Issues Opini Safe Space

Kekerasan Seksual Kian Marak, di Mana Amarah Para Lelaki?

Tanpa henti, kasus demi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi setiap hari. Ada satu hal yang hilang di sini: ke mana amarah para lelaki?

Avatar
  • September 13, 2024
  • 6 min read
  • 220 Views
Kekerasan Seksual Kian Marak, di Mana Amarah Para Lelaki?

Belum genap dua minggu kasus perkosaan dan pembunuhan anak perempuan di Palembang, Sumatera Selatan, meruak ke masyarakat, kini kabar lara datang lagi dari Padang, Sumatera Barat. Seorang remaja perempuan, 18, ditemukan terkubur tanpa busana dalam sebuah pekarangan. Dilansir dari Tirto, kepolisian menduga bahwa korban juga mengalami perkosaan.

Sebelumnya, kabar pilu juga tak berhenti datang dari mancanegara. Masih ingat seorang dokter perempuan yang meregang nyawa setelah diperkosa berkelompok di India? Atau yang baru ini, Gisele Pelicot, 72, seorang istri di Prancis ternyata jadi korban bius dan perkosaan suaminya sendiri selama 10 tahun lamanya. Tak kunjung usai, rentetan kasus ini datang tanpa henti, dan hampir setiap hari.

 

 

Saya sendiri kewalahan belakangan. Tidak ada satu hari pun di mana saya terbebas dari rasa kecewa. Bagaimana mungkin saya bisa tenang menjalani hidup sekarang, sedangkan di tempat lain, ada seorang perempuan yang harus menanggung beban trauma sepanjang hidupnya? Umpatan demi umpatan muncul tiap kali mengingat kasusnya.

Kian waktu, amarah demi amarah muncul dari berbagai arah. Di media sosial, perempuan berbondong-bondong mengutuk perilaku bejat tersebut. Ada yang memaki di Instagram story, ada pula yang meluap-luap di kolom-kolom komentar pemberitaan. Semuanya merasakan hal yang sama. Perempuan marah. Kami tidak tenang dan juga geram dengan ketidakadilan yang terjadi pada perempuan. Mengapa harus terjadi pada kami?

Lalu bagaimana dengan laki-laki? Apakah kalian merasakan hal yang sama dengan kami? Di sini, perempuan saling menguatkan sembari menerima kenyataan, bahwa kami akan selalu dibayangi kemungkinan untuk menjadi korban suatu hari nanti. Tentu ini bukan perkara mudah. Kami melawan dengan cara-cara yang bisa kami lakukan.

Lalu kalian? Apa kalian merasakan kegeraman yang sama juga? Kami tidak melihat luapan itu. Atau ini adalah tanda bahwa kekerasan seksual jadi satu hal yang terpisah, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan para lelaki?

Baca juga: Kontribusi Laki-laki Penting Agar Kampus Aman dari Kekerasan Seksual

Amarah Laki-Laki Tidak Muncul, Mengapa?

Saya berbicara dengan Wawan Suwandi (Jundi), dari Aliansi Laki-laki Baru, terkait hal ini. Mengapa ya, amarah laki-laki tidak muncul sebesar perempuan ketika merespons kasus kekerasan seksual? Apa betul laki-laki menganggap kesialan yang kerap terjadi pada perempuan ini sebagai satu hal yang jauh dari hidup mereka?

Menurut Jundi, pembakuan peran gender tradisional jadi biang keladinya. Keterhubungan laki-laki dengan norma gender tradisional ini membuat mereka merasa terpisah dengan apa yang terjadi pada kelompok korban (perempuan).

“Dari kasus yang sudah-sudah, laki-laki cenderung merasa bahwa urusan gender itu bukan urusan mereka. Mereka berpikir itu urusan perempuan. Pembakuan peran gender tradisional punya andil besar dalam hal ini,” jelas Jundi.

Cantyo Atindriyo Dannisworo (Danis), Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia juga berpendapat sama. Secara psikologis, sikap apatis yang muncul dari laki-laki bisa jadi disebabkan karena laki-laki tidak merasa in-group dengan kelompok perempuan.

“Dari banyak riset itu bilang memang, ketika kita mau ikut campur (intervene) dalam satu kasus, akan jauh lebih mudah kalau dilakukannya ke in-group kita sendiri. Maka dari itu, kalau korbannya perempuan, kadang-kadang bagi laki-laki sulit untuk merasakan in-group-nya,” kata Danis.

Pembakuan peran gender tradisional punya kontribusi besar dalam membentuk cara pandang laki-laki terhadap perempuan. Pada banyak kasus, alih-alih mengutuk kelakuan pelaku, laki-laki cenderung melontarkan narasi bernada victim blaming terhadap korban. Objektifikasi perempuan juga sering muncul.

