Harga Rumah Melambung Tinggi, Apakah Tapera Bisa Jadi Solusi?
Pemerintah Indonesia berdalih ini jadi solusi, sementara mayoritas rakyat menilai Tapera cuma menambah penderitaan mereka saja.
Beberapa waktu terakhir, media sosial diramaikan dengan perdebatan tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sejak diterbitkan pada 20 Mei 2024, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera menuai pro dan kontra. Khususnya di kalangan pekerja dan dunia usaha karena dianggap memberatkan.
Tapera mengharuskan semua pekerja untuk ikut serta dengan iuran yang dihitung sebagai persentase dari gaji atau upah. Bagi pekerja yang berpendapatan di atas UMR, gaji mereka akan dipotong hingga 2,5 persen setiap bulan.
Dunia usaha pun tidak luput dari kewajiban ini, karena mereka harus menambahkan 0.5 persen dari gaji pekerja untuk iuran Tapera.
Ini kemudian memunculkan pertanyaan: Kebijakan ini sebenarnya untuk siapa? Dalam kajian yang dirilis Center of Economic and Law Studies (CELIOS), kami mendalami situasi perekonomian kini saat ini dan bagaimana potensi pengaruh pengelolaan dana Tapera ke masyarakat.
Baca juga: Apa itu Tapera yang Bikin Rakyat Resah?
Apa itu Tapera
Secara historis, Tapera berawal dari Tabungan Perumahan (Taperum) yang diperkenalkan pada 1993 dan yang dikhususkan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Saat itu, PNS diwajibkan memotong gaji mereka untuk pembiayaan perumahan, dan pengelolaannya dilakukan oleh Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum).
Setelah sekian lama tidak terdengar, Taperum berganti nama menjadi Tapera dengan cakupan peserta yang lebih luas, termasuk pegawai swasta dan pekerja mandiri. Pada 2016, pemerintah mengesahkan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, yang menjadi dasar pembentukan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Salah satu alasan utama perluasan peserta adalah untuk mengatasi backlog perumahan yang masih tinggi di Indonesia, yakni kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat.
Backlog perumahan di Indonesia telah mengalami tren penurunan secara keseluruhan dari 2010 hingga 2023. Pada 2010, backlog tercatat sebesar 13,5 juta unit dan meskipun ada fluktuasi kecil, tren menunjukkan penurunan yang berkelanjutan. Pada 2023, backlog mencapai titik terendah, yaitu 9,9 juta unit.
Penurunan ini terjadi karena berbagai faktor. Pembangunan perumahan rakyat di pemerintahan saat ini cukup masif walaupun masih jauh dari taget nol backlog 2045. Di sisi lain, terjadi penurunan permintaan rumah akibat kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan gaji masyarakat.
Hasil olahan CELIOS terhadap data BPS menunjukkan, kenaikan rata-rata gaji masyarakat hanya 1,8 persen pada 2023. Padahal, menurut laporan indeks harga properti residensial Bank Indonesia (BI), terdapat kenaikan rata-rata harga rumah mencapai 1,96 persen. Bahkan, kategori tipe bangunan kecil naik hingga 2,11 persen dan menengah 2,44 persen. Di beberapa daerah di Indonesia, kenaikan indeks harga mencapai lebih dari 3 persen.
Dengan pertumbuhan gaji di bawah kenaikan harga rumah, masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah bawah, semakin sulit memiliki hunian.
Harga yang sudah tidak lagi terjangkau oleh masyarakat kelas menengah membuat mereka hanya bisa berharap rumah dari warisan keluarga meskipun diberikan bantuan pembiayaan pembelian rumah tapak oleh pemerintah. Ini terlihat dari data pemukiman Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan, 11 persen masyarakat dengan pendapatan 20 persen terbawah mendapatkan rumah dari warisan atau hibah, yang tertinggi dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan menengah dan atas. Kaum muda yang tinggal di perkotaan juga cenderung memilih hunian yang dekat dengan tempat kerja, yang mungkin menurunkan angka permintaan rumah.
Baca juga: Harga Makin Mahal, Perlukah Kita Membeli Rumah?
Tapera untuk (Si)apa?
Sejatinya, apa yang dilakukan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera merupakan perluasan dari apa yang telah dikerjakan oleh pemerintah melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahaan atau FLPP yang diluncurkan pada 2010. Program FLPP merupakan fasilitas dukungan pembiayaan bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR) yang pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat. Uang untuk fasilitas pembiayaan tersebut berasal dari kantong negara. Dana yang dikeluarkan pun juga sudah mencapai lebih dari Rp100 triliun.
Namun dalam aturan terbaru soal Tapera, dana FLPP akan dikurangi dan digantikan oleh pendanaan BP Tapera yang menampung dana masyarakat luas dan entitas bisnis. Bisa jadi, ini termasuk akal-akalan pemerintah mengurangi beban pembiayaan perumahan bagi MBR.
Terkait dengan pengelolaan dana, laporan yang diterbitkan oleh BP Tapera menunjukkan bahwa dana kelolaannya mencapai Rp8 triliun pada tahun 2022, dengan penempatan dana lebih banyak pada Surat Utang Korporasi (47 persen) dan Surat Berharga Negara atau SBN (45 persen). SBN diterbitkan pemerintah untuk membiayai anggaran negara, dengan cara “meminjam” uang dari investor yang membeli surat tersebut dengan keuntungan berupa kupon (bunga obligasi).
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah, melalui BP Tapera, mendorong pembelian SBN untuk mendukung berbagai program pemerintah. Ini bisa jadi melingkupi pembangunan Ibu Kota Negara hingga makan siang gratis yang diusung presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Terlebih, Menteri Koordinasi Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, juga menyebutkan bahwa pada 2025, defisit anggaran bisa mencapai Rp600 triliun. Guna menutup itu, pemerintah memerlukan pembiayaan dari berbagai sektor, termasuk pembiayaan dari SBN. BP Tapera pun berpotensi dimanfaatkan pemerintah untuk membeli SBN tersebut.
Di sisi lain, suku bunga BI—yang menentukan bunga utang—juga semakin meningkat dan turut diikuti oleh peningkatan suku bunga deposito. Akibatnya, selisih antara suku bunga deposito dengan bunga manfaat SBN semakin menipis. Dengan jangka waktu yang lebih pendek, seharusnya investor yang rasional akan memilih untuk menabung deposito alih-alih berinvestasi di SBN.
BI juga mencatat sepanjang Januari hingga April 2024, aliran modal asing yang keluar dari pasar SBN mencapai Rp46,61 triliun. Dengan tingginya suku bunga acuan di Indonesia maupun bank sentral negara lain, maka sangat logis investor mulai meninggalkan instrumen SBN karena adanya alternatif yang lebih menggiurkan. Dengan posisi seperti ini, pemerintah bisa “memakasa” BP Tapera untuk membeli SBN dari dana yang dikumpulkannya.
Baca juga: Solusi Rumah Murah bagi Milenial Saat Harga Tanah Melangit
Bahaya Tapera
Pengelolaan dana Tapera tidak lepas dari masalah kepercayaan masyarakat. Ingatan masyarakat terhadap kasus korupsi di berbagai lembaga pengelola investasi seperti PT Asuransi Jiwasraya, PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), dan PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen) masih segar. Tak lupa juga skandal Taperumgate, skandal pengelolaan dana cikal bakal Tapera, yang terindikasi korupsi meski tak bisa tuntas diselidiki di masa Orde Baru
Di luar persepsi negatif pengelolaan dana negara, iuran wajib Tapera juga dapat menurunkan tingkat konsumsi masyarakat, yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada Produk Domestik Bruto (PDB). Hasil analisis dampak yang diterbitkan oleh , menggunakan pendekatan Input-Output Nasional dan asumsi-asumsi termasuk rata-rata gaji, peserta terdaftar hingga penurunan konsumsi—kebijakan Tapera diprediksi menyebabkan penurunan PDB sebesar Rp1,21 triliun. Surplus bisnis juga menurun sebesar Rp1,03 triliun, dan pendapatan pekerja turun sebesar Rp0,20 triliun.
Efek paling signifikan dari kebijakan ini adalah potensi hilangnya 470 ribu pekerjaan. Dampak ini tidak lepas dari penurunan daya beli masyarakat akibat penurunan pendapatan lantaran iuran negara bertambah dan subsidi langsung ke masyarakat berkurang. Masyarakat akan cenderung menahan belanja dan menekan laju konsumsi, yang lagi-lagi berimbas pada PDB dan pertumbuhan ekonomi.
Perlu adanya perubahan peraturan pemerintah yang mengubah kewajiban pekerja swasta dan mandiri membayar iuran Tapera menjadi sukarela, sembari tetap mewajibkannya bagi Aparatur Sipil Negara, POLRI, dan TNI seperti yang tujuan awalnya.
Selain itu, BP Tapera, bank kustodian (institusi keuangan yang menjaga aset nasabah mulai dari uang, saham hingga barang berharga), dan manajer investasi harus memberikan informasi detail mengenai posisi kekayaan dan investasi kepada peserta melalui berbagai kanal komunikasi. Peserta juga harus dapat menarik dana investasi sebelum pensiun atau berumur 58 tahun
Terakhir, BP Tapera harus melakukan asesmen terhadap portofolio investasi untuk memastikan tingkat pengembalian dan keamanan transaksi keuangan, serta menghindari konflik kepentingan. Dengan langkah-langkah ini, kebijakan Tapera dapat lebih adil dan transparan, serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat Indonesia tanpa menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap ekonomi.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi, Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.