Issues

Ribut-ribut Risma: Memihak Disabilitas Mulai dari Pemaksaan ‘Normal’

Penyandang disabilitas seperti Tuli berhak merasa nyaman dengan bahasa yang mereka gunakan dan tak sepantasnya dipaksa menjadi ‘normal’.

Avatar
  • December 6, 2021
  • 5 min read
  • 532 Views
Ribut-ribut Risma: Memihak Disabilitas Mulai dari Pemaksaan ‘Normal’

Siapa yang tidak terkejut saat mendengar Menteri Sosial (Mensos) kita memaksa seorang Tuli untuk berbicara dengan alasan agar terbiasa? Pada Hari Disabilitas Internasional pula. Rasanya mau marah, miris, dan sedih. Namun, memang itulah kenyataan yang kerap dihadapi oleh penyandang disabilitas di negara yang katanya berkemanusiaan yang adil dan beradab ini. 

Dari pernyataan Mensos itu, kata ‘beradab’, ‘adil’, dan ‘kemanusiaan’ itu entah pergi ke mana, atau sebenarnya memang tidak pernah terserap dalam urat nadi bangsa ini. Teman-teman disabilitas dirampas haknya, dijajah otoritasnya, dipaksa menyesuaikan diri, tapi dicari saat negara butuh untuk memperlihatkan wajah ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ itu di mata dunia. Entah siapa yang sedang disuapi dengan ilusi: Bangsa ini sendiri atau dunia. 

 

 

Banyak orang yang merasa seakan sudah menjadi Yang Termurah Hati kala menghadirkan disabilitas di suatu acara, memberi santunan, mengajak mereka berdialog, tapi hal-hal lain yang juga krusial untuk dilakukan kepada mereka tidak diindahkan. Lagu lama, tapi ternyata masih diputar juga di publik oleh Mensos. 

Baca juga: Gender dan Disabilitas: Dua Sisi Mata Uang yang Sama

Perampasan Bahasa Teman-teman Tuli dan Ruwi

Pada saat saya berada di satu forum dengan pendiri The Little Hijabi Homeschooling for Deaf Children, Ibu Galuh Sukmara, seorang Tuli yang gigih mengadvokasi hak-hak disabilitas, ia menyebutkan bahwa negara ini melakukan language deprivation atau perampasan bahasa. Persis seperti apa yang dilakukan Menteri Sosial: Memaksa teman tuli dan disabilitas rungu-wicara (ruwi) untuk berbicara dengan bahasa yang bukan bahasanya-bahasa isyarat. 

Sebagaimana bahasa lain yang ada di dunia, bahasa isyarat dan penggunanya juga perlu diakui dan dihargai. Seyogyanya kita menghargai siapa pun yang memakai bahasa yang nyaman mereka gunakan sesuai kemampuannya, bukan “merampas” bahasa orang lain.

Perampasan bahasa ini berdampak terhadap banyak sekali segregasi. Institusi pendidikan yang melakukan perampasan bahasa, tidak mengindahkan kebutuhan teman-teman Tuli, membuat mereka mengalami ketertinggalan akibat kesulitan mengikuti pelajaran. Di tengah kondisi macam ini, ada orang-orang yang beralasan, “Kan kalau sudah masuk sekolah umum harusnya sudah siap dengan risikonya”, mencitrakan sebuah ketiadaan kepekaan terhadap mereka yang berkebutuhan berbeda. 

Diskriminasi dalam ranah pendidikan ini berefek domino ke ranah ekonomi karena teman-teman Tuli menjadi kesulitan untuk mencari pekerjaan. Sampai sekarang, negara ini masih menempatkan strata pendidikan sebagai alat ukur utama perekrutan kerja alih-alih kemampuan kerja seseorang. Bayangkan rasanya jadi teman-teman Tuli: Sudah mendapat diskriminasi karena disabilitas yang dimiliki, masih lanjut harus menghadapi diskriminasi di institusi pendidikan dan ranah pekerjaan. Ruang gerak penyandang disabilitas begitu terbatas di negara yang menggadang-gadang perlindungan terhadap setiap warganya untuk hidup dan pekerjaan yang layak.

Betul, sekarang sudah ada perbaikan dari segi kebijakan yang awalnya charity based menjadi human right based. Namun, sejauh mana kebijakan itu diimplementasikan para pelaksananya? Sejauh mana kebijakan yang berbasis hak asasi manusia (HAM) itu diinjeksikan dalam setiap lini kehidupan masyarakat? 

Apakah kita semua, bahkan yang bekerja di tempat kerja dengan mengusung isu HAM, sudah paham betul kebutuhan-kebutuhan berbeda dari kondisi masyarakat yang beragam? Apakah kita sudah yakin bahwa kita tidak memaksakan ‘kenormalan’, berpihak pada penyandang disabilitas, dan tidak melakukan perampasan bahasa mereka? Saya rasa jawabannya belum, tapi saya percaya ini bisa diubah. 

Baca juga: Stigma dan Fasilitas Tak Memadai Hambat Pekerja dengan Disabilitas

Mengusahakan Perubahan

Setiap penyandang disabilitas punya kondisi dan kebutuhan yang berbeda-beda. Karenanya, pemenuhan kebutuhan mereka juga tergantung pada apakah kondisi tersebut sementara atau permanen. Memiliki sense untuk memperlakukan orang sesuai kebutuhannya, sesuai kondisinya, dan tidak bersikap mengasihani dalam pengambilan keputusan itu menjadi hal pertama yang bisa dilakukan untuk mengubah situasi menjadi lebih baik bagi penyandang disabilitas. 

Keberpihakan perlu menjadi lebih dari sekadar slogan. Ia butuh diterapkan dalam setiap hal, mulai dari sosial, ekonomi, budaya, sampai politik. Keberpihakan juga bukan sekadar pemenuhan jumlah kuota penyandang disabilitas di tempat kerja saja, melainkan juga menyiapkan sarana dan prasarana yang aman dan nyaman bagi mereka, serta berusaha memahami kondisinya. 

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menghindari usaha-usaha untuk turut melanggengkan pemaksaan seseorang menjadi ‘normal’. Pemaksaan ‘normal’ ini–selain membuat sebal tentu saja–sangat menggelitik. Apa sih, ‘normal’ itu? Apakah pengguna kursi roda harus dipaksa berjalan agar bisa dikatakan ‘normal’? Apakah orang dengan disabilitas mental harus bersikap selayaknya yang tidak? Apakah Tuli harus dapat berbicara? 

Tentu tidak ada yang salah dengan rehabilitasi bagi penyandang disabilitas jika itu diperlukan. Pasalnya, beberapa kondisi disabilitas memang membutuhkan rehabilitasi agar tidak menimbulkan efek yang menjadikan seseorang menyandang disabilitas berganda. Namun yang patut dicatat adalah rehabilitasi ini itu merupakan hak sepenuhnya dari penyandang disabilitas itu sendiri, bukan seharusnya terjadi lewat pemaksaan. 

Disabilitas memiliki hak untuk menggunakan bahasa sendiri dan hak untuk dipahami. Memiliki hak untuk merasa nyaman dan aman saat melakukan aktivitas apa pun dengan dukungan sarana dan prasarana. 

Saat kita ingin berkomunikasi dengan orang asing, kita akan berusaha mempelajari bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Kenapa kita tidak juga menambah kemampuan bahasa isyarat sehingga kita bisa komunikasi juga dengan asyik dan seru bersama teman-teman Tuli? Dengan melakukan ini, kita bisa menghindarkan diri dari usaha melakukan perampasan bahasa dan hak-hak disabilitas. 

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Mia Olivia

Mia Olivia adalah Project and Community Development Consultant, Ibu yang bahagia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *