Epistemisida: Saat Israel Bakar Buku, Bom Sekolah, dan Hapus Sejarah Palestina
Kejahatan Israel tak cuma membunuh warga sipil, tapi juga menghancurkan ilmu pengetahuan di Palestina.
“Mereka menargetkan kami. Mereka menghancurkan institusi pendidikan yang merupakan aset kami. Saya telah menjalani hari-hari terbaik dalam hidup saya di sini, dan kini semuanya hilang hanya dalam hitungan menit,” ungkap jurnalis foto lepas asal Gaza Motaz dalam unggahan Instagram Story-nya, (6/11). Dalam postingan tersebut, ia menggambarkan dampak kehancuran Universitas Al-Azhar Gaza kepada pengikutnya.
Curahan hati Motaz relatif valid. Mengingat militer Israel memang menargetkan penghancuran institusi pendidikan di Palestina, di samping tetap mengebom pemukiman warga, rumah sakit, dan kamp pengungsi. Dalam keterangan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset Ilmiah Palestina (MHESR) di Facebook, sejak 7 Oktober, terdapat 439 warga Palestina dari komunitas universitas yang terbunuh dan 11 gedung pendidikan tinggi rusak seluruhnya atau sebagian.
Sebanyak 439 orang yang tewas termasuk 427 pelajar dan 12 akademisi atau karyawan, 85 persen di antaranya berada di Jalur Gaza. Sembilan dari 11 gedung pendidikan tinggi rusak di Gaza dan dua di Tepi Barat.
“Seluruh proses pendidikan di 19 institusi pendidikan tinggi di Jalur Gaza terganggu,” kata kementerian tersebut, yang menyebabkan 88.000 siswa kehilangan pendidikan. Pendidikan tatap muka telah terganggu di 34 institusi pendidikan tinggi di Tepi Barat, dan berdampak pada 138.800 siswa.
Selain universitas, serangan itu juga telah melumpuhkan beberapa sekolah di Palestina. Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB mengatakan, lebih dari 625.000 anak di Gaza kehilangan pendidikan selama 12 hari, dan 206 sekolah telah rusak. Sebanyak 29 di antaranya adalah lembaga yang dikelola The United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees (UNRWA).
UNRWA dikutip dari laman PBB melaporkan per 18 Oktober 2023, 29 anggota stafnya telah terbunuh di Gaza sejak 7 Oktober dan setengah dari mereka adalah guru. Di Tepi Barat yang diduduki, eskalasi ini juga mengakibatkan pembatasan akses terhadap pendidikan. OCHA mengatakan semua sekolah di wilayah tersebut ditutup, sehingga berdampak pada sekitar 782.000 siswa. Lebih dari 230 sekolah yang menampung sekitar 50.000 siswa pun belum dibuka kembali.
Baca Juga: Ulasan ‘Minor Detail’: Kami Orang Palestina Dianggap Setengah Binatang
Mengenal Epistemisida
Muhannad Ayyash, Profesor Sosiologi di Mount Royal University bilang pada Al Jazeera, penargetan spesifik terhadap institusi pendidikan adalah cara Israel untuk menghapus eksistensi Palestina dari sejarah peradaban. Itu adalah contoh nyata dari epistemisida.
Dalam penelitian Decolonization of knowledge, epistemicide, participatory research and higher education (2017) dijelaskan, epistemisida diperkenalkan oleh sosiolog Portugis Boaventura de Sousa Santos pada 2007. Ini mengacu pada fenomena penghancuran sistem pengetahuan dan penghapusan sumber-sumber pengetahuan tradisional kelompok masyarakat.
Penghancuran ini bersifat sistemik dan dikategorikan sebagai genosida yang bertujuan menghapus pengetahuan non-Eurosentris. Dengan definisi itu, epistemisida tidak bisa dipisahkan dari kolonialisme, atau praktik pengembangan kekuasaan yang menitikberatkan pada penghapusan masyarakat.
Epistemisida bisa ditelusuri lewat tiga peristiwa penting pada abad ke-16. Pertama, penaklukan Al-Andalus dan pengusiran umat Islam dan Yahudi dari Eropa. Kedua, penaklukan penduduk asli benua Amerika, yang dimulai oleh Spanyol, dipimpin oleh Perancis dan Inggris, masih berlangsung hingga saat ini. Ketiga, terciptanya perdagangan budak yang mengakibatkan jutaan orang terbunuh di Afrika dan dehumanisasi total orang Afrika di Amerika.
Ketiga epistemisida tersebut bersifat militer dan juga ideologis/epistemologis. Sebagai contoh, pada masa kejayaan Kerajaan Al-Andalus di Eropa, Kota Cordoba memiliki perpustakaan sebanyak 500.000 buku. Spanyol membakar perpustakaan Cordoba dan perpustakaan di tempat lain. Mereka juga menghancurkan sebagian besar naskah kuno kerajaan Maya, Inca, dan Aztec.
Budak Afrika digambarkan sebagai bukan manusia dan tidak mampu berpikir seperti orang Barat. Mereka direndahkan dan dibungkam kedaulatan manusianya. Akibatnya, monopoli pengetahuan Barat mengambil alih institusi pendidikan tinggi, sehingga tidak ada lagi wacana intelektual tradisional.
Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel
Penghancuran Ilmu Pengetahuan Palestina
Mosab Abu Toha, penyair Palestina dalam tulisannya yang terbit dalam buku Light in Gaza: Writings Born of Fire (2022) menuliskan, pendudukan Israel dilakukan dengan sengaja menghilangkan budaya Palestina lewat penghancuran perpustakaan dan pembatasan buku yang masuk ke Gaza.
Perpustakaan terbesar di Gaza, Perpustakaan Kota Bani Suheila yang memiliki empat puluh ribu buku misalnya, telah ditutup untuk umum sejak 2008. Pemerintah kota mengambil alih gedung perpustakaan tersebut setelah dihancurkan dalam peristiwa invasi Israel yang dikenal Operasi Cast Lead pada 2008-2009. Lalu ada juga Perpustakaan Masyarakat Amal Al-Atta yang didirikan pada 2000 di utara Gaza. Pada 2007, perpustakaan tersebut dibakar dan selama agresi Israel pada 2014, perpustakaan tersebut hancur total.
Jauh sebelum 2000-an, tepatnya saat Nakba yang diklaim Israel sebagai momentum berdirinya bangsa mereka, penghancuran terhadap sistem pengetahuan Palestina sudah dilakukan Israel. Mereka menghancurkan perpustakaan bukan dengan mengebomnya tetapi dengan menjarah dan mengambil paksa seratus ribu buku dari perpustakaan milik Palestina.
Terangkum dalam film berjudul The Great Book Robery (2012), pada tahun itu, tentara Israel menyita 30.000 buku di Yerusalem sekaligus melakukan pembersihan wilayah tersebut dari warga Palestina. Hal ini kemudian disusul oleh penjarahan dan pengambilan paksa sebanyak 70.000 buku dari perpustakaan swasta Palestina di seluruh negeri.
Selain penghancuran perpustakaan, Israel juga secara sistematis mematikan sistem ilmu pengetahuan Palestina dengan pembatasan dan pelarangan buku. Di masa lalu, buku-buku diselundupkan melalui terowongan antara Gaza dan Mesir. Saat ini, ketika sebagian besar terowongan hancur dan blokade, buku-buku hanya sampai ke Gaza dalam jumlah kecil baik melalui pos atau dibawa oleh wisatawan dan warga Palestina yang kembali atau berkunjung dari luar negeri.
Ini tercermin dalam pengalaman Mosab sendiri. Pada April 2016, saat Professor Noam Chomsky, intelektual ternama dari Amerika Serikat mengirimkan selusin bukunya kepada Mosab, otoritas Israel menghentikan semua pengiriman surat ke Gaza.
Mereka berdalih kelompok bersenjata mendapatkan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk tujuan militer lewat jalur pengiriman parsel/paket ke Gaza. Buku-buku Profesor Chomsky pun disimpan oleh otoritas Israel dari Juli 2016 hingga Januari 2017. Enam bulan berlalu sebelum buku-buku tersebut tiba di Gaza, tetapi saat tiba pun beberapa kotak buku tidak pernah sampai.
Tak hanya itu, sering kali agen perusahaan pengiriman surat di Israel atau Tepi Barat meneleponnya untuk memberi tahu Mosab kalau mereka tidak dapat mengirimkan paket ke Gaza. Ia perlu mengirim seseorang untuk mengambil paket tersebut di Tepi Barat. Ia juga perlu menyiapkan biaya yang kalau dirupiahkan sebesar belasan juta rupiah untuk menebus paket berisi buku-buku itu. Kesulitannya untuk mendapat buku lalu diperparah oleh kebijakan pembatasan pergerakan ketat terhadap warga Palestina.
Jaringan pos pemeriksaan militer, penghalang jalan, pagar dan struktur lainnya mengontrol pergerakan warga Palestina di dalam Wilayah Pendudukan Palestina (OPT), dan membatasi perjalanan mereka ke Israel atau ke luar negeri. Alhasil, Mosab tak bisa mengambil buku-bukunya itu. Bukunya musah, dihanguskan sesuai dengan kebijakan subkontraktor.
Selain penghancuran dan pembatasan masuknya buku, epistemisida Israel juga dilakukan dengan melarang berbagai judul buku tertentu yang masuk ke Gaza. Selama puluhan dekade, militer Israel memiliki daftar pelarangan buku yang umumnya punya tema dengan sama, yaitu buku-buku dengan tema penindasan dan mimpi buruk dunia. Judul-judul seperti karya George Orwell 1984 dan novel karya Franz Kafka contohnya, masuk dalam 60 daftar buku terlarang, yang mencakup lebih dari 1.600 judul.
Ketika hal ini diketahui publik di pers internasional, daftar tersebut direvisi yang nyatanya hanya untuk menghasilkan daftar induk baru yang terdiri dari 1.002 judul yang disensor. Dalam beberapa tahun, sekitar 600 judul tambahan disertakan. Daftar tersebut tidak lagi memuat karya-karya sastra dunia yang terkenal, tetapi mencakup setiap karya yang mengungkapkan atau menggugah perasaan nasional Palestina. Kata Palestina di judulnya saja tidak diperbolehkan.
Hal terakhir yang tak kalah penting dari epistemisida Israel adalah penghancuran institusi pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Adalah miskonsepsi besar jika meyakini, penargetan khusus universitas-universitas Palestina baru dilakukan pasca-7 Oktober. Dikutip dalam penelitian Protecting higher education from attack in the Gaza Strip (2021), selama Operasi Cast Lead tiga perguruan tinggi hancur total, enam gedung universitas rata dengan tanah, dan 16 rusak.
Islamic University of Gaza paling terkena dampaknya dengan enam serangan udara terpisah Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang menghancurkan tiga perguruan tinggi dan merusak lebih dari 75 laboratorium. Selain itu, Universitas Al Aqsa mengalami kehancuran fasilitas yang sedang dibangun dan kerusakan lainnya. Hal yang sama juga dialami Universitas Al Azhar.
Lalu pada tanggal 14 November 2012, IDF meluncurkan Operasi Pilar Pertahanan dengan serangan udara yang merusak tujuh perguruan tinggi selama perang delapan hari. Yang lebih merusak adalah Operation Protective Edge yang diluncurkan pada tanggal 8 Juli 2014. Islamic University of Gaza kembali menjadi sasaran, bersama dengan perguruan tinggi lainnya. Fakultas Pertanian Universitas Al-Azhar menjadi sasaran langsung. Universitas Al Aqsa mengalami kerusakan pada beberapa bangunan termasuk kantor pusatnya dan University College of Applied Sciences, lembaga teknis terbesar Gaza dibombardir.
Baca Juga: 5 Buku tentang Palestina yang Harus Kamu Baca
Penyerangan beruntun terhadap institusi pendidikan menurut Refaat Alareer, penulis Palestina dalam tulisannya yang terbit dalam buku Light in Gaza: Writings Born of Fire terjadi lantaran ilmu pengetahuan yang dimiliki Palestina merupakan musuh terbesar Israel. Ilmu pengetahuan memproduksi kesadaran bagi warga Palestina untuk melawan pendudukan dan membangun kehidupan mereka.
Universitas-universitas di Gaza sangat terlibat dalam politik Palestina sejak didirikan. Gerakan mahasiswa di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Mereka selalu berada di garis depan perjuangan Palestina. Melalui institusi pendidikan tinggi tersebut, Palestina menghasilkan semua budaya, kemajuan ilmiah, serta pemahaman sejarah dan sastra. Maka tujuan Israel menargetkan universitas-universitas adalah untuk menyerang pemikiran dan budaya intelektual Palestina, serta membatasi rakyat Palestina dan membuat mereka tidak mampu berkembang dan bangkit.
Apa yang dilakukan Israel terhadap sistem ilmu pengetahuan Palestina adalah kejahatan kemanusiaan. Mosab sendiri mengkhawatirkan agresi Israel yang sudah terjadi selama berdekade ini akan berdampak besar terhadap pendidikan, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, serta kemampuan membayangkan masa depan. Hal yang menurutnya jadi bahan bakar buat Palestina sendiri untuk bisa terus melawan pendudukan.
Karena itu, tak ada yang lebih penting bagi Palestina dari pembebasan itu sendiri. Pembebasan dari pendudukan adalah satu-satunya jalan keluar agar Palestina bisa kembali meraih kedaulatannya sebagai suatu bangsa dan membangun peradabannya.