Screen Raves

‘Turning Red’, Ketika Narasi Perempuan Diproduksi Perempuan Sendiri

Turning Red adalah film yang hangat, tentang bagaimana anak perempuan tumbuh memasuki 'womanhood' mereka.

Avatar
  • March 15, 2022
  • 6 min read
  • 736 Views
‘Turning Red’, Ketika Narasi Perempuan Diproduksi Perempuan Sendiri

Satu peraturan penting dalam keluarga—kebanyakan keluarga Asia—yang mungkin kadang tak terlihat tapi harus ditaati, adalah menghormati orang tua.

Mereka makhluk tertinggi yang memberikanmu kehidupan. Dengan pengorbanan besar, mereka memberimu tempat tinggal layak, makanan di piring tiap hari, membiayai pendidikanmu. Kalau pun tidak, mereka tetaplah makhluk tertinggi yang harus kamu hormati. Paling tidak, yang bisa kamu lakukan sebagai balasan adalah melakukan semua permintaan dan nasihat yang mereka minta.

 

 

Namun, melakukan sesuatu tak boleh berlebihan. Banyak yang bilang, terlalu mengikuti orang tua juga tak baik bila sampai lupa menghormati diri sendiri. Untungnya, hal ini tidak berlaku untuk Meilin Lee—menurutnya, sih begitu. Sejak berusia 13 tahun, ia selalu melakukan apa yang ia inginkan, 24 jam-7 hari, sepanjang tahun.

Ia memakai pakaian yang ia mau, mengucapkan kata-kata apa pun yang ia kehendaki, dan melakukan hal spontan tanpa peduli dengan lingkungan sekitarnya. Menurutnya, 13 adalah angka resmi memasuki kedewasaan, menjadi “orang dewasa”.

Sumber: IMDB

 

Meilin tidak peduli dengan segala label yang diberikan orang-orang padanya. I accept and embrace all the labels, she said. Karenanya, ia dan tiga sahabatnya, Miriam, Priya, dan Abby sangat siap menjalani kehidupan “dewasa” mereka.

Ironisnya, di atas segala kebebasan yang digembar-gemborkan Meilin, ia tetaplah anak perempuan dari keluarga Asia. Dalam monolognya di pembukaan film, Meilin tak lupa menambahkan kalimat, “I am my own person, but it doesn’t mean I can do whatever I want.”

Bebas boleh, tapi semuanya harus lewat proses kompromi. Misalnya, Meilin harus merelakan waktu karaoke bersama tiga sahabatnya, karena harus membantu ibunya membersihkan vihara keluarga mereka.

Kisah tentang Meilin dan kehidupan remaja inilah yang disampaikan Domsee Shi, animator, sutradara, dan penulis skenario Tionghoa-Kanada dalam karya terbarunya, Turning Red. Film animasi dari studio Disney Pixar yang menawarkan banyak elemen nostalgia dan kontemplasi diri.

Baca juga: Film-film Hayao Mayazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

Film Turning Red dari Perempuan Untuk Perempuan

Disney Pixar memang tidak pernah gagal memberikan penontonnya tontonan bergizi, tak terkecuali Turning Red. Namun, ada satu hal istimewa dari film ini dibandingkan film-film animasi Disney Pixar lainnya. Turning Red adalah film dari perempuan dan untuk perempuan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah produksi film Disney Pixar, Turning Red melibatkan kepemimpinan kunci yang semuanya adalah perempuan.

Mulai dari sutradara, produser, production design, visual effects supervisor, hingga penulis naskahnya diisi perempuan. Tak heran, kalau mereka berhasil menarik penonton perempuan masuk ke labirin nostalgia dan kontemplasi diri yang khas dengan pengalaman hidup perempuan.

Dengan metafora panda merah, Turning Red menggambarkan the magic of puberty, masa ketika remaja perempuan harus teralienasi dari tubuhnya sendiri. Anak perempuan mengalami transisi yang sangat penting dalam hidupnya ketika mereka mulai menstruasi. Mood kita cepat sekali naik-turun, payudara kita mulai sakit karena ukurannya membesar, bulu-bulu di badan kita mulai tumbuh, tubuh kita mulai mengeluarkan bau yang tidak enak, dan entah mengapa kita jadi lebih mudah letih.

Inilah yang juga dirasakan Meilin ketika suatu hari, tiba-tiba ia berubah jadi panda merah. Meilin langsung ketakutan karena perubahan mendadak itu. Belakangan, ia sadar kalau harus menjaga emosi jika tidak ingin mendadak berubah jadi panda merah lagi. Padahal, di saat bersamaan Meilin merasa jadi lebih gampang marah dan kepayahan mengontrol emosinya.

Dalam usaha berdamai dengan tubuhnya sendiri, Meilin sadar kalau dia punya tiga sahabat yang ia jadikan anchor tiap kali diserang perasaan marah. Mereka adalah rumah bagi Meilin, tempat untuk pulang dan menjadi diri sendiri.

