Resmi Ditutup, Bejing +30 Perkuat Komitmen Bangun Ekonomi Perawatan
Beijing Platform +30 ditutup dengan komitmen mengedepankan kebijakan responsif gender dalam membangun ekonomi perawatan. Meski begitu, sejumlah pihak menilai akar masalahnya belum ditangani serius.
Setidaknya ada dua dari enam komitmen berbagai negara di Asia dan Pasifik dalam mendorong agenda Beijing Platform untuk mencapai kesetaraan gender. Di antaranya berinvestasi pada kebijakan ekonomi perawatan dan mitigasi perubahan iklim terhadap perempuan.
Dalam penutupan Konferensi Tingkat Menteri Tinjau Beijing +30 di Bangkok (21/11), delegasi negara-negara Asia Pasifik sepakat mengedepankan kebijakan responsif gender untuk membangun ekonomi perawatan—isu yang belum mendapat perhatian khusus dalam pertemuan serupa lima tahun lalu.
Lin Yang, Wakil Sekretaris Eksekutif untuk Program di Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (UN ESCAP) mengatakan, investasi yang menyasar ekonomi perawatan dan penciptaan peluang kerja yang layak bagi perempuan sangat esensial. Tujuannya untuk menutup kesenjangan gender di lapangan kerja.
Baca juga: Apa itu COP29: Pendanaan Iklim dan Dampaknya buat Perempuan
“Pertemuan ini mewujudkan komitmen kuat akan aksi yang tegas untuk memperkuat sistem perawatan dari berbagai pemangku kepentingan dan mitra,” ujarnya dalam pidato penutupan konferensi yang berlangsung selama tiga hari tersebut.
Hal ini juga ditegaskan kembali oleh Christine Arab, Direktur Kawasan Asia dan Pasifik UN Women mengatakan dalam jumpa pers setelah penutupan konferensi.
“Beberapa pesan-pesan kuat dari kegiatan ini yang kita tidak lihat pada (Beijing +25) 2020 adalah seputar dampak dari perubahan iklim dan ekonomi perawatan, baik sebagai faktor pendorong kepemimpinan perempuan – karena perempuan dominan dalam sektor ini – mau pun sebagai game changer,” ujar Arab.
Ia menambahkan kerja perawatan yang dibebankan ke perempuan sering kali menjadi faktor utama yang menghambat pemberdayaan ekonomi perempuan serta partisipasi mereka dalam mengakses posisi kepemimpinan.
Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing (BPfA), atau yang leih dikenal sebagai Beijing Platform, ditandatangani oleh 189 negara pada 1995 untuk mendorong percepatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan secara global. Konferensi di Bangkok ini diadakan untuk meninjau capaian dan tantangan di kawasan Asia dan Pasifik sebelum perayaan global ke-30 pada Maret 2025 di New York. Konferensi dihadiri oleh sekitar 1.200 peserta dari 47 negara, termasuk 400 perwakilan masyarakat sipil dan kelompok orang muda.
“Keanggotaan kita luar biasa beragam. Ada negara maju, negara yang bukan dari kawasan seperti AS, Inggris, Belanda dan Perancis. Ada negara berkembang dan negara berpendapatan menengah, bahkan negara yang masih sangat belum terbangun. Perspektif yang mereka bawa sangat beragam,” tutur Srinavas Tata, Direktur Pembangunan Sosial di Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (UN ESCAP).
“Namun ada benang merah yang muncul, yaitu angka partisipasi kerja perempuan masih lebih rendah dari global. Bahkan di beberapa kawasan masih sangat rendah. Kenapa? Karena sebagian besar perempuan sibuk melakukan kerja domestik tak berbayar.”
Kawasan ini, imbuhnya, memiliki kenaikan angka penuaan tercepat di dunia. Pada akhirnya beban perawatan selalu dibebankan ke perempuan. Karena itu, memprioritaskan kebijakan yang menjawab tuntutan ekonomi perawatan dapat meningkatkan partisipasi kerja perempuan, dan memberikan dampak positif pada ekonomi.
Tiga isu lainnya yang menjadi prioritas ke depan adalah: Akselerasi keterwakilan perempuan dalam pembuatan keputusan di pemerintahan dan lembaga negara, dan memosisikan perempuan dalam pengembangan ekonomi hijau.
