Lifestyle Opini

Menikah Bukan Solusi Ajaib Semua Masalahmu

Setop tawarkan pernikahan setiap kali kamu capek kuliah dan kerja, atau punya masalah kesehatan mental. Itu bukan obat ajaib.

Avatar
  • June 22, 2023
  • 5 min read
  • 1523 Views
Menikah Bukan Solusi Ajaib Semua Masalahmu

Twitter baru-baru ini diramaikan dengan video berisi tips agar lelaki gay menikah dengan perempuan heteroseksual. Dengan pernikahan, laki-laki gay bisa “sembuh” dari kecenderungan tersebut. Sebenarnya ini adalah retorika lama. Jika menelusuri media sosial seperti Twitter, solusi macam ini akan selalu ditawarkan oleh beberapa warganet. Bahkan digadang-gadang jadi solusi ampuh yang datang langsung sikap Nabi Luth yang menikahkan putri-putrinya dengan laki-laki gay.

Solusi ini tentu menuai kontroversi. Tidak sedikit warganet menilai, itu cuma solusi bodong bahkan sepihak karena berdasarkan egoisme diri. Pernikahan harusnya adalah momen sakral yang dibangun dengan keterbukaan, komitmen, dan cinta kasih. Pernikahan tak bisa jadi topeng atau “terapi jalan” karena bakal bikin banyak pihak merugi.

 

 

Baca Juga: Dari Hitler hingga Pattimura, Obsesi Mengislamkan Semua Orang

Apa pun Masalah Hidupnya, Menikah Solusinya

Cuitan macam itu mungkin bukan kali pertama kamu dengar. Pola pikir tentang menikah sebagai solusi sebenarnya sudah lama terbangun di masyarakat kita. Enggak percaya? Mari kita lihat kasus Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) di lingkungan sekolah. Umumnya, tindakan yang dilakukan orang tua dan sekolah adalah menikahkan keduanya tapi mengeluarkan pihak perempuan.

Ini terjadi pada ratusan siswa di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yang menikah karena KTD. Dilansir dari Kompas, pengadilan Agama Indramayu bahkan sampai menerima 572 permohonan dispensasi kawin sepanjang 2022.

Dengan menikahkan anak-anak yang yang mengalami KTD, orang dewasa punya asumsi masalah akan secara ajaib bakal selesai. Aib keluarga bisa ditutupi dan anak-anak mereka bakal belajar bertanggung jawab atas pilihan itu. Mereka tidak tahu atau masa bodoh jika pihak perempuan harus menanggung konsekuensi sepihak, termasuk dipaksa putus sekolah. Tidak peduli juga kalau keduanya belum siap secara fisik, mental, dan ekonomi untuk membangun keluarga.

Kasus lain juga terlihat dari fenomena menikah muda. Beberapa tahun lalu, tren ini mulai populer, salah satunya berkat Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran (ITP) yang digagas La Ode Munafar dan akun-akun pasangan muda seperti Netta Reza dan Wardah Maulina–yang punya lebih dari 500 ribu pengikut.

Melalui akun media sosial, mereka gencar mengampanyekan menikah muda sebagai solusi paling top untuk menghindari zina. Kata mereka, pacaran sudah semestinya dilarang agama bahkan itu dinilai sebagai akal-akalan modernitas Barat yang menganut seks bebas. Karena itu buat mereka, jalan paling mulia bagi manusia adalah berikhtiar menghindari dosa zina dan mengamalkan salah satu perintah Tuhan, yaitu menikah secepatnya.

Sayangnya, pola pikir menikah adalah solusi tidak hanya tercermin dalam kasus-kasus besar ini saja. Saat sudah lelah menjalani masa dewasa, ada satu guyonan yang sampai saat ini masih terlontar dari mulut para lajang Tanah Air.

“Duh capek ih kerja, nikah enak kali ya.”

“Capek banget kuliah. pingin nikah aja.”

Baca juga: Kasus Rendang Babiambo: Banyak Muslim Mabuk dan Zina tapi Tolak Makan Babi

Pernyataan ini seolah menegaskan, menikah otomatis bikin hidup jadi lebih mudah. Segala tugas kuliah dan tagihan auto-beres. Kita bisa hidup leha-leha tanpa masalah.

Padahal, Kevin A. Thompson, pastur dan penulis buku-buku terkait keluarga dan pernikahan bilang, menikah enggak bikin masalah hidupmu tiba-tiba terselesaikan. Menikah justru menambah masalah. Dalam situs pribadi Thompson, ia menyitir keyakinan sepasang suami istri yang menganggap menikah adalah solusi.

Masalah mulai “berkembang biak” sejak pernikahan mereka, kata Thompson. Contoh paling mudah adalah tekanan mental karena ternyata pernikahan tersebut bersifat abusif. Bibit-bibit kekerasan itu sebenarnya sudah jadi red flag saat pacaran, tapi sengaja diabaikan dengan dalih, “We can fix it together.”

Kenapa Kita Terobsesi dengan Pernikahan

Sebagai seorang yang enggak pernah tertarik dengan institusi pernikahan, aku penasaran, apa alasan masuk akal dari pola pikir ini?

Filsuf asal Arizona, Elizabeth Brake menjelaskan kepada The Cut, pernikahan jadi tujuan hidup bagi banyak orang, bahkan dipercaya bisa menyelesaikan masalah hidup. Ini adalah konstruksi sosial yang dibangun lewat amatonormativitas. 

Dalam bukunya “Minimizing Marriage: Marriage, Morality, and the Law” (2012), amatonormativitas artinya asumsi tentang hubungan cinta yang sentral, eksklusif (monogami), dan asmara jangka panjang yang dianggap normal bagi manusia. Normalitas ini membuat pernikahan menjadi tujuan yang dimiliki bersama secara universal, sehingga wajib diutamakan dibandingkan jenis hubungan lain.

Dalam banyak kasus, amatonormativitas akan lebih berbahaya bagi perempuan. Lewat amatonormativitas, perempuan terdoktrin bahwa menjadi sempurna adalah ketika bisa mencapai tujuan hidup menikah dan memiliki keturunan.

Baca Juga: Valentine’s Day Memang Patut Diharamkan!

Celakanya, idealisme pernikahan ini diamplifikasi lewat produk budaya pop kita yang banyak memperlihatkan gambaran indah nan ideal. Amisha Padnani, editor The New York Times mencontohkan bagaimana idealisme pernikahan dibangun lewat tontonan seperti The Nanny dan Sex and the City. Dua serial yang berakhir dengan tokoh utama perempuan menikah atau menuju ke arah pernikahan. 

Selain serial TV ini, Padnani dan perempuan seusianya juga tumbuh lewat artikel-artikel majalah perempuan yang membagikan tips cara “menggaet” laki-laki untuk berkomitmen. Ada lagi tertuang dalam lagu-lagu tentang romansa yang banyak diputar dalam acara pernikahan.

Untuk anak zaman sekarang, situasinya juga kurang lebih sama. LIhat saja bagaimana reality show yang memperlihatkan ajang pencarian jodoh laris manis. Netflix punya Love Is Blind, ajang temu jodoh di mana dua orang pergi berkencan dan menikah dalam beberapa hari. Serial ini berjalan sampai 5 musim dengan total 56 episode. 

Jangan lupakan juga soal royal wedding. Dari zaman putri Diana sampai Meghan Markle, royal wedding selalu bisa menyedot perhatian dunia. Di Amerika sendiri hampir 30 juta orang menyaksikan royal wedding Pangeran Harry dan Meghan Markle. Banyak orang sudah bangun sebelum jam 4 pagi untuk demi menyaksikan pernikahan megah ini.

Budaya pop yang bertahun-tahun mereproduksi idealisme pernikahan yang dibangun amatonormativitas, akhirnya menciptakan pesan bahwa tanpa pernikahan, seseorang bakal hidup tanpa martabat.

Tentunya ini berdampak pada banyak hal, dua di antaranya adalah munculnya stigma pada individu tertentu dan invalidasi pengalaman mereka. Ini termasuk stigma negatif tentang orang lajang yang menolak menikah (apalagi perempuan), orang yang gagal dalam pernikahan dan berakhir bercerai, sampai tidak diakuinya pengalaman individu aseksual dan aromatis. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *