Culture Prose & Poem

Empat Babak Darah: Hidup di Antara Luka dan Takdir

Kalau lahir dan mati adalah perihal darah, maka aku hanyalah peran di antaranya. Sebuah cerita tentang hidup, luka, dan takdir yang tak terhindarkan.

Avatar
  • February 13, 2025
  • 7 min read
  • 1038 Views
Empat Babak Darah: Hidup di Antara Luka dan Takdir

BABAK I

Aku berdiri di sudut dekat pintu, melihat seorang perempuan mengerang tak sudah-sudah. Hidung dan mulutnya berusaha keras meraup udara, tangan lemasnya digenggam seorang laki-laki, dua kakinya terentang ke sisi kanan dan kiri. Ibuku ada di antara kaki perempuan itu, memberi perintah. Napas perempuan itu memelan perlahan, bibirnya bergetar, dan air matanya bercucuran. Aku tercekat, ini momen yang begitu mendebarkan. Itu pertama kalinya aku ikut ibuku membantu persalinan.

Sejam kemudian, erangan itu melemah, terganti tangisan bayi yang lantang, memecah tegang yang menghantui mereka sejak semalam. Bayi perempuan. Ibuku menggendong makhluk kecil bersimbah darah itu dan membungkusnya dengan jarik. Ia masih terus meraung-meraung. Ibunya pucat pasi, rambutnya rebah di sekeliling wajah, dadanya masih naik turun tak karuan. Sebuah kehidupan dimulai hari itu, dari rahimnya yang kental akan cairan kehidupan.

 

Aku memandang jabang bayi itu dari kejauhan. Apakah aku juga semerah itu ketika lahir 24 tahun lalu? Apakah Ibu sama kacaunya seperti perempuan itu? Melihatnya, aku seperti melihat diriku sendiri. Bertahun kemudian, kupelajari bahwa kami sama-sama memulai hidup dengan jauh lebih merah. Darah yang bertumbuh dari balik rahim ibu kami menjelma janin, lalu lahir satu manusia lagi. Kami menyesap air susu, ekstraksi darah berisi makanan dari payudara ibu di kanan dan kiri. Dari awal, kami telah begitu merah dan tiba di dunia dengan selimut darah. Kedua bayi perempuan itu sama-sama tak pernah tahu, pertemuannya dengan darah ternyata tak berakhir di situ.

Baca juga: Prasangka: Sebuah Cerita Pendek

BABAK II

Suatu hari, kakak kelasku bercerita tentang hantu berambut panjang yang menjilati bekas pembalut kami. Hati-hati, katanya pelan. Dia ada di kamar mandi umum, jemuran, dan lorong toilet sekolah. Kami, santri-santri baru, diperingatkan untuk membilas darah menstruasi bersih-bersih, dari pembalut maupun celana dalam, agar tak ada sisa darah yang bisa dihisap hantu perempuan bermuka rata.

Paginya, guruku memperingatkan soal septic tank yang tersumbat karena pembalut bekas menghalangi pipa pembuangan. Mata kami mengaduk seisi musala yang seketika menjadi tegang. Siapa yang berani melakukan dosa itu? Pembalut pula, menjijikkan. Guruku melarang siapa pun untuk melakukannya lagi karena akan merugikan sesama.

Aku diingatkan lagi soal kisah hantu berambut panjang, bertubuh putih, dengan lidah yang lincah menjejaki sisa darah dalam pembalut. Semua orang mengutuknya dengan serapah maupun ayat kursi. Apakah membuang sampah pembalut di jamban akan menghilangkan jejak darah? Jika semua pembalut lenyap tenggelam di balik pipa pembuangan, bukankah ia tak akan muncul lagi? Tak ada lagi darah yang berceceran yang bisa dijilati hantu. Mungkin pada akhirnya kedua peringatan tentang haram darah tersebut membentuk satu lingkaran penuh; tentang kutukan yang mencumbu petaka lain.

Aku tak pernah mendapati cerita soal hantu perempuan itu sampai aku lulus sekolah dan hidup di sisi pulau yang lain. Sesungguhnya hantu itu tak jauh berbeda denganku. Ia hanya mendamba hidup yang lama tercerabut dari jiwanya. Menenggak darah sebanyak-banyaknya, berusaha mewarnai lagi wajahnya yang pucat. Meski begitu, mereka tetap bersikeras bahwa darah harus dihapus bersih agar tak dijilati hantu. Darah harus kujaga rapat-rapat agar tak menciprat ke jalanan kota—karena perempuan yang meninggalkan jejak bisa berakhir jadi berita kematian.

Baca juga: Api di Musim Semi

BABAK III

Waktu aku baru tiba di rantau, pamanku memberi peringatan keras tentang jam malam. Aku tinggal di rumahnya sebab orang tuaku tidak mengizinkan aku menyewa kamar sendiri. Mereka bilang, ibu kota tak pernah ramah untuk perempuan. Perempuan harus tahu waktu dan waspada. Ada sepasang mata yang siap mencipratkan darah perempuan yang gentayangan tak tahu aturan. Usiaku 22 dan aku harus tiba di rumah pukul delapan malam.

Aku melanggar dua tiga kali. Meminta maaf. Lalu melanggar lagi sepuluh kali. Meminta maaf lagi, sampai Ibu-Bapakku turun tangan menasihati. Nduk, hati-hati di kota metropolitan, pulangnya jangan malam-malam. Nasihat itu kubiarkan menguap, membawaku terus berjalan lebih jauh ke dalam gelap. Begitu terus sampai akhirnya jam malamku tercabut dengan sendirinya untuk anak perempuan yang telah menjelma dewasa lagi keras kepala. Meski begitu, sesekali mereka memperingati aku untuk tetap berhati-hati sebab perempuan selalu berdiri di ambang kematian.

Tak kurang dari seminggu, kudengar bahwa di dunia, perempuan dibunuh setiap 10 menit sekali. Perempuan satu dibunuh di sungai. Darah membeku di bawah kulit perempuan yang dipukul suaminya. Polisi memukul ibunya sendiri dengan tabung gas elpiji. Kuketik kata kunci “perempuan mati” di mesin pencarian dan kudapati kurang dari 23 jam yang lalu tubuh perempuan lain dicekik dan disembunyikan setahun penuh di lubang pembuangan air. Ibuku mengirim tautan-tautan berita ke grup WhatsApp keluarga. Keluargaku menitipkan pesan seribu kali untuk berhati-hati apabila aku tak ingin menemuinya dengan kakiku sendiri.

Pertemuan ketigaku dengan darah didahului perempuan lain. Darah mereka tumpah di atas lantai rumah, trotoar, selokan, dan rerumputan. Lelehan merah mengalir menjadi satu kolam. Dari leher juga vagina, menjadi kenyataan bersisi-sisian. Perempuan tak berhenti berkabung dalam sebuah liang merah yang sesak dan memenjara. Sementara itu, nun jauh di perantauan, darahku dididih rasa takut dan marah yang silih berganti.

Baca juga: Perempuan yang Melahirkan Matahari

BABAK IV

Suara murattal memukul langit-langit desa kami. Getar itu melintasi tenda biru yang terbujur menutupi seluruh jalanan kampung, mengetuk kabar duka ke setiap pintu. Aku duduk kaku di antara mbak-mbak dan ibu-ibu desa yang mondar-mandir membawa teh dan kue. Aku berusaha memproses semua kejadian yang berkelebat di kepala. Mas Gun menjemputku dari asrama, halaman rumahku dipayungi tenda, orang lalu-lalang, ibuku tekukur di kursi ruang tamu. Mbah Putri meninggal hari itu.

Dada dan perutku terasa diaduk-aduk. Kesedihan meluap dari palungnya yang berontak, meremas seisi perutku erat-erat. Aku menahan nyeri, bingung dengan rasa sakit dan sesak yang hadir silih berganti. Rasa pindang goreng, lotek kangkung, dan opor entok menyeruak ke langit-langit lidah. Mbah Putri selalu memasak ketiga menu itu setiap Lebaran. Hari ini ia diam membeku di atas kasur ketika semua orang berkumpul di sisinya. Wajahku memutih dan perutku semakin melilit.

Lantas, kurasakan dingin menjalari selangkangan. Aku bangkit bergegas ke kamar mandi, dan benarlah, darah merah telah membanjiri celana dalamku. Bercak itu membentuk lingkaran merah di atas kain katun, dengan gumpal kehitaman dari dinding rahim yang telah luruh. Tubuhku seperti mengkhianati dirinya sendiri. Rahim yang mengelupas itu merobohkan perut, merontokkan punggung, memukul payudara, bahkan menyambangi kepala yang tak henti bergelombang. Aku menghadapi kematian Mbah Putri sekaligus menapakinya dengan kakiku sendiri.

Air mata jatuh satu-satu di atas pipiku. Rasa sedih dan sakit berlipat ganda. Mbah Putri telah pergi dan hari itu, bakal hidup dalam tubuhku ikut memberontak dari indungnya sendiri. Mereka menuntut lepas bahkan di hari yang begitu menyakitkan. Mereka semua memaksa untuk menjejak bumi, merayakan kebebasan dari tubuh perempuan. Nanar kutatap darah yang perlahan meleleh di antara kedua paha, aku tak sanggup berjalan. Saat itu aku sadar, aku tidak pernah sempurna hidup atau mati. Aku berkubang di liang darah dan hidup di antara keduanya. Mereka adalah aku dalam bentuk yang lain. Yang bebal, marah, bebas, dan merah.

Tapi aku tak kurang keras kepala. Aku ingin merebut merah yang memilih pergi. Ku penjara lagi mereka dalam tubuhku dengan ratus riasan. Kami saudara tiri yang hidup berdampingan di tubuh ini—aku tahu cara untuk membebat kakinya agar tak pergi jauh setiap mereka berusaha melarikan diri. Kutarik mereka kembali dan kuledakkan darah di bawah kulitku, semburatnya mewarnai merah kuku, bibir, rambut, dan pipiku. Sebab merah membuat perempuan jelita. Merah membawa kembali hidup ke wajah perempuan yang diperas darahnya oleh siklus datang bulan.

Baca juga: Bukan Perawan Maria – Sebuah Cerita Pendek

Aku tak ubahnya hantu perempuan pengisap pembalut bekas. Aku mencari merah untuk memelihara hidup yang tergelincir dari jari-jariku. Lidahku menjelajah merah dengan murka, sebab aku menolak mati meski digentayangi tubuh maupun dunia yang kuhidupi. Merah yang kucuri dari kotak riasan ini adalah caraku menyambung nyawa. Dua kematian di tangan kanan dan kiri, dan aku masih memilih untuk hidup lagi.

Jika hidup dan mati adalah perihal darah, aku di antara keduanya. Aku membawa dan menjadi lebur dengannya setiap hari. Jauh kami melanglang buana mengikat takdir. Selamanya berjalin satu sama lain. Kami tak akan bebas dari mati dan hidup yang bernapas di tengkuk kami. Perempuan tidak pernah pergi dari pusaran itu, hidup bersisi-sisian, menjadi malaikat maut sekaligus gerbang kelahiran. Begitu dekat perempuan akan hidup dan mati, begitu erat persaudaraan kami dengan darah. Aku tak akan pernah bebas dari rasa sakit. Aku hanya bisa menggamit jemarinya yang licin dan anyir, menapaki jalan gelap berdua dalam bayang-bayang bahaya.

Hasna Zahratil ada dalam kembara tak berujung untuk film dan buku dari seluruh dunia.



#waveforequality
Avatar
About Author

Hasna Zahratil

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *