Untuk meningkatkan rekognisi kerja perawatan, Magdalene dan International Labour Organization (ILO) mengadakan pemutaran film pendek dan diskusi “Eksperimen Sosial Kerja Perawatan” pada (18/1). Berangkat dari cerita lima perempuan peserta eksperimen sosial, acara yang diselenggarakan di Kineforum, Cikini, Jakarta Pusat itu menyorot beberapa hal terkait kerja perawatan.
Di antaranya kerja perawatan belum direkognisi, valuasi, dan masih dibebankan pada perempuan karena konstruksi sosial. National Project ILO Indonesia Early Nuriana mengatakan, membicarakan isu perawatan sama halnya dengan membahas budaya yang terkonstruksi di masyarakat. Karenanya, perempuan masih jadi aktor utama dalam melakukan tugas perawatan.
Baca Juga: Bekerja 100 Jam Per Minggu tapi Tak Dianggap Produktif
Membicarakan Kerja Perawatan, Membicarakan Konstruksi Sosial
Sering kali perempuan menghadapi pilihan, antara memprioritaskan keluarga atau berkarier, karena sulit untuk melakukan keduanya bersamaan. Seperti dialami Riris, 53, salah satu peserta eksperimen sosial. Pada 2019, ia mengambil pensiun dini demi mengurus ayah. Riris merasa bertanggung jawab untuk merawat ayah dan melihatnya sebagai bentuk bakti terhadap orang tua.
Sedangkan perempuan yang menikah dan punya anak, akan bergulat dengan perannya sebagai ibu, jika tak mampu membayar daycare atau mempekerjakan pengasuh. Atau justru memilih menjalankan tanggung jawab itu tanpa bantuan, karena menganggap sudah kewajibannya sebagai ibu—seperti dialami Natalia, 43, peserta eksperimen sosial Magdalene lainnya.
“(Pengalaman individu) enggak ada yang salah, kan ini hasil konstruksi sosial ya. Sistem di negara kita juga belum suportif untuk mendukung kerja perawatan,” kata Early.
Meski demikian, akibatnya masyarakat sulit menerima penyajian data, yang menampilkan hasil riset persepsi terhadap pekerjaan perawatan.
Tak hanya itu, layaknya pekerjaan produktif lainnya, kerja perawatan sebenarnya memiliki nilai ekonomi. Namun, dikarenakan belum dihargai dan dianggap bernilai, kerja perawatan hanya dianggap sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari dan tidak berbayar.
Terkait kerja perawatan yang seharusnya divalidasi, Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Budaya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Eko Novi Ariyanti mengatakan, tak semua bisa dikonversi dalam bentuk uang. Sebab, ada nilai-nilai budaya di masyarakat yang enggak bisa diabaikan begitu saja.
“Tapi bukan berarti (kerja perawatan) bisa dianggap enteng. Pekerjaan ini bernilai, butuh skill yang besar, dan harus dihargai,” ujar Eko.
Yang perlu diperhatikan adalah, Indonesia mengarah pada aging society—atau populasi lansia mengalami peningkatan—tetapi jumlah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan masih minim pilihan, untuk bisa seimbang antara bekerja dan mengurus keluarga. Karena itu, pemerintah perlu berupaya untuk mengatasi masalah tersebut.
Baca Juga: Pentingnya Rekognisi Pekerjaan Perawatan
Merealisasikan Kerja Perawatan yang Setara
Butuh waktu panjang dan keterlibatan seluruh pihak—termasuk masyarakat—agar kerja perawatan bisa diakui dan divaluasi. Termasuk pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang akan mengakui pekerjaan domestik, serta RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang memperpanjang cuti melahirkan dan memberikan cuti ayah.
Saat ini, KemenPPPA dan ILO tengah menyusun peta jalan kerja perawatan yang mencakup daycare, layanan bagi lansia, serta layanan perawatan berbasis inklusi untuk kelompok disabilitas dan rentan lainnya.
Peta jalan itu termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), sebagai bentuk konsistensi negara dalam mendorong kerja perawatan. Misalnya menyediakan daycare berkualitas dan terjangkau. Lalu pembentukan mekanisme pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan, agar pekerja punya uang pensiun yang bisa digunakan untuk membayar perawat.
Untuk mewujudkan hal itu diperlukan kerja sama seluruh kementerian, yang terintegrasi dalam sistem perlindungan sosial.
“Sistem perlindungan sosial yang terintegrasi akan berinvestasi pada pengakuan kerja perawatan. Lalu pengakuan kebijakan, penyediaan layanan, dan berkontribusi dalam peningkatan partisipasi perempuan di tempat kerja. Harapannya bisa berpartisipasi terhadap pendapatan negara,” terang Early.
Selain pemerintah, dukungan sektor perusahaan juga diperlukan. Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Wita Krisanti mengamini, berat bagi perusahaan untuk memperpanjang cuti melahirkan dan mengadakan cuti ayah seperti direncanakan RUU KIA.
Baca Juga: Reduksi dan Retribusi Kerja Perawatan Perempuan
Walaupun demikian, Wita menekankan perlunya edukasi bagi pekerja—terutama laki-laki—perihal pemanfaatan cuti orang tua. Yakni mendukung istri yang baru melahirkan, dan bonding dengan anak.
Sedangkan di tingkat masyarakat, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Diahhadi Setyonaluri menggarisbawahi pentingnya advokasi seperti eksperimen sosial Magdalene dan ILO. Tujuannya untuk mengubah persepsi masyarakat, bahwa tanggung jawab perempuan dan laki-laki dalam kerja perawatan itu setara.