“Iya, keterhubungan dengan identitas gender dan pembakuan peran gender tradisional ini tentu bisa berkontribusi pada pembenaran perilaku-perilaku tertentu, termasuk perilaku kekerasan seksual itu tadi. Misal, seperti yang sering kita temui, banyak laki-laki justru akan merespons ‘kan perempuan itu mestinya di rumah, kalau ke luar rumah wajar aja dia jadi korban’. Laki-laki cenderung berkonsentrasi pada korban dan peristiwanya, dan bukan pelakunya,” kata Jundi.

Baca juga: Laki-laki Anti-Kekerasan terhadap Perempuan: Ubah Perilaku dan Geser Paradigma

Hal ini berkaitan dengan apa yang Danis sebut sebagai beliefs laki-laki. Dipengaruhi oleh peran gender tradisional dalam patriarki, laki-laki cenderung memercayai bahwa perempuan tidak lebih dari sebatas objek seksual. Normalisasi terhadap tindak kekerasan seksual pun jadi lumrah terjadi di antara laki-laki.

“Secara luas, norma gender tradisional itu memang bikin laki-laki jadi menormalisasi (kekerasan seksual) ya. Hal ini terkait dengan beliefs laki-laki yang percaya bahwa perempuan itu pasif, yang liyan, harus nurut, sampai jadi objek seksual. Ini juga meliputi kepercayaan bahwa sex drive laki-laki tidak bisa dikontrol. Maka dari itu, laki-laki merasa berhak untuk melakukan itu. Mereka menganggap ini adalah hal yang normal,” papar Danis.

Amarah laki-laki yang tidak muncul dalam merespons kasus kekerasan seksual juga punya kaitan dengan bagaimana laki-laki dididik sejak kecil. Menurut Jundi, pola asuh patriarki yang memuat peran gender tradisional, membuat laki-laki sulit untuk mengaktifkan rasa empati mereka. Laki-laki dibentuk untuk tidak mengenali banyak jenis emosi.

“Memang pola asuh patriarki ini menyebabkan laki-laki jadi susah untuk mengaktifkan empatinya. Karena dididik untuk tidak cengeng lah, enggak boleh nangis lah, laki-laki jadi sulit mengenali jenis-jenis emosi, selain marah (agresi),” jelasnya.

Danis pun sepakat dengan hal ini. Saling berkaitan, kemungkinan laki-laki yang lebih rendah dari perempuan untuk mengalami kekerasan seksual, serta juga pola asuh patriarki, membuat laki-laki jadi sulit untuk berempati pada kasus-kasus kekerasan seksual.

“Laki-laki kan relatif lebih jarang mengalami kekerasan seksual, sehingga karena ini, mereka tidak bisa berempati. Kita akan lebih mudah berempati ketika (kelompok) kita juga pernah merasakannya. Tapi itu tadi, laki-laki mungkin tidak dibiasakan untuk merasakan emosi itu, bagaimana berempati, laki-laki harus kuat,dan enggak menye-menye. Jadi, kemampuan empatinya juga kurang, dan secara norma gender tradisional empati itu bukan yang diharapkan datang juga dari laki-laki,” tambah Danis.

Baca juga: Pelibatan Laki-Laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

Laki-Laki Tidak Boleh Diam, Asah Empati

Meskipun begitu, penjelasan di atas tentu bukan jadi pembenaran atas diamnya laki-laki. Siapa pun patut marah dengan kebejatan yang kerap terjadi belakangan. Menurut Danis sendiri, apabila berbicara perihal empati, perilaku ini sangat bisa dibentuk oleh siapa pun. Apalagi dalam konteks merespons kasus kekerasan.

“Empati itu kan bukan satu hal yang terfiksasi (dalam istilah psikologis: sesuatu yang tidak bisa berkembang) gitu ya, dan empati itu juga skills juga kan. Kalau kita belajar, kalau kita mau mencoba untuk menempatkan diri kita di tempat orang lain, ya bisa dipupuk sebetulnya. Kalau diasah, lama-lama bisa kok terbiasa dan punya skill-nya(empati),” kata Danis.

Namun, Danis tidak memungkiri kalau ada peran besar norma gender tradisional tadi yang akan menyulitkan proses ini. Perlu ada perubahan yang menyeluruh. Perubahan ini juga meliputi dekonstruksi terhadap pandangan laki-laki dalam melihat perempuan dan kekerasan itu sendiri.

“Individu (laki-laki) bisa mengasah itu (empati), tapi perubahan norma-norma gender yang ada di masyarakat juga diharapkan perlahan bisa terjadi. Kekerasan itu kan mutlak memang bukan satu hal yang baik ya. Tapi ketika norma-norma gender tradisionalnya masih kuat, akan sulit untuk berempati. Perspektif gender-nya juga harus diubah,” pungkas Danis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *