Evaluasi RUU TPKS, Masih Tak Berpihak pada Penyandang Disabilitas
RUU TPKS yang tinggal memasuki babak terakhir, perlu dievaluasi. Pasalnya, penyandang disabilitas masih dipahami dengan keliru di sana.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masih belum menemukan titik terang. Salah satunya terkait dengan hak penyandang disabilitas yang dikesampingkan dalam regulasi ini.
Padahal, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menuliskan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2020, terdapat 77 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas. Adapun yang paling rentan mengalami kekerasan berasal dari kelompok disabilitas intelektual, dengan jumlah 45 persen.
Angka tersebut mengingatkan kita pada peristiwa yang dialami perempuan asal Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan pada Februari lalu. Melansir Tempo.co, korban yang merupakan penyandang disabilitas intelektual dan tuna daksa itu diperkosa tetangganya, dan hamil enam bulan.
“Kejadiannya nggak cuma sekali,” ujar Eldo Rado, pengacara korban. Menurut korban, peristiwa itu terjadi dalam beberapa hari secara berturut-turut, pada Juli 2021, ketika ia berada di rumah sendirian.
Hal serupa juga terjadi pada “Alya”, korban pemerkosaan yang memiliki keterbatasan mental. Mengutip artikel Magdalene berjudul “Nasib di Ujung Tanduk Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual”, perempuan yang saat itu berusia 19 tahun kerap berteriak, memanggil nama laki-laki yang menghamilinya.
Ketika dipanggil ibu korban, “Anwar”, si pelaku, lepas tangan dan menyalahkan Alya, yang dianggap senang keluyuran. Pelaku lalu memberikan amplop untuk modal jualan.
Berkaca pada dua kejadian itu, kita dapat menyimpulkan bagaimana kerentanan penyandang disabilitas kerap dimanfaatkan pelaku. Inilah yang membuat korban semakin tidak berdaya.
Sementara itu, belum ada perlindungan hukum yang mampu menjamin keselamatan mereka. Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, tertulis haknya yang seharusnya dilindungi dari kekerasan. Bahkan dalam RUU TPKS saja, perlakuannya salah kaprah.
Seperti dalam Pasal 25 ayat 5, yang menempatkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa sebagai penilaian personal. Atau Pasal 25 ayat 6, yang keliru memahami fungsi penilaian personal bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Mirisnya, selalu ada celah bagi mereka menjadi korban kekerasan seksual. Baik di lingkup tempat tinggal, ruang publik, hingga panti sekali pun yang seharusnya menjamin keselamatan mereka.
Baca Juga: Nasib Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual
Panti Bukan Zona Aman
Pada Juni 2020 lalu, perempuan dengan disabilitas mental di Kalideres, Jakarta Barat, diperkosa oleh tiga laki-laki yang merupakan petugas keamanan di sebuah rumah sakit.
Peristiwa itu hanya satu dari sekian tragedi, mencerminkan rumah sakit atau panti, yang seharusnya menjadi zona aman bagi penyandang disabilitas, justru merupakan sumber trauma.
Manager Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat, Dhede, menyetujui hal tersebut dalam Konferensi Pers “Catatan Kritis Jaringan Pembela Hak Perempuan (JPHK) Korban Kekerasan Seksual Atas Sidang Pembahasan RUU TPKS”, yang digelar virtual pada (5/4).
Menurut Dhede, RUU TPKS seharusnya berperan dalam pengawasan panti. Ia pun mengaku, paling banyak menerima laporan kekerasan seksual yang dilakukan petugas.
“Seharusnya kan panti jadi ruang aman untuk mereka. Namun, ini enggak bisa dicegah karena nggak ada tindakan, monitoring, pengawasan, atau mekanisme komplain ketika teman-teman disabilitas mental mendapatkan kekerasan seksual,” tuturnya.
Dalam hal ini, penyandang disabilitas memerlukan akomodasi yang layak. Baik dari sarana prasarana secara fisik, maupun layanan, kualitas, dan pemahaman, agar tidak menimbulkan diskriminasi bagi penyandang disabilitas. Karena dengan perlakuan yang diterima hingga saat ini, korban dengan disabilitas justru mengalami reviktimisasi.
“Bahkan sewaktu saya di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), beberapa kali menerima laporan dari anak, tapi nggak bisa melakukan apa-apa,” ceritanya.
Kenyataannya, panti berada di luar jangkauan organisasi disabilitas, sehingga mereka sulit melakukan pengecekan ataupun pengawasan. Pun, pengawasan yang dilakukan dinas sosial sifatnya masih administratif, membuat persoalan di dalamnya tak kasatmata dan membuka celah untuk kekerasan seksual.
“Mereka aja enggak punya hak memegang alat komunikasi, nggak boleh mengakses informasi, dan kunjungan dari luar itu sangat terbatas,” ungkap Dhede.
Baca Juga: Ribut-ribut Risma: Memihak Disabilitas Mulai dari Pemaksaan ‘Normal’
Pengambilan Keputusan RUU TPKS Ditunda
Sejauh ini, pembahasan dalam RUU TPKS meragukan kecakapan difabel mental dan intelektual. Yang mana berbahaya karena keterangan mereka sebagai saksi maupun korban, akan lebih mudah diragukan.
Misalnya Pasal 25 ayat 4 yang berbunyi, “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari keterangan saksi dan/ atau korban penyandang disabilitas, dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan, berdasarkan hati nurani dan kesesuaian dengan alat bukti lainnya, dengan memperhatikan kebutuhan khusus penyandang disabilitas.”
Baik penyandang disabilitas maupun non-disabilitas, sebenarnya punya hak yang sama, ketika berada dalam posisi saksi maupun korban kekerasan seksual. Namun sering kali, mereka didiskriminasi dan dipandang sebelah mata saat berperan memberikan keterangan/ kesaksian.
Padahal, setiap korban disabilitas memiliki kesaksian yang sama. “Makanya pengecualian dalam memberikan keterangan itu seharusnya dihapuskan,” terang Dhede.
Baca Juga: 6 Inisiatif Kelompok Disabilitas, Bukti Mereka Juga Berdaya
Perempuan berdomisili di Jakarta itu menjelaskan, ini bukan perkara persentase RUU tersebut mampu mewakili penyandang disabilitas, melainkan kecakapan hukum secara substansi.
Pun pada 30 Agustus 2021, koalisi penyandang disabilitas telah merespons pasal tersebut dengan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), agar dikritisi ulang. Namun, sampai draf terakhir masih belum terlihat perubahannya.
“Kami merasa dalam draf terakhir RUU TPKS itu banyak yang nggak terakomodasi, bahkan membahayakan penanganan kekerasan seksual di masa depan, jika kita melihat hambatan dan kebutuhan penyandang itu sendiri,” tegas Dhede.
Maka itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu kembali membuka ruang untuk mendengarkan representasi penyandang disabilitas, supaya mampu mengakomodasi suara dan kebutuhan mereka.
Melalui RUU TPKS, seharusnya keselamatan dan perlindungan penyandang disabilitas di panti dapat terjamin. Tujuannya, yakni agar memiliki pelayanan yang jelas, serta terintegrasi dengan unit pelayanan terpadu oleh dinas pemberdayaan perempuan.