Di Internet, Perempuan ‘Influencer’ Tak Pernah Bisa Jadi Diri Sendiri
“Dia sendiri yang minta dihujat” adalah senjata warganet dalam merundung perempuan ‘influencer’.
Nama Rahmawati Kekeyi Putri Cantikka, atau akrab dipanggil Kekeyi, mulai melejit lewat video make-up tutorial miliknya. Warganet tercengang dan bilang “wow” karena Kekeyi tidak menggunakan peralatan tata rias konvensional, tapi menggunakan alat DIY, seperti balon karet yang diisi air sebagai pengganti beauty blender (sejenis busa elastis yang digunakan untuk meratakan dan mengaplikasikan foundation). Tapi bukan cuma itu yang membuat cewek ini selalu jadi santapan renyah warganet budiman. Kekeyi juga kerap dibahas (baca: dihujat) karena penampilan fisiknya.
Ia tidak berkulit putih, tidak bertubuh langsing apalagi tinggi. Kulitnya gelap, tubuhnya sedikit gemuk dan pipinya tembam, dan giginya sedikit maju—intinya tidak mengikuti standar kecantikan yang dibangun masyarakat. Satu hal lagi, Kekeyi juga bukan pribadi yang pasif, lemah lembut, dan manis seperti yang dituntut kepada perempuan public figure lainnya. Dia bersikap apa adanya dan kerap berbicara ceplas-ceplos.
Hinaan terhadap Kekeyi semakin ramai berdatangan saat ia mengeluarkan lagu “Keke Bukan Boneka”. Video klipnya di YouTube dibanjiri komentar pedas yang mengolok-olok penampilan fisik Kekeyi, bahkan menyamakannya dengan pentol lah, atau objek-objek lain yang berkonotasi ejekan, meski ada juga yang membelanya.
Pertanyaannya, apakah Kekeyi salah karena tidak mengikuti standar kecantikan dan citra diri perempuan kebanyakan? Jelas tidak. Tidak Kekeyi, tidak pula perempuan influencer lain yang memilih untuk menjadi dirinya sendiri tanpa mengikuti standar masyarakat. Meski begitu, kenyataannya, internet lagi-lagi bukan tempat yang aman bagi perempuan. Perempuan influencer adalah salah satu kelompok yang paling rentan menjadi korban perundungan siber, yang utamanya menyerang penampilan fisik dan tingkah laku mereka.
Perundungan siber memang menjadi salah satu isu terpenting dalam kehidupan sosial hari ini. Terlebih lagi karena karakteristik anonimitas media sosial yang membuat para pengecut pelaku perundungan merasa aman-aman saja setelah melancarkan aksinya, dan dengan mudahnya lari dari masalah.
Isu ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Enam orang YouTuber perempuan pernah membagikan pengalaman mereka menghadapi perundungan siber kepada Teen Vogue. Dalam video singkat yang berjudul “Six YouTuber Get Real about Cyberbullying”, mereka menceritakan begitu banyaknya komentar kebencian yang mereka terima, terlebih yang menyerang penampilan fisik mereka, entah itu warna kulit, bentuk tubuh, bentuk alis, jerawat, kantung mata, dan sebagainya.
Baca juga: Perisakan Dunia Maya oleh Oknum ‘YouTuber’
Ada lagi Em Ford, beauty influencer yang dicerca habis-habisan setelah ia mengunggah sebuah video yang menampilkan wajah tanpa make-up. Pengalaman mendapatkan begitu banyak ujaran kebencian kemudian mendorong Ford untuk membuat sebuah video yang berjudul “YOU LOOK DISGUSTING”, yang memperlihatkan puluhan komentar kebencian yang ia terima. Terlihat bagaimana dia sangat dipuji jika ber-make-up, tapi dihujat saat wajahnya polos alami.
‘Real’ salah, enggak ‘real’ dihujat
Kerentanan perempuan influencer untuk menjadi korban perundungan siber dibenarkan akademisi Brooke Erin Duffy dari Cornell University, Amerika Serikat, dan Emily Hund dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat, dalam tulisannya yang berjudul “Gendered Visibility on Social Media: Navigating Instagram’s Authenticity Bind” (2019). Perundungan dan pelecehan di internet rentan menimpa perempuan yang profesinya menuntut mereka untuk sering tampil atau bersentuhan langsung dengan publik, termasuk perempuan influencer. Hal itu membuat mereka menerapkan mekanisme swasensor sebelum tampil di media sosial.
Katakanlah sehari-hari mereka suka memakai rok pendek atau baju tanpa lengan. Tapi perempuan influencer tidak akan tampil seperti itu karena masyarakat masih saja menilai baik-tidaknya perempuan dari pakaiannya. Pada akhirnya, apa yang mereka tampilkan di media sosial hanyalah konten-konten “aman” yang sesuai dengan harapan publik.
Beberapa orang perempuan influencer yang Duffy dan Hund wawancarai untuk penelitian ini, misalnya, mengaku bahwa mereka akan dihujat bila menjadi “too real”, tapi juga akan dikecam bila mereka “not real enough”. Serba salah banget memang, karena warganet menganggap mereka tidak lebih dari sebuah objek pasif yang hanya boleh bertindak sesuai dengan apa yang publik inginkan.
Baca juga: Pesan Kontes Kecantikan: Dunia Dirancang untuk Perempuan Cantik
Ini merupakan sebuah fenomena yang dimensinya berlapis dan selalu merugikan perempuan. Di satu sisi, para influencer ini adalah perempuan, kelompok yang selalu saja dituntut untuk mengikuti berbagai standar nilai yang membuat mereka kehilangan kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri. Sementara sebagai public figure, pekerjaan mereka menarik perhatian orang banyak yang menyoroti berbagai aspek diri dan kehidupannya. Tapi itu sama sekali bukan pembenaran bagi warganet untuk merundung para perempuan influencer, karena standar kecantikan maupun sikap adalah sebuah nilai relatif yang tidak bisa dipukul rata bagi setiap orang.
Sering sekali muncul komentar “dianya sendiri yang minta dihujat’. Oke, jadi ketika penampilan seseorang menurut kita tidak bagus, kita jadi boleh mencelanya? Ketika seseorang meyakini nilai yang berbeda dengan kita, kita jadi berhak menyakiti dia? Ini adalah cara berpikir yang sungguh egois dan dangkal, yang menunjukkan kemalasan berpikir karena hanya mau melihat dari satu sisi. Kebiasaan menyalahkan orang lain yang tidak mengikuti standar masyarakat seperti ini juga termasuk penyumbang besar bagi langgengnya budaya victim blaming dalam banyak hal, termasuk pelecehan seksual.
“Aku bukan bonekamu, bisa kau suruh-suruh dengan seenak maumu. Aku bukan bonekamu bisa kau rayu-rayu. Kalau bosan pergi dan menghilang.”
Penggalan lirik lagu “Keke Bukan Boneka” itu mungkin bukan sengaja dibuat penciptanya untuk menanggapi perilaku warganet pada Kekeyi. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, itu bisa merepresentasikan perlawanan Kekeyi, ataupun perempuan influencer lain, terhadap warganet yang selalu menuntut mereka untuk menjadi apa yang publik mau tanpa mengindahkan fakta bahwa semua influencer adalah manusia yang selalu memiliki pilihan.