December 17, 2025
Issues Lifestyle Opini

Durian di Negeri Orang: Strategi Bertahan Hidup dan Aroma Rindu

Sebiji durian di negeri orang bisa jadi misi rahasia sekaligus obat rindu. Ini kisah lucu dan hangat tentang strategi perantau menghidupkan kembali rasa pulang.

  • December 2, 2025
  • 4 min read
  • 506 Views
Durian di Negeri Orang: Strategi Bertahan Hidup dan Aroma Rindu

Siang itu, sebuah pesan masuk di ponsel saya dari seorang teman asal Thailand. Isinya singkat tapi membuat mata saya berbinar.

“Saya lagi ada di toko Asia. Durian sudah ada lagi stoknya, loh. Mau titip?”

Sebagai sesama perantau Asia di Jerman, kami sering berbagi kabar tentang bahan makanan yang sulit ditemukan. Saya tinggal di desa kecil di Jerman Selatan, tempat yang sejuk, rapi, dan sangat nyaman. Tapi dalam hal makanan Asia, apalagi yang beraroma menyengat seperti durian, aksesnya sangat terbatas. Toko Asia terdekat berjarak 30 km. Kalau pesan online, selain mahal, durian beku pun tak mampu menipu lidah.

Teman saya mengirimkan foto kotak plastik bertuliskan Peeled Fresh Monthong Durian, 500 gram. Harganya 18 euro.

Foto: Dok. pribadi penulis

“Satu kotak isinya dua buah durian, sebesar kepalan tangan orang dewasa,“ tulisnya.

Sebagai kaum mendang-mending, saya sempat berpikir, “Mahal juga, cuma dua biji?” Tapi hasrat sudah tak tertahan. Kami sepakat beli satu kotak dan membaginya dua. Rencana pun disusun, besok dia akan mampir ke rumah saya. Namun baru saya ingat, besok suami saya bekerja dari rumah.

Sebagai pasangan kawin campur, kami cukup santai soal budaya. Tapi ada satu kesepakatan tak tertulis: saya boleh makan pete, jengkol, atau durian hanya jika suami sedang tidak di rumah. Jadilah saya menelepon teman saya dan membatalkan rencana. Kami ubah lokasi pertemuan ke sebuah kafe kecil di kota terdekat.

Saya senyum-senyum sendiri membayangkan rasa durian yang sudah bertahun-tahun tak saya nikmati.

Baca juga: Why the Stinky Durian Really is the ‘King of All Fruits’

Makanan dan makna pulang

Keesokan harinya kami duduk di kafe, memesan roti dan teh. Tapi tujuan kami jelas, makan durian sebagai dessert. Sambil pura-pura mengobrol santai, kami saling pandang dan memastikan situasi aman. Teman saya membuka tas perlahan dan menunjukkan kotak durian. Saya menyerahkan uang sambil terkikik. Rasanya seperti sedang melakukan transaksi gelap.

“Di sini aja makannya?” bisiknya.

Saya cepat menggeleng. Baru-baru ini ada berita soal pusat perbelanjaan di Wiesbaden yang dievakuasi karena aroma mencurigakan yang disangka kebocoran gas, padahal hanya durian. Bahkan ada kantor pos yang panik gara-gara paket durian. Beberapa pegawainya sampai dibawa ke rumah sakit karena mengira itu bahan kimia.

Foto: Dok. pribadi penulis

Sebenarnya makan durian tidak dilarang di Jerman. Tapi demi kenyamanan bersama, banyak tempat seperti hotel, transportasi umum atau ruang tertutup melarang makanan beraroma kuat.

Kami tak ingin menjadi headline media Jerman Tagesschau. Maka kami pun pindah ke taman bermain yang biasanya sepi di pagi hari. Benar saja, taman itu kosong. Kami duduk di bangku taman, membuka kotak durian dengan pelan dan khidmat. Aroma itu segera memenuhi udara. Kami saling pandang, lalu bersulang dengan sepotong durian di tangan.

Prost!” seru kami sambil tertawa. Kami sempat berfoto untuk Instagram, sekadar pamer bahwa kami berhasil makan durian di negeri orang.

Baca juga: Cewek Seblak, Cowok Kopi: Benarkah Makanan Punya Gender?

Satu suap. Rasa manis, legit, dan aroma menyengat yang bagi orang lain bisa dianggap bencana, bagi kami adalah berkah.

Mungkin terdengar berlebihan untuk sepotong durian, tapi bagi kami yang hidup jauh dari tanah air, makanan bukan sekadar pengisi perut. Ia adalah jembatan. Ia menyimpan cerita masa kecil, wangi sore di teras rumah, tawa keluarga saat musim panen, dan kehangatan yang tak bisa dibeli di rak swalayan.

Kadang, untuk sekadar mencicipi rasa itu, kami harus menempuh jarak jauh, menyusun rencana matang, hingga makan di taman sambil menertawakan diri sendiri. Tapi di situlah seni bertahan hidup sebagai perantau: menyiasati rindu, mengatur strategi, dan merayakan hal-hal kecil yang membuat kita tetap waras.

Durian hari itu tidak hanya mengobati rindu. Ia menjadi pengingat bahwa meski jauh, kami masih bisa pulang—setidaknya lewat aroma.

Artikel ini merupakan bagian dari serial yang ditulis dan disusun oleh komunitas penulis diaspora Magdalene. Mereka banyak menceritakan soal suka duka hidup di negara asing dan bagaimana mengatasinya saat jauh dari rumah.

About Author

Pitta Nurmahesi

Pitta adalah seorang perempuan Indonesia yang saat ini menetap di sebuah desa di Jerman. Di waktu luangnya, Pitta gemar merajut, knitting, crochet, membuat berbagai proyek DIY, serta berkebun.