‘Drifting Home’: Eksplorasi Trauma pada Tempat dan Selipan Ajaran Shinto
Drifting Home mengeksplorasi trauma pada sebuah tempat dan ajaran Shinto yang menghormati alam serta lingkungan sekitar.
Libur sekolah adalah waktu yang dinanti semua anak-anak di seluruh dunia. Bermain sepuasnya dengan teman-teman tanpa takut dikejar-kejar PR dari guru dan bisa bepergian ke luar kota bahkan luar negeri biasanya jadi wishlist utama. Sayangnya, imaji kebahagian libur sekolah ini sirna tepat di mata lima anak sekolah dasar di Jepang. Kousuke, Natsume, Reina, Taishi, Juri, dan Yuzuru.
Lima sekawan ini secara tiba-tiba tersesat di laut bersama dengan bangunan apartemen tua yang mereka jadikan tempat proyek uji nyali. Tak Ada kehidupan lain. Hanya ada mereka dan lautan sepanjang mata memandang.
Dunia yang mereka kenal berubah dengan cepat, sampai mereka butuh satu hari untuk sadar bahwa yang mereka alami bukan mimpi.
Segala senda gurau pun berubah jadi ketegangan konstan dan pertikaian antar-lima sekawan ini. Mereka frustrasi. Berhari-hari terjebak di tengah laut dengan perbekalan seadanya apalagi air bersih yang bisa mereka minum.
Namun, petualangan ini tak selamanya jadi bencana.
Di tengah segala kekacauan yang ada, mereka diberikan kesempatan untuk saling mengenal, saling memaafkan satu sama lain atas luka masa lalu. Tak lupa pula berdamai dengan diri mereka sendiri.
Kisah petualangan lima sekawan inilah yang berusaha disampaikan Hiroyasu Ishida, dalam karya terbarunya Drifting Home. Di Jepang, dikenal dengan nama 雨を告げる漂流団地 (Ame o Tsugeru Hyōryū Danchi). Film animasi yang tayang serentak di seluruh bioskop Jepang, Netflix, dan Indonesia pada 16 September kemarin, menawarkan banyak elemen kejut yang mampu membuat penonton ke luar dengan perasaan puas dan emosi yang bergejolak.
Baca juga: ‘Turning Red’, Ketika Narasi Perempuan Diproduksi Perempuan Sendiri
Ketika Trauma Berbentuk Sebuah Tempat
Buat kebanyakan orang, trauma lebih banyak dikenal lewat manifestasinya pada manusia lain atau kenangan sebuah peristiwa.
Lewat Drifting Home, Hiroyasu Ishida selaku sutradara memilih menceritakan trauma protagonist utamanya—Natsume—pada sebuah tempat.
Apartemen itu adalah tempat dulu Natsume dan Kousuke tinggal. Tempat di mana mereka menghabiskan waktu bermain dan tumbuh besar bersama. Tempat di mana mereka berbagi kehangatan dengan kakek Kousuke, Yasuji. Kakek yang dianggap Natsume sebagai pengganti sosok ayahnya. Ayah temperamental yang telah meninggalkannya semasa kecil.
Keluarga berantakan bikin Natsume tumbuh dengan pikiran bahwa ia adalah penyebab retak semua keluarga yang dekat dengannya. Dia merasa tidak akan pernah dicintai lagi dan kematian Yasuji membuatnya terpukul. Apartemen tua yang dulu jadi sumber kebahagiaannya kini hanya jadi bangunan tua yang menyimpan kenangan kabur yang ia damba tapi sekaligus ia sesali. Apartemen tua itu akhirnya jadi manifestasi trauma Natsume.
Dalam dokumenter yang dirilis Archipel, Being an Animation Film Director Ishida menjelaskan bagaimana ia percaya tiap manusia punya sebuah tempat yang tak pernah bisa mereka lupakan. Sebuah tempat menurutnya bisa menimbulkan luka trauma. Ia adalah kotak pandora berisi segala bentuk emosi manusia dengan ribuan memori di dalamnya.
Trauma yang membuat Natsume dan keempat temannya harus terjebak di dimensi lain. Lewat apartemen tua yang terdampar di tengah lautan, Ishida memperlihatkan bagaimana trauma seorang individu tak hanya berdampak pada mereka sendiri, tapi juga orang di sekitar mereka.
Dalam hal ini, Drifting Home mencoba menggambarkan trauma Natsume membuat keempat kawannya harus bertaruh nyawa selama berhari-hari hanya untuk bertahan hidup.
Setiap Natsume mulai menyalahkan dirinya sendiri, berusaha terlihat kuat, dan mengelak terbuka dengan perasaannya sendiri, keempat anak lainnya pasti akan mengalami suatu kejadian berbahaya yang bisa merenggut nyawa.
Baca juga: ‘Sea Beast’: Ketika Sejarah Ditulis Ulang oleh Penguasa
Napas Shinto dalam Drifting Home
Selain manifestasi trauma lewat sebuah tempat, ada satu hal lagi yang menarik dari film Drifting Home. Film ini ternyata cukup kental dengan ajaran Shinto.
Sonoda Minoru Profesor di Universitas Kyoto dan pendeta kepala Kuil Chichibu (Prefektur Saitama) dalam Shinto: A History (2017) menjelaskan, karakter agama itu didasarkan pada budaya hidup orang Jepang. Cara menjalankannya muncul dari konsep kehidupan spiritual orang Jepang sendiri.
Beda dengan agama samawi (yang mengaku turun dari langit) yang punya tipe ingin membawa keselamatan, Shinto adalah agama budaya (bunkateki shūkyo).
Dalam Drifting Home, ajaran agama Shinto sangat terlihat dari karakter Noppo. Dengan wajah memelas, potongan rambut mangkok, celana pendek dan sweater birunya, Noppo sepintas tampak seperti anak-anak SD pada umumnya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia terlihat seperti gabungan antara manusia dan pohon.
Lengan yang ia sembunyikan di balik sweaternya ternyata terbuat dari kayu dan ditumbuhi oleh dedaunan dan lumut. Buat penonton yang mengenal ajaran Shinto, memahami karakter Noppo mungkin menyulitkan. Apalagi siapa sebenarnya Noppo tak pernah dijelaskan secara eksplisit di film.
Ia hanya dijelaskan sebagai eksistensi yang telah ada sejak pembangunan apartemen itu mulai. Ia menyaksikan puluhan keluarga datang dan pergi. Pun, dia melihat Kousuke dan Natsume yang tumbuh besar di apartemen itu.
Oleh karenanya, kita butuh mengetahui lebih dalam mengenai Kami dalam agama Shinto. Perlu diketahui bahwa dalam agama Shinto tak ada konsep Tuhan, yang ada Kami (神). Dewa dewi, roh, atau kekuatan suci.
Kami bisa termanifestasi lewat kekuatan alam, makhluk mistis, dan juga roh orang mati yang dihormati. Mereka juga adalah manifestasi dari musubi (結び) atau energi interkoneksi alam semesta, dan dianggap sebagai teladan dari apa yang harus diperjuangkan umat manusia.
Kami diyakini “tersembunyi” dari dunia ini, tetapi ada di mana pun manusia berada. Mereka tak pernah terlepas dari alam, karenanya selalu ada di mana-mana. Mereka ada di batu, di tiap pohon, sungai, rumput, langit, bahkan bangunan yang kita tempati dan lihat tiap hari.
Noppo bisa jadi adalah perwujudan dari Kami yang mendiami sebuah tempat. Sebagai Kami, Noppo hadir untuk 見守る (mimamoru), mengawasi dan menjaga penghuni apartemen tua itu.
Baca juga: Ulasan ‘Belle’: Perempuan yang Terluka, Patah, Bangkit
Dalam Drifting Home, hal ini terlihat periode waktu kehadirannya dalam hidup Kousuke dan Natsume. Melihat dan menjaga kehangatan mereka selama di apartemen dan di adegan-adegan terakhir, ia juga yang melindungi Kousuke dan Natsume dari marabahaya dan mengantar mereka pulang ke dunia manusia.
Eksistensi Noppo sebagai Kami pun semakin diperjelas dengan adegan di menit terakhir, ketika Noppo memberitahu para lima sekawan untuk kembali ke dunia mereka sendiri.
“Ini adalah tempat kami pulang. Jika kalian ikut bersama kami (Noppo dan anak-anak yang mirip dengannya), kalian tak akan bisa kembali ke rumah,” begitu ungkap Noppo, dibarengi dengan sorot kamera yang memperlihatkan Torii (鳥居) atau gerbang merah di bawah apartemen yang dipenuhi anak-anak mirip dengannya.
Masih di dalam buku yang sama, Torii atau gerbang merah menuju kuil Shinto melambangkan batasan yang memisahkan ruang suci dari duniawi tempat manusia hidup dengan tempat suci—dunia yang cuma boleh ditinggali Kami, semacam spiritual world.
Konon, jika manusia melewati gerbang itu, tak ada jaminan ia bisa kembali dengan selamat. Itu sebabnya, perkataan Noppo di salah satu adegan jadi masuk akal. Ia ingin lima sekawan itu kembali ke dunia manusia dalam keadaan utuh dan selamat.
Hal terakhir yang lekat sekali dengan kepercayaan orang Jepang dalam film ini adalah cahaya biru di laut yang terlihat hidup dan menemani perjalanan lima sekawan ke dimensi lain. Penggambaran yang bisa ditarik ke Tōrō Nagashi (灯籠流し).
Tōrō Nagashi sendiri adalah sebuah ritual di akhir musim Obon (perpaduan kepercayaan Jepang kuno pada arwah leluhur dan kebiasaan Buddhis Jepang untuk menghormati arwah leluhur) di mana orang Jepang berterima kasih kepada leluhur mereka karena telah mengunjungi dan melindungi mereka dengan cara mengirimkan lentera ke sungai atau ke laut dengan persembahan. Lentera yang secara ritual dinyalakan agar para leluhur dapat dengan mudah menemukan jalan pulang.
Tak hanya menyuguhkan visual menarik, film ini mampu mengaduk-aduk emosi penontonnya. Penonton tertawa, merasa tegang, sekaligus menangis melihat perjalanan lima sekawan ini yang begitu relevan dengan jiwa-jiwa yang memiliki trauma belum usai.
Tak hanya itu, sebagai film Jepang, Drifting Home sukses membawa kepercayaan tradisional Jepang ke dunia luar. Terutama kita yang tidak terlalu mengenal ajaran Shinto.