Film Horor adalah Ciri Khas Halloween, tapi Kenapa Harus Penuh Darah?
Mungkinkah film horor tak menampilkan darah dan adegan mengerikan penuh kekerasan (gore)?
Banyak sekali film horor di 2024 yang mempertontonkan adegan berdarah secara gamblang. Sebut saja Immaculate, The First Omen, dan The Strangers. Semua tayang menyesaki belantara perfilman dunia tahun ini.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Tahun ini bioskop Indonesia juga diwarnai film-film horor. Mulai dari horor berbalut komedi seperti Agak Laen, hingga horor dengan misteri yang lebih mencekam seperti Tebusan Dosa.
Menyambut Halloween, sajian ‘berdarah’ sudah ‘bergentayangan’ di bioskop dan ditayangkan secara maraton di saluran kabel.
Tontonlah, dan kamu mungkin akan menyadari seiring berjalannya waktu, para sutradara, penulis, dan eksekutif studio film-film ini tampaknya semakin banyak menampilkan darah, kekerasan, dan adegan mengerikan penuh darah (gore). Pertanyaannya, mengapa begitu?
Sebagai profesor kajian film horor, saya mengeksplorasi kedalaman genre ini bersama para mahasiswa agar dapat memahami evolusi darah dalam sinema horor—dengan mempertimbangkan bagaimana film mencerminkan zamannya.
Alfred Hitchcock dan Michael Powell menciptakan proto-slashers (semacam rujukan awal) dengan Psycho dan Peeping Tom. Kedua film tersebut dirilis pada 1960 dengan jarak sekitar empat bulan. Keduanya menampilkan pembunuh berantai, dan mengusung estetika visual “ceritakan, jangan tunjukkan”. Alih-alih menunjukkan darah kepada penonton, film-film tersebut menggunakan petunjuk naratif untuk menunjukkan darah.
Baca juga: 4 Rekomendasi Film Horor tentang ‘Hagsploitation’
Isi Perut, Darah dan Masih Banyak Lagi
Dalam Psycho, Marion Crane, diperankan oleh Janet Leigh, ditikam hingga tewas dalam adegan mandi yang terkenal. Namun, pengeditan cepat hanya memberikan ilusi tubuh telanjangnya yang diiris-iris hanya dengan sedikit darah mengalir ke saluran pembuangan dalam warna hitam-putih. Dengan Hitchcock memilih untuk merekam Psycho dalam film hitam putih, dan menghindari gambar darah merah terang di bak mandi, film ini tidak tampak begitu kejam.
Pada akhir dekade 1960-an, kode Hays yang ketat, yang melarang kekerasan terang-terangan di layar dan penggunaan darah palsu, digantikan oleh sistem rating film Motion Picture Association of America yang lebih longgar. Para pembuat film memanfaatkan kebebasan baru untuk mengekspresikan rasa takut, kecemasan, dan kengerian dalam penggambaran yang lebih nyata. Salah satu caranya adalah dengan mempertontonkan lebih banyak darah.
Dalam Night of the Living Dead, film zombi era 1968 karya George A. Romero, mayat hidup memakan daging orang yang masih hidup. Meskipun film ini hitam putih, penyajian monokromatik tidak mengurangi tampilan mayat hidup yang melahap isi perut dan menjilati darah.
Film ini dirilis enam bulan setelah pembunuhan Martin Luther King Jr., dan terlihat jelas adanya hubungan antara film Romero dan gerakan hak sipil yang saat itu sedang berlangsung. Banyaknya adegan dalam film ini berhubungan dengan perjuangan gerakan yang sangat berdarah dan penuh kekerasan, misalnya saat Ben, diperankan oleh Duane Jones, satu-satunya orang kulit berwarna di antara yang masih hidup, bersembunyi dari para hantu di sebuah rumah pertanian terbengkalai bersama enam orang kulit putih.
Ben berusaha menjaga keamanan kelompok tersebut, tetapi terus menghadapi penolakan dari para tokoh laki-laki kulit putih. Di akhir film, sekelompok pembela kebenaran, yang percaya bahwa Ben adalah zombi, menembaknya sebelum melemparkan tubuhnya ke dalam api.
Sulit untuk mengabaikan simbolisme sebagai refleksi zaman. Romero dan John Russo, yang ikut menulis skenarionya, awalnya tidak bermaksud untuk membuat pernyataan tentang hak-hak sipil. Namun kemudian, selama pascaproduksi, Romero menyadari bahwa pembunuhan King mengubah filmnya menjadi “film Hitam”—klasifikasi film yang melibatkan partisipasi dan/atau representasi orang kulit berwarna.
Baca Juga: Film Horor Simbol Ketakutan Atas Kekuatan Perempuan
Metafora Berdarah
Tibalah dekade 1970-an, ketika darah disemprotkan ke seluruh layar. Namun, The Texas Chain Saw Massacre (1974) besutan Tobe Hooper, The Exorcist (1974) karya William Friedkin, dan Alien (1979) yang dibuat oleh dan Ridley Scott memiliki kesamaan lain: semuanya menampilkan tokoh utama perempuan yang mampu bertahan hidup dari hal yang tidak terpikirkan.
Sekali lagi, darah adalah faktor penentu yang sama dalam film-film horor zaman ini. Tubuh Sally dipenuhi darah setelah melarikan diri dari Leatherface; tubuh Regan, pun darahnya, mengeluarkan muntahan hijau; dan Ripley melihat alien keluar dari dada salah satu anggota kru. Namun, film-film tersebut tidak hanya berdarah—mereka juga merupakan metafora untuk perjuangan berat atas hak-hak perempuan pada dekade 1970-an.
Halloween (1978) yang asli juga menggunakan metafora yang mirip, tetapi dengan sedikit perubahan. Karakter Laurie Strode—mungkin prototipe awal protagonis perempuan dalam film horor—terhubung kembali dengan kepekaan “ceritakan, jangan tunjukkan” sambil secara bersamaan merangkul perubahan zaman.
Saat pembunuhan pertama menggambarkan Michael Myers menikam kakak perempuannya, penonton melihat kematian dari sudut pandang Myers yang sebagian terselubung di balik topeng Halloweennya. Penonton tidak melihat banyak hal sampai tubuh kakaknya menyentuh lantai dan memperlihatkan darah.
Baca Juga: 5 Film Horor Indonesia Terbaik Yang Bikin Merinding
Mimpi Buruk dan Kenyataan
Pada dekade 1980-an, subgenre slasher mendominasi horor dengan prinsip: semakin berdarah, semakin bagus. Film-film ini berfokus pada jumlah pembunuhan dan cara-cara kreatif para korban dibunuh.
Setiap sekuel dalam waralaba horor ini meningkatkan jumlah pembunuhan—tanpa alasan lain selain untuk mengalahkan film pendahulu dan pesaingnya. Penonton mulai mendukung penjahat seperti Myers, Jason Voorhees dan Freddy Krueger, yang semuanya memiliki musik tema mereka sendiri, dan dalam kasus Freddy, kalimat khas. Banyak penjahat memiliki pengembangan karakter yang lebih besar dibandingkan korban mereka, yang tampak tak terlalu penting dan tidak lebih dari sekadar tumbal pembantaian.
Dekade 1990-an memiliki film-film yang lebih inovatif dan berbujet lebih besar, seperti New Nightmare (1994) dan Scream (1996) milik Wes Craven. Di sini, serangannya terasa lebih personal—penusukannya dilakukan dari jarak dekat. CGI, atau computer-generated imagery (citra yang dihasilkan komputer), yang banyak digunakan dalam serial Nightmare, memungkinkan pembunuhan yang lebih kreatif dan berdarah.
Baca Juga: Film Horor Feminis ‘RONG’ Ingin Hantu Perempuan Menang
Semakin Mencekam Dunia, Semakin Berdarah Filmnya
Sejak peristiwa 9/11, film horor hadir tanpa memiliki motif yang jelas selain kekerasan dan pertumpahan darah. Dalam The Strangers (2008), para penjahat mengikat, menyiksa, dan melukai korban mereka dengan kejam. Dalam pembuatan ulang The Last House on the Left pada 2009, para penjahatlah yang menemui ajal berdarah. Horor kontemporer memahami betapa efektifnya pembunuhan yang tidak masuk akal di layar, karena penghilangan emosi dari kekerasan tersebut sejajar dengan kejadian di dunia nyata.
Pada akhir 2010-an, film horor dikaitkan dengan gerakan #MeToo dan Time’s Up, terutama dalam trilogi reboot Halloween, saat Laurie Strode sekali lagi berhadapan dengan Michael Myers dan trauma yang ditimbulkannya 40 tahun sebelumnya.
Pembunuhan dalam trilogi Halloween yang baru sangat berdarah dan penuh kekerasan. Pembunuhan tersebut juga mencerminkan eksploitasi seksual dan sosial terhadap perempuan dan tubuh mereka. Pada akhirnya, serial ini memungkinkan sang tokoh utama dan Kota Haddonfield yang menghadapi trauma untuk mengakui kejahatan, menghadapinya, dan mencoba mengakhirinya, untuk selamanya.
Evolusi dalam penyajian darah dan adegan sadis dalam genre horor tidak serta merta membuat film menjadi lebih menakutkan. Namun, film-film tersebut sering kali merujuk pada masa-masa yang lebih menakutkan yang kita alami saat ini. Film-film horor terdahulu, yang relatif lebih jinak dan dengan lebih sedikit darah, sering kali sukses di pasaran. Namun, penonton masa kini mungkin lebih menghargai film-film tersebut karena nilai artistiknya daripada rasa takut yang ditimbulkannya.
Preferensi penonton film horor berubah seiring waktu, seperti pasang surutnya darah yang digambarkan dalam film-film ini. Halloween versi asli hampir tidak ada darah tapi versi terbarunya sangat berdarah-darah—meskipun masih jauh dari kekacauan yang digambarkan dalam Terrifier 3 yang baru saja dirilis.
Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, perhatikan dunia di sekitarmu, dan kamu pasti akan mendapatkan petunjuk yang sangat jelas tentang apa yang akan terjadi dalam film horor.
James Francis, Jr., Instructional Associate Professor, Texas A&M University.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.