Meilin bisa melakukan berbagai aksi konyol dan gila bersama sahabat-sahabatnya. Ia pun juga bisa leluasa mengakui ketertarikan seksual pertamanya pada seorang remaja laki-laki tanpa takut dihakimi. Dalam hal ini, Turning Red menggambarkan betapa pentingnya persahabatan dalam proses kehidupan remaja perempuan dengan tepat.

Sumber: IMDB

 

Baca juga: ‘Yuni’: Film ‘Coming of Age’ Feminis yang Soroti Pernikahan Anak

 

Potret Fangirling yang Apik

Tidak hanya itu, Turning Red juga secara apik memvisualisasikan pendewasaan anak perempuan melalui kecintaan mereka terhadap boyband

Baik Meilin dan tiga sahabatnya adalah fangirls 4*TOWN, boyband favorit mereka. Selama ini, masyarakat telah menghakimi perempuan yang menunjukkan kecintaan mereka pada boyband. Menganggap fangirling sesuatu yang kekanak-kanakan, dan tidak logis. Anggapan itu diteruskan lewat stigma macam fans irasional, fans lebay, remaja labil, fanatik, dan lainnya pada seorang fangirl.

Hal ini berusaha dibongkar Turning Red. Menyukai boyband alias fangirling justru dipotret sebagai jembatan atau proses pendewasaan diri. Bukan sebuah fase, yang sering kali diremehkan sebagai sesuatu yang akan berlalu. Menyukai boyband, dalam Turning Red, dibingkai sebagai tanda perempuan mulai berani mengeksplorasi seksualitasnya. Hal itu terlihat dari dialog dan penggambaran positif Meilin dan tiga sahabatnya yang memperjuangkan tiket menonton konser 4*TOWN.

Sumber: IMDB

 

Baca juga: Ulasan ‘Belle’: Perempuan yang Terluka, Patah, Bangkit

Pesan Trauma Generasi yang Gamblang

Disney melalui Encanto (2021) berhasil membawa isu generational trauma alias trauma generasi dengan lantang. Ia membuka percakapan tentang trauma berkelanjutan yang ditransfer dari orang tua kita pada anak-anaknya, tanpa mereka sadari. Jika dalam Encanto, trauma generasi itu datang langsung dari Abuela, seorang refugee (pengungsi) yang takut keluarga tercerai-berai, maka Turning Red mengeksplorasi hubungan ibu-anak perempuan Asia yang ternyata tak kalah pelik.

Namun, berbeda dari Encanto yang mengelaborasi isu generational trauma dari satu sosok otoriter, nenek Abuela, Turning Red menggambarkannya dalam dua sosok dari dua generasi berbeda.

Meilin tumbuh dengan tuntutan jadi sempurna dari ibunya, Ming Lew—yang ternyata juga dibesarkan dengan pola yang sama oleh ibunya, Wu Lee. Ternyata, tanpa disadarinya, Ming memelihara luka dan trauma yang ia terima sejak kecil dan memanifestasikannya dalam cara mendidik Meilin. Ia lupa, tekanan sama yang ia berikan pada Meilin pernah melukainya. Ming bahkan tak pernah menanyakan kesanggupan Meilin mengemban segala ekspektasinya.

Meilin sendiri tumbuh dengan nilai tak boleh melawan orang tua. Sehingga, ia sulit mengekspresikan ketidaksukaannya pada aturan atau ekspektasi Ming. Itu sebabnya Ming sangat kaget, ketika putri semata wayangnya mulai berani bersuara dan membantah aturannya.

Pemberontakan Meilin berpuncak pada keputusannya tetap pergi menonton konser 4*TOWN. Di saat bersamaan, Meilin menerima Panda Merah yang ada di dalam dirinya, sesuatu yang ditolak semua generasi perempuan di keluarganya. Daripada menolak sang Panda Merah, yang adalah metafora perubahan hormonal perempuan ketika mulai menstruasi, Meilin justru merangkulnya dengan bangga.

Ia berhenti jadi anak perempuan ibunya yang sempurna. Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri apa adanya, tanpa harus takut menyembunyikan semua sisi dirinya yang ia punya. Pada akhirnya, hal inilah yang mengantarkan Meilin dan Ming dalam sebuah momen yang penting dalam hidup mereka.

Momen ketika keduanya mengerti, bahwa mereka tidak bisa lagi hidup dalam ekspektasi yang lahir dari trauma berkepanjangan yang membentuk Ming. 

Turning Red adalah film tentang menyembuhkan luka, dan mengobati trauma. Ia film yang hangat tentang bagaimana anak perempuan tumbuh memasuki womanhood mereka. Beruntungnya, semuanya digambarkan apik, lucu, dan mengharukan.


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *