June 21, 2025
Gender & Sexuality Issues Lifestyle

Cewek Seblak, Cowok Kopi: Benarkah Makanan Punya Gender? 

Perempuan kerap dikaitkan dengan rasa manis atau pedas, laki-laki dengan rasa pahit. Padahal, selera makan itu personal, tak ada hubungannya dengan gender.

  • May 26, 2025
  • 5 min read
  • 701 Views
Cewek Seblak, Cowok Kopi: Benarkah Makanan Punya Gender? 

Gita punya satu makanan andalan yang tak pernah gagal membuatnya bahagia: Seblak. Menurut mahasiswa tersebut, seblak punya aroma khas dari bawang putih, kencur, dan cabai yang langsung menyergap hidung. 

“Campuran bumbunya itu unik banget, tajam banget baunya. Hidung langsung tahu itu seblak,” katanya. 

Di antara teman-teman perempuan, kebiasaan makan seblak seperti ini lumrah. Namun ketika Gita mengajak teman laki-lakinya nyeblak bareng—istilah gaul untuk makan seblak—reaksinya langsung berbeda. 

Emangnya gue laki apaan? Laki kok makan seblak,” begitu jawaban yang dia terima. 

Reaksi seperti ini dialami juga Sahril, editor video dari salah satu jenama lokal. Ia sering nongkrong bareng teman-temannya. Ajak ngopi? Langsung disambut, tapi giliran ajak makan seblak? Temannya mundur. 

“Yah padahal cuma makan aja, masa dinilai dari laki atau enggak sih kalau cuma makan seblak?” katanya kepada Magdalene

Baca Juga : Makanan dan Stereotip Gender: Apa Salahnya Laki-laki Tak Minum Kopi? 

Stereotip Makanan Manis dan Pahit Makin Mengakar 

Stereotip seperti ini ternyata bukan hal sepele. Di banyak tempat, perempuan diasosiasikan dengan makanan manis atau pedas seperti seblak dan rujak. Sementara laki-laki dianggap lebih maskulin jika menyukai makanan pahit seperti kopi hitam atau bir. Padahal preferensi makan sangat personal dan tidak ada hubungannya dengan identitas gender

Paul Naumann, dosen di Universitas Yale, dalam tulisannya “Steak for the Gentleman, Salad for the Lady: How Foods Came to Be Gendered” menyebutkan, genderisasi makanan mulai terlihat sejak abad ke-18. Saat itu, perempuan yang bekerja di ruang publik lebih sering mengonsumsi salad, yoghurt, dan kudapan manis. Karena seringnya citra ini ditampilkan di ruang publik, orang mulai melihat makanan-makanan tersebut sebagai “makanan perempuan”. 

Laki-laki yang makan salad atau yoghurt dianggap menyalahi kodrat. Lama-lama, citra ini terinstitusionalisasi melalui iklan, saran diet, hingga majalah gaya hidup sejak akhir abad ke-19. Maka lahirlah pembeda selera makanan berdasarkan gender: daging untuk laki-laki, salad untuk perempuan. 

Baca Juga : Perkawinan Kopi dan Maskulinitas: Dari Simbol Jantan Hingga Citra Intelektual 

Makanan Jadi Alat Kuasa dan Pelabelan Gender 

Komunitas Perempuan Mahardhika menyebut tren ini berbahaya. Bukan hanya mempersempit pilihan, tapi juga melanggengkan stereotip perempuan sebagai makhluk yang harus cantik, manis, dan lemah lembut. 

Ajeng Anggraini, Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika mengatakan, “Ketika makanan cantik dan manis diidentikkan dengan perempuan, bahkan seblak pedas pun disebut seperti mulut perempuan karena cerewet, itu menunjukkan bagaimana stereotip dikukuhkan dari makanan.” 

Menurut Ajeng, ini bukan perkara selera semata. Ketika perempuan dianggap harus menyukai makanan tertentu dan laki-laki juga begitu, maka makanan menjadi alat kuasa untuk membentuk perilaku sosial. 

Contohnya iklan yang menampilkan ibu sebagai penyaji teh, kopi, atau sarapan, menggambarkan bahwa peran domestik hanya milik perempuan. 

“Padahal laki-laki juga bisa, tapi karena norma patriarki, iklan tetap mereproduksi peran itu, yang akhirnya melegitimasi pembagian peran berdasarkan gender,” kata Ajeng pada Magdalene

Dalam jurnal “Tren Usaha Seblak Prasmanan Pada Era Kuliner Modern Di Kota Bengkulu”, akademisi Agustinah dari Universitas Dehasen Bengkulu mencatat, mayoritas pelanggan seblak di Kedai Kito adalah perempuan. Namun, tak berarti laki-laki tak suka seblak. Mereka hanya enggan karena takut dinilai tidak maskulin. 

Irwan Suswandi, akademisi Universitas Ahmad Dahlan, dalam kajiannya bertajuk “Gender dalam Pelabelan Nama Kuliner Nusantara: Suatu Tinjauan Semiotik Studi Kasus: Kuliner di Kota Depok”, menyebut ada tiga kategori pelabelan gender dalam kuliner: Maskulin, feminin, dan netral. Sayangnya, pelabelan ini sering kali lahir dari budaya patriarki yang melihat makanan sebagai cerminan perilaku ideal laki-laki dan perempuan. 

“Ketika pelabelan makanan dimanfaatkan demi keuntungan ekonomi, yang rugi tetap perempuan. Karena mereka dikomodifikasi lagi sebagai target pasar, bukan individu dengan pilihan bebas,” tambah Ajeng. 

Baca Juga : Menelusuri Sejarah Kedai Kopi: Kenapa Dulu Perempuan Tidak Nongkrong di Kedai Kopi? 

Biologi, Budaya, dan Polarisasi Selera Makanan 

Penelitian dari Valerio Manippa dkk (University of Bari Aldo Moro, Italia) berjudul “Gender Differences in Food Choice: Effects of Superior Temporal Sulcus Stimulation” menunjukkan preferensi makanan laki-laki dan perempuan memang berbeda. Namun perbedaan itu dipengaruhi oleh kombinasi faktor biologis dan budaya. 

Laki-laki lebih suka makanan tinggi kalori seperti daging merah, karena bagian otaknya memberi penghargaan lebih besar terhadap makanan jenis ini. Ini pula yang membentuk maskulinitas lewat pilihan makanan: kuat, tahan banting, dan berenergi. 

Di sisi lain, studi dari Kristina T. Legget dkk. Dari University of Colorado Anschutz Medical Campus mencatat, perempuan cenderung memilih makanan sehat seperti sayuran, biji-bijian, dan buah. Motivasi mereka lebih besar untuk menjaga berat badan dan kesehatan secara umum. 

Namundi sinilah jebakannya. Karena perempuan terlalu sering diidentikkan dengan kesehatan dan kontrol tubuh, mereka juga lebih rentan terhadap tekanan sosial dan standar kecantikan yang menyiksa. 

Diskriminasi Gizi pada Perempuan lewat Tabu Makanan 

Bentuk lain dari diskriminasi terhadap perempuan juga hadir dalam bentuk tabu makanan. Dalam jurnal Tania Intan dari Universitas Padjadjaran, berjudul “Fenomena Tabu Makanan pada Perempuan Indonesia dalam Perspektif Antropologi Feminis”, dijelaskan banyak makanan dilarang untuk dikonsumsi perempuan hamil atau menyusui, seperti cumi, udang, telur bebek, jantung pisang, terong, hingga durian. 

Padahal secara medis, makanan-makanan itu justru bisa menjadi sumber gizi penting. Tapi karena diwariskan turun-temurun tanpa kajian ilmiah, larangan itu tetap dipercaya. Akibatnya, banyak perempuan mengalami kekurangan gizi saat masa kehamilan yang seharusnya justru menjadi momen penting dalam pemenuhan nutrisi. 

Makanan seharusnya menjadi hak, bukan batasan. Baik laki-laki, perempuan, maupun gender lainnya, berhak menikmati makanan apa pun tanpa takut dicap atau dilabeli. Sebab, ketika selera menjadi alat kontrol sosial, kita tak hanya mereduksi pilihan, tapi juga mempersempit kebebasan. Itu sesungguhnya lebih pahit daripada kopi hitam tanpa gula.  



#waveforequality
About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.