‘Drag Race UK Vs the World’: Upaya Membuat Minoritas jadi Universal?
Refleksi penggemar garis keras Drag Race dan dilema merayakan kesuksesan RuPaul.
Saya mengenal RuPaul’s Drag Race lebih dekat sejak 2017. Waktu itu, dipaksa pacar–mantan pacar, lebih tepatnya–untuk menonton episode pertama RuPaul’s Drag Race Allstars Season 2.
“Aku enggak mungkin maksa kamu nonton sesuatu yang aku enggak yakin kamu bakal suka,” katanya waktu itu. Pernyataan ini terlalu gegabah sebetulnya, mengingat kami baru kenal dua minggu. Namun, kalimatnya jadi kutukan nyata.
Kebetulan, salah satu pesertanya adalah Danny Noriega, alumnus American Idol 2008–yang sekarang berprofesi drag queen dengan nama drag Adore Delano. Dia adalah alasan saya memutuskan nonton episode itu sampai habis.
Saya bukan cuma menyelesaikan episode satu, lalu melanjutkan ke episode berikutnya. Sebulan setelah hari itu, saya mengejar semua musim yang belum saya tonton. Kurang lebih sembilan musim reguler, dan satu musim Allstars. Tiap musim diisi 6-19 episode. Sampai hari ini, saya belum pernah meninggalkan satu pun episode terbaru, termasuk spin off teranyar yang baru tayang minggu lalu: RuPaul’s Drag Race: UK Vs the World.
Sebelumnya, buat kalian yang tidak familier dengan RuPaul’s Drag Race, kompetisi ini bukanlah balap mobil liar di trek lurus, sebagaimana arti drag race yang sering dipakai media arus utama. Itu adalah kompetisi drag queen asal Amerika Serikat (AS), yang pertama kali ditayangkan 2009 lalu. Ia dibuat oleh RuPaul, drag queen kenamaan yang populer di Hollywood ‘90-an akhir sebagai model video musik dan host talk show di MTV.
Baca juga: ‘RuPaul’s Drag Race Ajari Soal Toleransi, Keberagaman, dan Inklusivitas
Setelah sukses di negara sendiri, Drag Race lalu diwaralabakan ke penjuru dunia. Chili menjadi negara pertama yang mengadopsi kompetisi drag queen ini pada 2015. Disusul Thailand pada 2018. Sampai pengujung 2021, kita bisa menonton versi Inggris, Kanada, Belanda, Spanyol, Italia, dan Down Under (Australia dan New Zealand). Tahun ini, Filipina dan Prancis juga akan merilis Drag Race musim pertama mereka.
Tak cuma berhasil bikin kompetisi drag queen jadi tontonan global, RuPaul digadang-gadang sebagai Queen of Drag Queens, atas jasanya mendisrupsi seni underground ini ke industri hiburan arus utama. Drag queens—yang dulu dianggap profesi rendahan dan tak menghasilkan, kini dipandang generasi muda sebagai cita-cita di negara-negara yang lebih inklusif.
Tak bisa dimungkiri, RuPaul’s Drag Race adalah acara orang queer, yang dibikin oleh queer, dan untuk orang queer pertama dalam sejarah manusia, tanpa perlu queercoding atau queerbaiting—dengan representasi orang-orang queer paling beragam di sejarah televisi dunia. Seperti kata Arie Raditya, dalam artikelnya di Magdalene, Drag Race bukan cuma berujung jadi tontonan yang menghibur, tapi juga mengajari toleransi, keberagaman, dan inklusivitas.
Lewat Drag Race: UK Vs the World, RuPaul juga membuka kesempatan para drag queen di seluruh negara waralabanya untuk tampil di panggung global, ditonton lebih banyak orang, dan membuka kesempatan hidup lebih baik.
Namun, di tahun ke-14 ini dan kesuksesannya yang makin cemerlang, Drag Race mulai diprotes dan diramalkan ditinggal penonton setia. Keluhan tentang Drag Race fatigue (kelelahan menonton Drag Race) mulai muncul, sejak waralaba ini memproduksi 9 musim berbeda sepanjang 2021.
Protes itu disanggah Michelle Visage, juri tetap sekaligus sidekick RuPaul sejak musim 3 ini. Ia bilang, produksi Drag Race yang membludak beberapa tahun terakhir tak perlu dikritisi secara brutal.
“Kita berjuang lama dan keras sekali supaya punya program queer di TV,” katanya pada Digital Spy.
“Saya pikir, belum cukup dan tak akan pernah cukup. Saya pikir kita harus selalu mencintai dan mendukung seniman-seniman queer kita.”
Drag Race Buka Ekonomi buat Queer Artists
Pernyataan Michelle, di satu titik terasa betul belaka. Hadirnya karakter-karakter queer yang dipotret seperti manusia adalah sejarah baru. Umurnya belum lebih dua dekade, itu pun di Hollywood sana, salah satu ekonomi industri hiburan paling raksasa di dunia. Di belahan dunia lain, ceritanya belum tentu sama.
Orang-orang queer masih sering kali jadi sasaran empuk diskriminasi struktural negara, tak terkecuali di Indonesia. Menonton para drag queens menjadi diri mereka sendiri, dan sukses setelah mengikuti Drag Race adalah kesenangan hakiki buat saya. Sejak 2009, bahkan jumlah orang Indonesia yang muncul di waralaba ini juga makin banyak, yang paling terkenal adalah juara musim ketiga versi AS Raja, keponakannya Buya Hamka (ketua Majelis Ulama Indonesia pertama).
Baca juga: ‘Drag Race Holland’: Saat Institusi Queer Gagal Pahami Konsep Gender Nonbiner
Saya sepakat dengan Felipe González Silva, dalam disertasinya “It’s Not Personal, It’s Drag”: The Sassy Politic of RuPaul’s Drag Race (2015). Acara ini “meng-queer-kan yang normal, membersihkan (citra) ‘kotor’, menolak dan menyesuaikan diri pada normativitas secara terus-menerus”. Bahkan, dalam acara drag paling banyak ditonton ini, definisi drag sebagai seni sendiri terus dipertanyakan dan berevolusi, bersama dengan identitas queer yang dibawa para kontestannya.
Misalnya, identitas drag queen transgender yang sempat dilarang RuPaul ikut, sebelum pernyataannya itu diprotes habis-habisan oleh para alumni dan penonton. Pernyataan itu dianggap menghapus sejarah sekaligus menyakiti para drag queen transpuan yang jadi pelopor dalam perjuangan gerakan LGBTQ. RuPaul akhirnya belajar, meminta maaf, dan mulai mengaudisi para drag queen transgender masuk ke acaranya.
Sarah Tucker Jenkins, dalam Hegemonic “Realness”? An Intersectional Feminist Analysis of RuPaul’s Drag Race (2013), juga sepakat melihat representasi kontestan dalam acara ini membantu penonton memahami identitas queer yang kompleks dan berlapis. Namun, di satu titik, Jenkins juga mencatat, sebagai sebuah acara yang diproduksi kelas dan ras tertentu, Drag Race tak lepas dari bias—yang secara sengaja atau tidak, dibawa kru atau kontestan sendiri—mengamini hegemoni stereotip heteronormativitas yang ada.
Contohnya, bagaimana Drag Race AS sering kali membingkai drag queen berkulit hitam sebagai villain of the season (contoh kasus, The Vixen di musim 10). Contoh-contoh begini sebetulnya ada banyak, dan perlu konteks lebih luas untuk menjelaskannya.
Keterlihatan para individu queer ini di area arus utama tentu saja membuka peluang ekonomi mereka. Tak seperti acara kompetisi khas AS lainnya, pemenang Drag Race biasanya tidak akan jadi satu-satunya yang terkenal setelah musim itu berakhir. Mereka bisa tetap terkenal dan diundang ke klub-klub, acara televisi, jadi bintang film, model musik video, atau talk show, meskipun tereliminasi pertama.
Semua tergantung seberapa banyak fans, dan seberapa loyal mereka. Sama seperti fandom lainnya, para penggemar Drag Race juga sangat loyal. Di satu titik, omongan Michelle tentang representasi yang berhasil dirayakan lewat Drag Race seolah-olah membantu banyak hidup para drag queens, lewat peluang ekonomi yang juga terbuka.
Masalah Sebenarnya dari Representasi
Di alam patriarki yang masih mengerikan ini, kehadiran Drag Race dan kesuksesan para drag queens betul-betul macam oase lengkap dengan oksigen di atas tanah planet Mars. Di sejarah pergerakan perjuangan hak-hak hidup LGBTQ, para drag queen dan mereka yang ekspresi gendernya paling mencolok, dikenal dan dihormati sebagai para pelopor. Terutama mereka para drag queen transgender.
Baca juga: 8 Film Asia Bertema Transgender yang Wajib Ditonton
Di alam patriarki yang kawin dengan kapitalisme, seorang transgender berkulit hitam sering kali adalah kelompok manusia paling rentan. Kesempatan kerja, pendidikan, bahkan hidupnya selalu dalam ancaman.
Kehadiran mereka dalam acara macam Drag Race, adalah oase itu. Meski RuPaul, si Queen of Drag Queens pernah blunder dan (berani-beraninya) menolak terang-terangan kehadiran drag queen transgender di acaranya, para fans tetap menonton Drag Race untuk–tak cuma merayakan acara orang queer–tapi juga mendukung para seniman queer untuk dapat hidup lebih baik.
Poin “representasi” ini yang sering kali jadi jualan andalan Drag Race, dan membuatnya menarik di mata para kolaborator RuPaul di masing-masing negara waralabanya. Namun sebetulnya, meski seolah-olah kehadiran Drag Race membantu hidup orang-orang rentan ini dan membantu masyarakat mayoritas makin memahami mereka, masalah sebenarnya yang bikin hidup orang-orang queer susah belum betul-betul hilang: Kapitalisme dan patriarki.
Di titik itu, kehadiran Drag Race UK Vs the World, perlu terus kita kritisi. Sebagaimana Drag Race terus dikritisi para akademisi. Ia bisa saja dilihat sebagai kesempatan orang-orang macam Lemon atau Pangina Heals (silakan google siapa mereka) untuk bertemu RuPaul dan dapat sorotan yang semestinya mereka dapatkan, dan kita para penonton queer turut senang merayakan mereka.
Namun di lain titik, Drag Race UK Vs the World, bisa jadi adalah alat orang macam RuPaul (dan jajaran produsernya) untuk terus mengeruk keuntungan dari menjual gagasan semu representasi–menumpuk benefit paling besar untuk mereka saja. Tanpa betul-betul memberantas patriarki dan kapitalisme, yang bikin kesejahteraan para drag queen dan orang-orang queer lainnya.
Buat saya, tentu saja ini bukan pekerjaan satu-dua orang fans saja. Masalah sebesar itu perlu tenaga besar. Sampai tiba harinya, mungkin orang-orang macam saya akan tetap merayakan Drag Race dengan menonton semua musim yang mereka rilis, mendukung queens favorit di media sosial, dan terus menulis, mengritisi Drag Race.
Sambil sesekali mencemburui instastory mantan pacar saya–yang sekarang pindah ke Denver, AS, dan dapat akses VIP ketemu Naomi Smalls, Rosé, Yvie Oddly, Willow Pill, dan semua queens terkenal lainnya, setelah menikahi seorang penari latar para drag queens di sana.