Negara-negara anggota juga berkomitmen membangun rencana aksi nasional untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, menjembatani kesenjangan gender dalam teknologi dan sektor digital, serta meningkatkan akuntabilitas terhadap perempuan dan anak perempuan dalam aksi perdamaian, keamanan dan kemanusiaan.
Baca Juga: Kesetaraaan Gender Jadi Fokus Pembangunan RI, tapi Isu ‘Sensitif’ Terlewatkan
Kritik Organisasi Masyarakat Sipil
Namun perwakilan organisasi masyarakat sipil (CSO) dan anak muda menilai masih banyak kekurangan dalam konferensi itu. Mereka khawatir akan meningkatnya ketimpangan, semakin menguatnya militerisasi dan konflik, melebarnya kesenjangan, dan semakin parahnya krisis iklim.
Misun Woo, salah satu perwakilan Panitia Acara Organisasi Masyarakat Sipil Beijing +30 Asia Pasifik bilang, beberapa permasalahan yang ada dalam Beijing Platform pada 30 tahun lalu, seperti dampak militerisasi terhadap perempuan dan anak, ketidakadilan ekonomi serta keterkaitan antara patriarki, konsumsi yang tidak berkelanjutan dengan krisis iklim, dan bentuk-bentuk sistemis baru dari kolonialisme tidak dibahas.
“Kawasan kita menghadapi berbagai krisis – politik, iklim, ekonomi, dan sosial budaya – yang semuanya menghambat perempuan dan anak perempuan untuk benar-benar mendapatkan hak dasar mereka. Jika pemerintah tidak menyelesaikan akar permasalahan dari krisis ini dan mengatasi ketimpangan sistemik yang terus dihadapi perempuan dan anak perempuan, maka keadilan gender akan tetap tidak terjangkau,” Misun mengatakan.
Absennya isu penting lainnya seperti hak dan kesehatan seksual dan reproduksi serta keragaman gender dan seksualitas (LGBTI) dalam pembahasan juga dikritisi oleh komunitas CSO dalam pertemuan ini.
Srinidhi Raghavan, salah satu fasilitator Forum Feminis Muda dalam konferensi ini mengungkapkan, mencapai kesetaraan gender dan mendorong hak asasi perempuan membutuhkan pendekatan yang inklusif dan interseksional.
“Kami butuh menciptakan sistem yang responsif, inklusif, mudah diakses, dan adil bagi perempuan, anak perempuan dan kelompok LGBTQIAP+ muda yang menghadapi berbagai bentuk penindasan yang terstruktur. Misalnya, penindasan berbasis gender, kasta, masyarakat adat, agama dan disabilitas.”
“Dengan situasi yang semakin memburuk bagi perempuan dan anak perempuan di kawasan ini, negara harus mengambil tindakan yang tegas, konkret, cepat, dan dengan akuntabilitas,” tambahnya.
Beberapa negara termasuk Indonesia memang tampak menghindari isu-isu yang dianggap sensitif tersebut. Bahkan dalam pernyataan negaranya perwakilan pemerintah Iran (21/11) secara spesifik menolak penggunaan istilah dan bahasa yang “kontroversial dan non-konsensus” dalam pembuatan dokumen rekomendasi bersama. Dalihnya, itu dianggap mengalihkan fokus dari tujuan utama.
Baca juga: Dorong Kebijakan Inklusif, Kita Butuh Pemimpin Perempuan dengan Disabilitas
Istilah-istilah ini termasuk hak-hak dan kesehatan seksual dan reproduksi, pendidikan seksualitas yang komprehensif, kebijakan keluarga berencana, keragaman orientasi seksual dan identitas gender, responsif gender, perspektif gender, dan bentuk persilangan dari kekerasan berbasis gender.
Merespons ini, Christine Arab mengingatkan proses mendorong kesetaraan gender tidak pernah lurus, dan selalu berkelok-kelok. Sering kali meskipun bahasa berbeda tetapi semangatnya sama, katanya.
“Jika kita memaksakan penggunaan istilah, mungkin sekitar 1/3 dari negara-negara anggota akan gamang. Namun jika kita melihat benar-benar kebijakan yang mereka coba terapkan, sebenarnya mereka sedang melakukan hal yang sama,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Istilah memang penting. Mereka bisa berdampak baik, tapi juga bisa menjadi penghambat dalam diskusi normatif.”