Dilarang Menulis
Banyak orang yang menjadi tahanan rumah karena di rumah mereka ditemukan benda-benda yang memuat ide dan gagasan si pemilik rumah, ada juga yang langsung ditembak mati lantaran kepergok menulis.
Suara telapak kaki yang dientakkan bersamaan membuatku kalang kabut. Aku yang awalnya sedang duduk di ruang tamu, meluruskan kaki sambil memegang buku, langsung bangkit tanpa menandai halaman yang terakhir kubaca.
Kupercepat langkahku, hampir seperti berlari, menuju kamar. Tempat teraman kala itu. Kuambil salah satu bantal dan memasukkan bukuku ke dalam sarungnya. Kututup pintu kamar pelan-pelan agar mereka tak mendengar dan tidak berpikir bahwa aku habis dari sana. Aku kembali ke ruang tamu, selonjoran di atas sofa, dan memejamkan mataku.
Mereka, yang memamerkan bisingnya suara sol sepatu, mengetuk pintu rumahku. Aku pura-pura menguap, lalu bertanya ada perlu apa Bapak-bapak ke sini? Salah satu dari mereka menjawab bahwa mereka punya izin untuk menggeledah tiap rumah di daerah ini. Aku mempersilakan mereka masuk dan duduk terlebih dahulu, juga meminta mereka menunggu karena aku hendak memanggil kedua orang tuaku. Ini bukan rumahku, jadi segala sesuatu yang terjadi di rumah ini mesti sepengetahuan orang tuaku.
Mereka awalnya terlihat tidak setuju. Tetapi, mereka tidak ingin terlihat sembarang memporak-porandakan rumah seseorang. Mereka tidak mau pula merusak tempat yang baru pertama kali mereka datangi. Akhirnya, mereka pamit dan kusambut dengan kelegaan di dalam hati. Aku memastikan sampai mereka luput dari pandangan, baru aku kembali menuju kamar. Kuraih bukuku tadi dan melanjutkan baca di atas kasur.
Saat menyadari bahwa aku lupa menutup gorden jendela kamar, aku langsung meletakkan bukuku dengan asal dan melesat mendekati jendela. Niatku menutup gorden secepatnya terhenti karena melihat orang-orang yang tadi mendatangi rumahku beralih menuju rumah tetanggaku. Dua orang menunggu di luar, dua lagi tidak terlihat, mungkin masuk ke rumah.
Aku terus mengamati sampai akhirnya aku melihat beberapa perabotan rumah melayang di udara, kemudian jatuh hingga bentuknya tak keruan lagi. Si pemilik rumah, Andani, terlihat muncul. Ia menatap barang-barangnya yang saat ini lebih pantas disebut rongsok dengan tenang seolah perbuatan orang-orang itu sama sekali tidak mengusiknya. Meski sudah tak terhitung benda yang mereka hancurkan, rupanya mereka belum puas karena belum menemukan apa yang mereka cari.
Mereka berhenti saat peluh mulai menembus seragam mereka. Sayup-sayup terdengar pesan bahwa mereka akan kembali lagi dengan nada mengancam. Andani masih saja tersenyum tanpa ada rasa takut menggarisi raut wajahnya. Ia masih sempat-sempatnya memekik ke arah mereka yang tengah melangkah meninggalkan kediamannya untuk berhati-hati. Tak ada yang menghiraukan ucapan Andani. Mungkin karena Andani tidak bicara sungguh-sungguh.
Aku sampai lupa pada tujuanku mendekati jendela. Kutarik langsung gorden jendela kamarku dan kembali menyelami buku yang masih kuingat betul terakhir kubaca sampai mana.
Esok harinya, Andani datang ke rumahku. Kupikir ia tengah mencari kakakku, mengingat mereka adalah teman satu sekolah. Tetapi, Ibu bilang Andani mau bertemu denganku. Aku menghampiri Andani yang telah duduk di ruang tamu.
Ia menyerahkan secarik kertas kosong yang warnanya sudah berubah dimakan usia kepadaku. Ia bilang aku mesti menjaganya betul-betul. Jangan sampai para petugas menemukan kertas ini.
“Memangnya kenapa? Kertas ini ‘kan kosong?”
“Justru karena itulah aku menitipkannya kepadamu. Jangan sampai mereka tahu aku punya secarik kertas kosong mendekam di rumahku. Kalau mereka menemukan ini, pikiranku akan mati. Aku mau kau menjaganya untukku.”
“Apa kau akan kembali lagi dan mengambil kertas kosong ini jika keadaan sudah aman?”
Andani tersenyum. “Keadaan tak akan pernah jadi aman, tapi aku akan kembali untuk mengambilnya. Tapi kalau aku tidak kembali, kau yang perlu menjaganya. Jaga jangan sampai jatuh ke tangan orang lain, dalam keadaan kosong ataupun sudah terisi.”
Baca juga: Laki-laki Tahu Apa tentang Perempuan
Aku menatap kepergian Andani dengan kebingungan yang masih melandaku. Pertanyaan seputar pilihannya yang jatuh pada diriku, akulah orang yang ditunjuknya menjaga kertas kosong yang semestinya berada di tempat sampah ini, masih belum mampu kucerna. Aku menjadi opsi sebagai sosok penjaga pikirannya.
***
Sudah cukup lama daerahku dipasangi banyak aturan. Katanya aturan dibuat demi kenyamanan bersama. Nyatanya kenyamanan itu hanya berlaku bagi sebagian orang. Dan sebagian orang itu adalah orang-orang yang merumuskan peraturan.
Tidak boleh ada tulisan apa pun bertengger di mana pun. Benar-benar dilarang. Bahkan aturannya disampaikan dengan gambar selembar kertas penuh tulisan tangan yang dicoreng dengan garis tebal tanpa ada kalimat yang menjelaskan gambar itu. Intinya, jika ada tulisan yang dipajang, dibaca orang banyak, si penulis dan pembacanya akan di penjara. Orang langsung mundur kala mendengar kata ‘penjara’. Tak ada yang mau main-main dengan tempat yang begitu terpencil, tertutup, dan sama sekali jauh dari kata ‘bebas’.
Tapi kali ini, Andani tidak memintaku menyembunyikan tulisan. Ia malah memberiku secarik kertas kosong yang telah menguning begini. Beberapa kali kudapati ibuku hampir membuangnya ke tempat sampah. Untungnya, aku segera mencegah tindakan ibuku. Kalau tidak, Andani mungkin tak punya lagi seseorang yang bisa dipercayainya.
Andani memilihku walaupun aku sama sekali tidak pernah berinteraksi dengannya Mungkin kakakku pernah cerita tentang kebiasaanku menyembunyikan barang-barang pribadinya. Mungkin aku dipandang terpercaya bagi Andani kendati kenalan Andani begitu banyak dan aku yakin tidak sedikit orang yang peduli padanya. Di tengah keheranan mengenai alasan Andani memilihku, aku juga bertanya-tanya, mengapa aku langsung mengiyakan saat Andani menaruh kepercayaannya kepadaku?
Ancaman orang-orang yang mendatangi rumah Andani waktu itu bukan sekadar gertakan. Mereka kembali lagi tiga hari kemudian. Kali ini perlakuan mereka lebih ganas, mereka mulai berani mendorong dan menarik baju Andani dengan kasar. Barang-barang Andani yang mulai ia ganti satu persatu hancur, padahal belum tentu juga semua barangnya itu telah lunas cicilannya. Tapi, tentu saja para petugas itu tidak peduli. Mereka tetap mencari.
Suara pekikan terdengar dari dalam rumah. Raut wajah Andani yang biasa tenang, kali ini memucat. Salah satu dari mereka menemukan apa yang mereka cari-cari. Aku tak tahu apa yang mereka cari lagi karena benda yang kupikir begitu penting bagi Andani dan dirahasiakannya jelas-jelas telah ada padaku.
Si penemu akhirnya keluar rumah. Tampak di tangan kanannya terdapat sebuah pena. Ia angkat benda itu tinggi-tinggi. Petugas-petugas yang lain tidak mendekat meski mata mereka diliputi rasa penasaran, seolah mereka juga baru tahu itulah barang yang dicari. Si penemu juga terlihat berhati-hati saat memegangnya. Ia tak asal menyodorkan pada orang lain, seolah itu benda tajam yang jika terkena goresannya sedikit, akan menimbulkan rasa sakit yang berkepanjangan. Bersamaan dengan sikap hati-hatinya, muncul harapan bahwa setelah menyerahkan pena itu kepada yang memintanya mencari, hidupnya bakal langsung makmur. Ia akhirnya mendapatkan apa yang selama ini ia kejar.
Meski taka da berita tertulis, mulut masyarakat mudah menyebarkan pesan yang lantas mewabah layaknya penyakit. Terdengar kabar bahwa Andani dibawa bersama mereka untuk diletakkan dibalik jeruji karena ditemukan sebuah pena di balik bantalnya.
Baca juga: Nina Si Bule Kampung
Tidak cuma Andani rupanya yang dihukum karena memiliki “barang terlarang”. Hari itu, banyak juga orang yang menjadi tahanan rumah karena di rumah mereka ditemukan benda-benda yang memuat ide dan gagasan si pemilik rumah. Ada pun yang langsung ditembak mati di tempat, di bawah atap rumahnya sendiri, lantaran kepergok tengah menulis.
Larangan menulis yang diekori sanksi tidak main-main membuat orang-orang semakin takut berhubungan dengan benda-benda yang terkait kegiatan menulis dan membaca. Pemimpin kami kali ini mungkin tengah tertawa, mengetahui peraturannya disikapi dengan serius. Tertawa karena bangga pada dirinya sendiri, bahwa ia telah berhasil menjadi seseorang yang ditakuti.
Orang-orang memperhatikan kepergian Andani sambil berbisik-bisik. Kulihat Andani menatapku. Kudapati suatu hal yang tak lazim muncul dari seseorang yang dijatuhi hukuman: sebuah senyum tiba-tiba terukir di wajahnya. Tak ada beban yang terlihat dari dalam dirinya seakan ia tahu akan begini juga nasibnya berujung. Seolah ia tahu, meskipun ia dihukum, ia tetap mencicip akan kebebasan yang tak semua orang bisa rasakan.
Setelah memastikan para petugas telah meninggalkan daerah kami, orang-orang membubarkan diri, kembali sibuk dengan rutinitasnya. Aku pun kembali memasuki rumah.
Buku yang kupunya telah habis kulahap, dan sekarang buku itu tidak lagi kuletakkan di dalam sarung bantal. Aku menutup gorden, memastikan tidak sedikit cahaya pun mampu menembus.
Kuraih secarik kertas pemberian Andani. Kuambil pula sebuah pensil yang telah seukuran jari kelingkingku. Lalu, aku mulai membubuhi kertas berwarna kuning pudar itu dengan buah pikiranku.