Gender & Sexuality

Feminisme Sebagai Solusi ‘Ngondek Shaming’ dalam Kultur Gay

Opresi yang dihadapi laki-laki feminin alami berakar dari penindasan terhadap perempuan dan femininitas yang melekat pada mereka.

Avatar
  • November 8, 2017
  • 5 min read
  • 1802 Views
Feminisme Sebagai Solusi ‘Ngondek Shaming’ dalam Kultur Gay

Masc for masc

For manly only

 

 

No ngondek, no sissy

Pengguna aplikasi-aplikasi kencan gay pasti tidak asing dengan istilah-istilah tersebut. Sementara itu, yang tergabung dengan kelompok gay di dunia nyata, atau mungkin di forum internet, mungkin sudah akrab dengan kalimat-kalimat berikut:

Ngondek (feminin) banget sih lo, malu-maluin, deh.”

“Namanya juga gay, ya maunya sama laki lah! Kalau ngondek gitu mending sama perempuan sekalian!”

“Muka sangar, badan gede, eehh sayang ngondek.”

Awalnya saya memahami gay atau homoseksualitas sebagai salah satu orientasi seksual, bukannya gaya hidup atau budaya. Namun, setelah banyak membaca, saya harus mengakui bahwa gay culture atau budaya gay itu memang sesuatu yang nyata adanya. Beberapa fenomena tertentu memang hanya ada di kalangan gay, namun tidak di kelompok-kelompok orang dengan orientasi seksual lainnya. Budayanya tidak sebanyak, seluas, atau “sekotor” yang dibayangkan oleh banyak orang, tapi akarnya ternyata tetap sama: patriarki, seksisme, bahkan heteronormativitas.

Contoh yang saya sebutkan di awal, terjadi di mana-mana, setiap hari. Sangat banyak laki-laki gay yang mengadopsi nilai-nilai tersebut di atas. Saya sendiri menyebutnya “ngondek shaming”. Perilaku ngondek ini dianggap salah, karena ngondek ini adalah femininitas yang levelnya besar, yang (menurut nilai yang beredar di masyarakat) seharusnya hanya ada pada perempuan, bukannya pada laki-laki. Menurut nilai patriarki, laki-laki dan maskulinitas dianggap superior, alias lebih baik, dibandingkan perempuan dan femininitas. Jadilah laki-laki feminin atau ngondek dianggap rendah.

Dalam banyak kasus, laki-laki yang melakukan “ngondek shaming” ini juga memiliki ekspresi gender yang juga feminin, entah suka warna cerah, hobi memasak, atau menyanyikan lagu-lagu dari diva internasional seperti Beyonce, Mariah Carey, dan lain-lain. Tapi kalau tidak pun, pokoknya mereka anti dengan segala sesuatu yang feminin. Ini yang disebut fragile masculinity alias maskulinitas yang rapuh.

Bahwa untuk membuktikan dirinya maskulin, untuk meneguhkan maskulinitas yang ada pada dirinya, seseorang harus menekan (atau menyangkal) segala hal yang berkaitan dengan femininitas, baik yang ada pada dirinya, maupun yang dia lihat di dunia sekitarnya. Ini adalah hal yang tidak sehat.

Untungnya, saya sendiri tidak terobsesi dengan maskulinitas. Saya tidak berusaha menjadi maskulin, supaya bisa mendapatkan pria yang juga maskulin. Saya tidak perlu repot-repot menghindari yang feminin dan ngondek karena saya memang tidak anti terhadap mereka. Karena saya juga bagian dari mereka.

Saya memang sempat mengalami rasa tidak percaya diri. Sempat mengalami fase penyangkalan kalau saya ini ngondek, karena termakan stigma bahwa menjadi lelaki seperti itu itu tidaklah baik (walaupun saya sama sekali tidak pernah menyangkal bahwa saya feminin). Pacar saya yang cukup membantu saya untuk menerima diri bahwa saya memang ngondek and that’s totally okay. Saya pun jadi bisa melihat sisi baik dari para pria ngondek di sekitar saya. Rasanya, dari orang-orang ngondek inilah, dan dari diri saya sendiri, saya bisa melihat kesungguhan slogan “gay and proud!”

Ini bukan berarti yang maskulin lantas jadi tidak merepresentasikan “gay and proud“.  Karena ada juga yang memang maskulin, menerima femininitas, tidak anti-ngondek, tapi tetap menjadi sasaran kebencian, karena beberapa orang ngondek juga “membalik stereotip” yang ditujukan pada mereka (yang maskulin akan lantas dianggap “sok maskulin aja“, sombong, dll). Namun mereka tetap bangga dengan orientasinya dengan membagikan kebahagiaan pada lingkungan di sekitarnya tanpa penolakan terhadap mereka yang berbeda (well, ini berlaku untuk semua orang kan seharusnya?). Di dunia yang heteronormatif, tetap menyatakan diri sebagai homoseksual walau pun kita sangat mungkin dibenci, adalah tanda bahwa kita “bangga”.

Kembali ke ngondek shaming, menurut saya, feminisme diperlukan untuk mengatasi fenomena ini. Saat di mana kesetaraan gender sudah benar-benar tercapai, maka saat itulah, saya percaya, ngondek shaming tidak akan ada lagi. Karena saat perempuan dan laki-laki setara, saat orang-orang sadar bahwa femininitas dan maskulinitas memiliki nilai yang sama baiknya, maka laki-laki feminin, ngondek, drag queen, cross-dresser, dan lain lainnya akan bernilai sama dengan laki-laki yang maskulin, gagah, dan menyukai serta rajin olahraga.

Feminisme bisa kita kenal dengan baik dengan cara memberi ruang pada perempuan dan mendengar mereka. Ini karena merekalah yang sangat dekat dengan nilai-nilai feminin. Perempuanlah yang pertama kali merasakan opresi karena nilai-nilai patriarki dalam masyarakat. Perempuan dan femininitasnya dianggap lemah. Hal ini kemudian membuat masyarakat mengharuskan laki-laki untuk kuat dan maskulin. Maka laki-laki menguasai semuanya karena kitalah yang dianggap kuat.

Untuk itu, sudah saatnya perempuan memimpin gerakan yang mereka ciptakan, feminisme. Laki-laki yang juga mengalami opresi akibat ekspresi feminin bisa saja berjuang, bisa saja menjelaskan, bisa saja mengedukasi sesama laki-laki, baik homoseksual maupun heteroseksual. Namun jangan sampai kita melakukannya dengan merebut ruang gerak perempuan. Jangan sampai kita merebut ‘label’ yang mereka perjuangkan.

Seberapa pun femininnya laki-laki, kita sudah terlalu banyak mendapat label kehormatan dan kemewahan di mana-mana, bahkan sejak awal kita dilahirkan. Seberapa pun berat dan banyaknya opresi yang kita alami, perempuan mengalaminya jauh lebih berat dan lebih banyak. Kita bisa berdiri dengan membantu perempuan saat dibutuhkan, dan berdiam saat kita terlalu banyak bicara mewakili perempuan (karena toh kita sudah terlalu sering melakukannya).

Opresi yang dihadapi laki-laki feminin berakar dari penindasan terhadap perempuan dan femininitas yang melekat pada mereka. Maka mari bergerak bersama perempuan. Bukan di depan sebagai pemimpin, tapi di samping (agak sedikit ke belakang, supaya mereka yang terlihat). Karena ketika kita memberi ruang bagi perempuan untuk berjuang, hasil yang mereka dapatkan akan berpengaruh baik bagi kita, laki-laki.
 



#waveforequality


Avatar
About Author

Budi Winawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *