Belajar dari Film ‘Badhaai Do’, Menikah Bukan Solusi Bagi LGBTQ+
Mari melihat seorang laki-laki homoseksual dan seorang lesbian yang menikah, demi mengakali institusi pernikahan dan dominasi peran gender tradisional.
Di Indonesia, pertanyaan “kapan nikah?” adalah suatu keniscayaan yang datang ketika umurmu dianggap sudah cukup. Saking wajarnya, orang-orang cenderung memaklumi ketika pertanyaan itu keluar, ketimbang saat seseorang tak tahu jawabannya.
Tak banyak orang yang sadar, kalau pertanyaan itu hanyalah satu dari sedikit turunan kultur heteronormatif yang mengakar di masyarakat kita. Menikah dianggap sebagai sebuah fase wajib dalam hidup manusia, dan tidak menjalaninya hanya akan membuat orang tersebut distigma atau dialienasi dari masyarakat. Seolah-olah, menuntut seseorang untuk menikah adalah moral yang benar.
Saking langgengnya kultur ini, sedikit sekali masyarakat kita yang bisa membayangkan seseorang bisa hidup sampai sepuh tanpa pernikahan. Termasuk buat orang-orang yang bukan heteroseksual, alias mereka yang termasuk dalam LGBTQ+.
Masalahnya, di tempat pernikahan hanya legal antara laki-laki dan perempuan, orang-orang LGBTQ+ sering kali harus jadi yang paling tersiksa. Pilihannya tak banyak. Hanya antara menikah terpaksa demi tuntutan heteronormativitas, atau tak menikah sama sekali tapi harus rela diikuti sederetan stigma dan risiko dicap “tak berfungsi” di masyarakat.
Di aplikasi kencan sendiri, saya cukup sering menemu: “Saya gay, saya mencari perempuan lesbian”, atau, “Saya lesbian, mencari laki-laki gay untuk menikah”.
Fenomena ini belum tercatat dalam penelitian kuantitatif, sehingga sulit membaca atau membuktikan statistiknya. Tapi, beberapa karya seni tampaknya hadir untuk merekam sekaligus jadi kritik atas fenomena ini. Salah satunya adalah film asal India berjudul Badhaai Do (terjemahan dari Memberi Selamat), yang disutradarai Harshavardhan Kulkarni.
Ceritanya tentang Shardul, laki-laki gay berusia 32 tahun, dan Sumi, lesbian 31 tahun, yang sama-sama sudah lelah dipaksa cari jodoh oleh keluarga masing-masing. Lewat satu kejadian tak terduga, mereka berdua bertemu dan berkompromi untuk menikah.
Baca juga: Nilai-nilai Heteronormatif Masih Menonjol dalam Hubungan Gay
Sejarah Menikah dan Kenapa Ia Jadi Institusi Besar
Sepasang laki-laki dan perempuan memadu kasih, lalu beranak, adalah konsep yang ada setua sejarah manusia sendiri. Saat manusia mulai mengenal agraria, bercocok tanam, dan mengelola lahan, pernikahan mulai muncul sebagai upaya menjaga hak tinggal dan mili atas sebuah lahan.
Anak-anak dari pernikahan itu, lalu jadi pewaris dari lahan orang tuanya.
Saat masyarakat makin tumbuh kompleks, pernikahan berubah jadi institusi yang dikendalikan dan diatur oleh budaya, otoritas agama, dan negara. Catatan tentang bentuk pernikahan tertua hadir dari Mesopotamia, dalam undang-undang bernama Ur-Nammu, pada 2100 sebelum masehi. Isinya mengatur tentang perzinahan sampai status legal anak dan anak yang lahir dari budak.
Oleh agama dan patriarki, pelembagaan pernikahan makin kencang. Di era Renaisans dan sebelumnya, pernikahan adalah cara para penguasa—laki-laki, raja, atau pemuka agama—untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Itu sebabnya, raja-raja di Mesopotamia, Israel, Mesir, dan sekitarnya terlihat wajar memiliki lebih dari satu istri.
Namun, bukan berarti sejarah tak mencatat bentuk-bentuk pernikahan lainnya. Di Himalaya misalnya, tercatat pernikahan antara satu orang perempuan dengan tiga laki-laki bersaudara. Fungsi pernikahan mereka juga untuk menjaga lahan keluarga.
Di era modern ini, pernikahan lebih sering terjadi sebagai bentuk menjaga cinta dan memiliki teman hidup. Namun, fungsinya untuk mejaga kekuasaan, harta, lahan, tradisi, dan hal-hal yang mapan masih berlaku. Terutama untuk menjaga nilai-nilai yang dianggap sebagai norma, termasuk di dalamnya heteronormativitas.
Kini beberapa negara telah melegalkan pernikahan buat semua orang, tidak cuma mereka yang laki-laki dan perempuan, cisgender, dan heteroseksual. Namun, di tempat-tempat queerfobia masih lantang dan membahayakan, pernikahan bukan pilihan buat orang LGBTQ+.
Dalam pergerakan pembebasan LGBTQ+ sendiri, pernikahan sebetulnya bukan gol utama. Hak-hak dasar lain, seperti mendapat pekerjaan, akses pendidikan, kesehatan, dan hidup yang layak masih utamanya. Gol utamanya adalah membedah dan menjauhkan sistem-sistem represif (seperti patriarki dan kapitalisme), sehingga semua orang punya kesempatan hidup layak dengan akses setara.
Badhaai Do tidak teriak-teriak sampai sana. Namun, kita bisa melihat betapa sabarnya sutradara Kulkarni mengkritik institusi pernikahan yang sudah kawin dengan tradisi orang India.
Baca juga: Menikah Bukan Solusi Ajaib Semua Masalahmu
Tuntutan yang Tidak Selesai Setelah Menikah
Salah satu dialog sebagai kompromi antara kedua belah pihak, Shadrul dan Sumi adalah “Kalau kita menikah, keluarga kita tidak akan mengganggu lagi. Lalu kita bisa hidup dalam damai, hidup bebas seperti teman sekamar.” Suatu ide yang terdengar realistis jika kita tidak mempertimbangkan budaya yang ada. Tetapi setelah pernikahan berlangsung, persoalan lain turut beruntun berdatangan. Dari bagaimana mereka harus bersikap di depan sanak keluarga dan tetangga, hingga pertanyaan yang kemudian muncul dari banyak orang: “Kapan punya anak?”
Mau tertawa, tapi pertanyaan-pertanyaan ini adalah seolah sudah jadi template kehidupan yang wajib diikuti semua orang: Lahir-sekolah-menikah-punya anak-mati.
Pilihan-pilihan selain itu jelas banyak, tapi kurang lebih hanya pilihan itu yang diterima sejauh ini. Dalam Film Badhaai Do, kita diberikan pelbagai persoalan rentetan setelah menikah. Kalimat kompromi di awal terkait akan hidup damai itu menjadi jauh sekali, bahkan lebih seperti mimpi buruk yang hadir setelahnya.
Strategi Bertahan Hidup
Persoalan dalam Film Badhaai Do juga menyoroti terkait hubungan seksual antar-karakternya. Ketika tuntutan punya anak semakin tinggi dari pihak keluarga besar, maka mereka terjebak dalam suatu pemikiran “apakah kita perlu mencoba?”. Perlu mencoba beralih dari sekadar hubungan pernikahan palsu ke hubungan seksual agar memiliki anak, demi meredam tuntutan yang terus menerus tidak berhenti.
Adegan-adegan ketika mereka hampir berhubungan seksual adalah pukulan keras bagi penonton. Tentu saja, lagi-lagi kekalahan yang kita rasakan. Setelah harus mengalah dengan pura-pura menikah, lalu harus berhubungan seks yang jelas tidak sesuai dengan orientasi seksualnya.
Untungnya, film ini memberikan angin segar dengan menggagalkan hubungan seksual itu. Jawabannya sederhana karena kedua karakter sudah mengenali diri, sudah coming in, sudah tahu apa yang mereka mau dan tidak mau terkait dirinya. Sudah tahu siapa dirinya.
Pelbagai tuntutan dari masyarakat membuat mereka harus memiliki strategi bertahan hidup dengan pelbagai cara. Baik di kantor, di tempat kerja, di lingkungan rumah, bahkan di depan keluarga sendiri. Tetapi, mereka mempunyai kekuatan ketika sudah mengenali diri, mereka tahu sejauh mana harus membuat strategi bertahan hidup, dan berhubungan seksual bukan menjadi jawaban atas tuntutan anak bagi mereka. Ada pilihan adopsi yang bisa mereka pilih.
Baca juga: Laki-laki Gay Jadi Bunglon Sosial Lewat Pernikahan Heteroseksual
Pernikahan Palsu Bukan Solusi
Dengan pertimbangan rentetan masalah saja rasanya sudah cukup yakin bahwa menikah jelas bukan solusi. Mungkin solusi sementara, tapi seperti apa pun kepura-puraan akan selalu terlihat. Daripada lelah saat berpura-pura, lebih baik tidak pernah mencoba.
Selain itu, harapannya teman-teman LGBTIQ+ tidak terjebak dalam pernikahan yang bukan berdasar atas pilihan sendiri. Menonton Badhaai Do, bisa membantu kita untuk paham kenapa memaksa pernikahan bisa berakibat buruk dan bukan tindakan cinta. Ia memperlihatkan bahwa cinta-kasih dari orang terdekat, terutama keluarga inti, amatlah penting. Ketimbang memaksa anak, kakak, adik, cucu, sepupu, ponakan, kawan, atau tetangga kita menikah.
Film Badhaai Do memang berakhir dengan happy ending setelah melalui badai. Badai terbesar mereka terjadi ketika ibunya Shadrul memergoki Sumi dengan partnernya dan hal tersebut langsung tersebar di kedua keluarga besar. Masing-masing keluarga melakukan sidang dadakan. Kata-kata yang terlontar, misalnya salah satu anggota keluarga besar Shadrul berkata “Aku pernah tidur di sebelahnya dan aku merasa jijik”, lalu kakak iparnya yang dokter mengatakan itu penyakit dan lain sebagainya.
Shadrul tidak terima Sumi disudutkan oleh keluarganya dan ia memberanikan diri untuk jujur di depan keluarga besarnya. Dialognya kurang lebih sebagai berikut, Sumi gadis yang baik. Selama ini aku selalu merasa sendiri bahkan di keluarga besar ini. Hanya di depan Sumi, aku bisa menjadi diri sendiri. Aku sama sekali enggak dibohongi karena sudah tahu dari awal. Kalau kalian merasa jijik pada Sumi, seharusnya kalian juga merasa jijik padaku. Kalau kamu bilang itu penyakit, berarti aku juga mengidap penyakit, karena aku juga sama dengan Sumi, aku juga homoseksual.
Keluarga besar Shadrul terdiam dan hanya ibu Shadrul yang datang menghampiri Shadrul tanpa berkata apa pun, hanya memeluknya. Di sisi keluarga Sumi, ayahnya yang paling dekat dengannya pun masih membutuhkan waktu untuk bisa menerima kenyataan tentang putrinya. Tapi pada akhirnya Shadrul dan Sumi berbahagia, masing-masing memiliki partner, ayahnya Sumi memberikan dukungan kembali padanya. Mereka berdua mempertahankan pernikahan sebagai alasan administrasi proses adopsi anak.
Dari Film Badhaai Do, kita belajar banyak hal, yang pasti kita tidak perlu menjadi Shadrul dan Sumi versi dunia nyata. Kita cukup belajar dari mereka dan memiliki sudut pandang baru ketika menikah hanya karena alasan tuntutan. Tentu penting untuk mengetahui kemauan diri dan menerima diri terlebih dahulu. It’s hard but we can dance in the midst of it.