December 5, 2025
Issues Opini

Femisida Mojokerto: Mengapa Tak Bisa Disebut Sekadar Kriminalitas

Menyebut pembunuhan perempuan di Mojokerto sebagai kriminalitas biasa bukan hanya keliru, tapi juga menutupi akar kekerasan berbasis gender yang sistemik.

  • September 16, 2025
  • 4 min read
  • 2164 Views
Femisida Mojokerto: Mengapa Tak Bisa Disebut Sekadar Kriminalitas

Berita dari Mojokerto datang seperti pukulan telak. Seorang perempuan ditemukan tewas dengan kondisi tak manusiawi—tubuhnya dimutilasi oleh pasangan yang seharusnya melindunginya. Publik bergidik membaca detailnya, media berulang kali memutar kronologi, dan ujung pemberitaan hampir selalu sama, ini sekadar pembunuhan sadis.

Namun di balik pilihan kata yang tampak netral, tersembunyi dampak besar. Menyebut tragedi ini sekadar kriminalitas biasa menghapus banyak hal penting. Hilang keberanian untuk menyebut femisida dengan tegas. Hilang kesadaran bahwa pembunuhan seperti ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari pola panjang kekerasan berbasis gender. Hilang pula empati yang seharusnya diarahkan kepada korban, karena perhatian publik lebih banyak diseret ke detail tubuh yang tercerai.

Sebagian media menyebut motif pelaku sebagai persoalan asmara. Kata-kata seperti cemburu, kecewa, atau perselingkuhan berulang kali dipakai. Narasi ini membentuk kesan bahwa tragedi besar hanyalah hasil dari hubungan pribadi yang retak. Seolah-olah kekerasan bisa dimaklumi bila dibungkus dengan romantisme.

Namun dalam kacamata sosiologi gender, pembacaan semacam ini justru berbahaya. Kekerasan terhadap perempuan tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh dari struktur sosial yang membuat laki-laki merasa berhak atas tubuh pasangannya. Budaya patriarki memberi legitimasi bahwa perempuan adalah milik yang bisa dikontrol, dihukum, bahkan dimusnahkan jika dianggap melawan. Pandangan inilah yang menjadi tanah subur bagi femisida.

Mutilasi dalam kasus Mojokerto bukan sekadar cara menghilangkan jejak. Ia adalah pesan simbolik yang menyatakan bahwa tubuh perempuan bisa dihapus, dihilangkan eksistensinya. Sayangnya, media lebih sibuk mengurai detail teknis: potongan tubuh, kronologi pembuangan, dan alat yang digunakan. Sensasi menang atas substansi.

Korban pun kehilangan kemanusiaannya dua kali. Pertama ketika nyawanya direnggut, kedua ketika tubuhnya direduksi menjadi tontonan. Yang tertinggal dalam benak publik bukan lagi sosok perempuan dengan nama, keluarga, pekerjaan, dan mimpi, melainkan tubuh yang dicabik-cabik.

Baca juga: Ukur Bahaya, Selamatkan Hidup: Bagaimana ‘Danger Assessment’ Bisa Cegah Femisida

Femisida dan relasi kuasa yang tak diakui

Kasus Mojokerto bukan yang pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, publik juga diguncang oleh kasus perempuan yang dibunuh pasangan karena alasan yang disebut sepele, dari penolakan ajakan menikah hingga konflik rumah tangga. Polanya berulang: korban selalu perempuan, pelaku umumnya laki-laki yang memiliki relasi dekat dengan korban.

Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan mencatat lebih dari 250 ribu kasus kekerasan terhadap Perempuan pada 2023. Angka ini hanyalah puncak dari gunung es, karena banyak kasus yang tidak pernah dilaporkan. Femisida tidak tercatat sebagai kategori tersendiri dalam hukum Indonesia. Akibatnya, kasus pembunuhan perempuan karena gendernya sering dimasukkan dalam klasifikasi kriminal umum. Proses hukum selesai dengan vonis terhadap pelaku, sementara akar persoalan tetap dibiarkan.

Negara tak bisa terus bersikap netral. Diam terhadap femisida sama saja dengan melegitimasi kekerasan. Beberapa negara Amerika Latin telah mengakui femisida sebagai kejahatan berbasis gender. Argentina mencatat kasus femisida dalam laporan resmi dan menyiapkan perangkat hukum khusus. Meksiko bahkan memiliki unit investigasi khusus untuk mengusut pembunuhan perempuan.

Di Indonesia, kita bahkan belum berani menamai. Padahal bahasa adalah langkah awal untuk memahami, lalu mengubah. Jika terus disebut “pembunuhan sadis”, publik akan lupa bahwa ada sistem sosial yang ikut bekerja di balik kekerasan. Dan sistem itulah yang seharusnya kita tantang.

Baca juga: Remisi Ronald Tannur: Layakkah Pelaku Femisida Dapat Pengurangan Masa Pidana?

Saat kita gagal menamai, kita ikut melanggengkan

Langkah pertama adalah menyebut namanya: femisida. Dengan menyebutnya secara tepat, kita sedang mengakui bahwa kasus Mojokerto bukan insiden tunggal, melainkan bagian dari rantai panjang kekerasan terhadap perempuan.

Langkah selanjutnya adalah mendesak negara untuk tak berhenti pada penangkapan pelaku. Kita butuh pengakuan hukum yang secara eksplisit menyebut femisida sebagai kejahatan berbasis gender. Tanpa itu, perempuan akan terus jadi angka dalam laporan kriminal, bukan individu yang pantas dilindungi.

Masyarakat juga punya peran. Bahasa yang kita pakai sehari-hari mesti dikaji ulang. Istilah seperti “cinta buta” atau “motif asmara” sering kali memperhalus kekerasan dan menormalkan pembunuhan. Padahal, setiap kata membawa konsekuensi. Selama kita terus memilih kata yang salah, kita ikut melanggengkan luka.

Baca juga: Kematian Ibu di Bandung: Utang, Kemiskinan, dan Beban Tak Terlihat Perempuan 

Kasus Mojokerto bukan sekadar kriminalitas. Ini adalah tragedi yang membuka mata bahwa nyawa perempuan masih begitu murah di negeri ini. Menyebut femisida sebagai kriminal biasa sama artinya dengan menutup mata terhadap akar persoalan.

Pertanyaan yang seharusnya tak lagi bisa kita hindari adalah: sampai kapan kita akan membiarkan perempuan mati dengan cara paling kejam, sementara kita hanya menyebutnya sebagai “kriminalitas biasa”?

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Widi Rangkuti

Widi adalah mahasiswa sosiologi yang tertarik pada isu gender dan budaya pop. Ia punya social anxiety, jadi lebih nyaman menulis dan motret kucing daripada ikut ngobrol ramai-ramai.