Pada (19/9), aktor Nikita Mirzani menjemput anaknya, L, 17 di apartemen di bilangan Bintaro, Tangerang Selatan. Selain ditemani oleh rekan dan adik Nikita, pihak kepolisian Polres Metro Jakarta Selatan bersama Unit Pelaksana Teknis Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT P3A) juga mendampingi penjemputan itu.
Keinginan Nikita Mirzani menjemput anaknya berawal dari isu kehamilan L, yang diduga melakukan aborsi sebanyak dua kali atas permintaan Vadel—pacar L. Karena itu, Nikita melaporkan Vadel ke kepolisian atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Kesehatan, dan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tekad Nikita semakin kuat setelah hasil penyidikan menunjukkan, L adalah korban pemerkosaan anak yang dilakukan oleh Vadel, tulis Tirto.
Kemudian, Nikita menjemput L untuk menjalani visum pada Kamis siang. Menurut Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, AKBP Gogo Galesung, penjemputan dilakukan lantaran secara hukum, usia L masih tergolong anak-anak, sehingga harus didampingi ibu dan petugas. Gogo pun menyebutkan, penjemputan dilakukan sesuai prosedur.
Namun, kenyataannya proses penjemputan itu enggak memerhatikan beberapa hak L sebagai anak. Misalnya menyiarkan penjemputan live di media sosial dan melibatkan wartawan. Seharusnya, LMM enggak mengalami perlakuan itu. Sayangnya, banyak yang luput dan menjadikan kejadian tersebut sebagai bahan konten, hingga guyonan publik.
Baca Juga: Menciptakan Ruang Online yang Aman bagi Anak Perempuan
Hak Nikita Mirzani Sebagai Ibu dan Privasi Anak yang Dilanggar
Sebagai ibu, tentu Nikita mengkhawatirkan anaknya. Apalagi, LMM diduga melakukan aborsi dua kali. Saat diwawancara Magdalene, Komisioner Pengampu Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Rahmayanti pun bilang, Nikita menjemput L karena tak ingin anaknya kembali mengalami kekerasan seksual.
Namun, melihat peristiwa ini dan diskursus yang terjadi di media sosial, masyarakat justru lebih banyak fokus “memuliakan orang tua”, tanpa berusaha memahami adanya konflik dalam hubungan orang tua dan anak. L pun cenderung dipotret sebagai anak durhaka.
Citra itu datang dari berbagai sumber yang mem-framing L. Contohnya postingan Nikita saat berseteru dengan L, pertengahan tahun lalu di Instagram story. Menanggapi L yang ingin ibunya minta maaf, Nikita bilang hanya ingin L fokus belajar, bukan mengarang cerita dan melawan ibu.
Kemudian netizen yang mengomentari postingan Nikita. Kebanyakan menilai L adalah anak yang problematik, dan enggak bersyukur punya ibu seperti Nikita—orang tua tunggal yang banting tulang untuk anak-anaknya. Atau menyebut sikap Nikita Mirzani selayaknya orang tua pada umumnya. Begitu pun media yang memotret L dengan narasi serupa: Bikin Nikita nangis, membongkar aib ibunya, dan mengumpat pada Nikita.
Ujaran-ujaran tersebut diperkuat oleh cara masyarakat Indonesia memandang relasi orang tua dan anak: Orang tua adalah figur yang dimuliakan, dan anak durhaka adalah mereka yang enggak nurut dengan orang tua.
Karena itu, netizen pun enggak melihat L sebagai minor dan menyadari kemungkinan ia terluka secara emosional dari hubungan dengan ibunya. Masyarakat cenderung menyalahkan L atas perbuatannya. Padahal, konsep ini mestinya enggak berlaku jika relasi anak dengan orang tua beracun. Pun, bukan berarti orang tua enggak luput dari kesalahan, atau mustahil jadi salah satu penyebab keretakan relasi.
Ai mengatakan, sebelum penjemputan itu, ada beberapa proses di mana orang tua enggak melakukan pengasuhan positif. “Kejadian ini nggak akan terjadi kalau enggak ada proses sebelumnya, atau dilakukan usaha pencegahan,” ujarnya.
Baca Juga: Ciptakan Kota Aman Bagi Anak Perempuan
Terlepas dari caranya—L digotong oleh sejumlah orang, penjemputan itu adalah cara Nikita menggunakan haknya sebagai ibu kandung. Selain karena L belum 18 tahun dan masih menjadi tanggung jawabnya, Nikita ingin menyelamatkan dan melindungi L. Terutama karena Vadel—pacar L sekaligus terduga pelaku kekerasan seksual—melakukan hubungan seks dengan LMM, adalah seorang anak di bawah umur.
Toh dalam Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak pun diatur, orang yang melakukan ancaman kekerasan atau memaksa anak melakukan hubungan seks, akan dikenakan pidana penjara. Maka itu, Nikita melaporkan Vadel ke kepolisian.
Meski demikian, Ai menambahkan, kejadian tersebut melanggar hak anak untuk menyampaikan pendapat. Sebab, sebagai anak, L punya keinginan dan kebutuhan untuk didengarkan. Tampaknya dalam hal ini, diskusi dua arah itu enggak terjadi.
Selain itu, penjemputan L juga melanggar hak privasi anak. Soalnya, teman-teman Nikita menyiarkan proses tersebut secara live di media sosial, lalu diunggah lagi di platform mereka. Bahkan melibatkan wartawan. Dampaknya, netizen semakin membicarakan L dan menjadikannya konten di media sosial.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Mona Ervita menyatakan, hal itu menunjukkan Nikita dan teman-temannya gagal memahami konteks privasi anak. Sekali pun mereka adalah public figure, identitas L berhak dilindungi.
Wartawan pun seharusnya paham dan menaati pedoman pemberitaan ramah anak, yang disusun oleh Dewan Pers. Bahkan enggak meliput proses penjemputan karena seharusnya mereka melaporkan informasi untuk publik, bukan pribadi. Dalam melaporkan pemberitaan pun, wartawan mestinya melindungi semua data dan informasi yang berkaitan dengan L—meski sudah tersebar.
“Penyebaran identitas anak itu punya dampak besar. Di kasus ini, L rentan didiskriminasi saat ia beranjak dewasa,” jelas Mona.
Nantinya, jejak digital tersebut bisa berdampak pada kondisi psikologis L, sekali pun isunya sudah reda. Sebab, konten-konten bisa kembali digunakan untuk hal-hal yang enggak seharusnya. Misalnya bahan perundungan, penghinaan, dan penghakiman. Apalagi, saat direkam, kondisi L sedang enggak baik-baik aja.
“Itu berdampak ke psikologis L. Jadi mengurangi kepercayaan diri, self-esteem, atau proses pembentukan identitasnya sebagai remaja,” terang psikolog anak, keluarga, dan relasi Rika Kristina.
Menurutnya, live maupun konten yang dipublikasikan sewaktu L dijemput adalah bentuk mengesampingkan boundaries anak. Mengingat jejak digital enggak akan hilang, video-video tersebut seharusnya diunggah atas izin L, dengan pertimbangan bagian mana yang perlu ditayangkan dan tidak.
Lalu, dukungan apa yang bisa diberikan untuk L?
Baca Juga: #RuangAmanAnak: Berikan ‘Safe Space’ untuk Anak-anak Queer, Bagaimana Caranya?
Pendampingan yang Perlu Diberikan
Berkaca pada penjemputan kemarin, Nikita Mirzani tampaknya tidak melakukan pendekatan persuasif terhadap L. Padahal, ini perlu dilakukan untuk melibatkan partisipasi dan pendapat anak Namun, saat Magdalene mengonfirmasi pada KPAI, Ai pun menyatakan belum terhubung dengan Nikita sehingga tidak mengetahui apakah kedua pihak saling komunikasi. Yang ia tahu, saat ini L berada di rumah aman dan sudah mendapatkan pemeriksaan psikologis, maupun psikoedukasi dari konselor.
Sementara menurut Rika, yang enggak kalah penting dari pendampingan psikologis adalah peran keluarga, yang dipercaya dan dihargai oleh anak. Terlebih karena hubungan LMM dengan Nikita saat ini sedang retak. Dengan kehadiran sosok tersebut, harapannya, L bisa merasakan sosok yang aman.
Sementara Ai menekankan, orang tua harus memahami, setiap anak memiliki keunikannya masing-masing. Tugas orang tua adalah mengasuh mereka dengan baik, memenuhi hak perlindungan anak, sekaligus memberikan contoh supaya anak-anak punya figur yang bisa diikuti.
“Baik orang tua atau anak, harus saling melakukan kebaikan untuk diri sendiri dan anggota keluarga lainnya,” ungkap Ai. “Orang tua perlu menerapkan pilar pengasuhan, supaya pengasuhan yang dilakukan positif, berdasarkan kasih sayang.”
Di samping itu, kasus ini juga merefleksikan pentingnya pemahaman orang tua terkait privasi anak—baik public figure maupun bukan. Orang tua perlu meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan data, melakukan literasi digital, dan dampak kebocoran data. Sebab, ini merupakan cara untuk melindungi keamanan anak-anak di era digital.