekerasan Seksual 

Tuntutan untuk Makan Bergizi Beracun Gratis 

Sejak lama, Indonesia memiliki beragam program pemenuhan gizi anak, berjalan mulai dari Kementerian Sosial hingga Kementerian Kesehatan, dan disalurkan lewat layanan dasar seperti posyandu dan puskesmas. Ibu hamil juga sudah menerima makanan tambahan melalui skema terintegrasi dengan dinas kesehatan, yang dikenal sebagai Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berbahan pangan lokal. Program ini menjadi salah satu strategi penanganan masalah gizi balita sekaligus upaya pencegahan stunting.

“Bukan berarti sebelumnya tidak ada program pemenuhan gizi. Sudah ada, dengan sistem yang jelas,” kata Kalis Mardiasih, salah satu pegiat perempuan.

Namun, kehadiran program MBG justru menimbulkan persoalan baru. Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membentuk Badan Gizi Nasional (BGN) tanpa melibatkan kementerian terkait maupun jaringan pelaksana yang selama ini bekerja di lapangan. BGN kemudian bekerja sama dengan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yayasan, hingga dapur-dapur penyedia makanan, sementara aturan teknis pelaksanaannya belum disahkan. Akibatnya, saat keracunan massal terjadi di berbagai daerah, tidak ada dasar hukum untuk menuntut pertanggungjawaban.

“Bahkan kalau ada korban, nuntutnya ke siapa? Karena enggak ada perpresnya,” ungkap Kalis.

Berangkat dari sini, para perempuan Kenduri Suara Ibu Indonesia mengajukan beberapa tuntutan.

Pertama, mereka menuntut penghentian program MBG yang dinilai terlalu sentralistik dan sarat pendekatan militeristik, karena cara ini justru melemahkan peran masyarakat dan pemerintah daerah. Kedua, mereka mendesak adanya pertanggungjawaban langsung dari presiden, BGN, SPPG, hingga dapur penyelenggara MBG atas kasus keracunan massal yang menimpa ribuan anak antara Januari hingga September 2025.

Ketiga, mereka meminta BGN segera membentuk tim pencari fakta independen untuk mengusut kasus-kasus keracunan tersebut. Tim ini harus bekerja secara transparan sesuai mandat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Kesehatan, sekaligus memastikan adanya mekanisme pemulihan yang adil bagi korban dan keluarganya.

Baca juga: Pembekuan BEM FISIP Unair: Benarkah Orba ‘Season’ 2 Kembali? 

Keempat, tuntutan diarahkan pada penindakan praktik rente serta dugaan korupsi dalam program MBG yang menggunakan anggaran negara. Pemerintah diminta tidak hanya mengusut, tetapi juga menghentikan pola pemburuan rente yang memperdagangkan kebutuhan dasar anak. 

Kelima, mereka menekankan pentingnya mengembalikan kendali pemenuhan gizi anak ke komunitas dan pemerintah daerah. Dengan begitu, program gizi tidak lagi dikuasai oleh struktur yang jauh dari masyarakat, melainkan dijalankan oleh aktor-aktor yang memiliki kedekatan langsung dengan data, kondisi, serta kebutuhan rill anak-anak di wilayah masing-masing. 

Harapannya lima tuntutan ini bisa segera ditindak lanjuti oleh pemerintah. Sebab jika tidak, perempuan pasti tidak akan diam ketika masa depan anak-anak mereka terancam. 

Zahra Pramuningtyas membantu dalam wawancara narasumber untuk artikel ini. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.