December 10, 2025
Culture Opini Screen Raves

Jarak Antara Kamera Reza Rahadian dan Sartika: Ruang Kontemplasi Antara Peran Ibu dan Pelayan Kopi Pangku

Tidak diragukan lagi bahwa ibu adalah elemen universal dalam Pangku. Itu sebabnya, meski tak kenal Sartika, kita bisa berempati kuat pada cerita hidupnya.

  • November 19, 2025
  • 7 min read
  • 1213 Views
Jarak Antara Kamera Reza Rahadian dan Sartika: Ruang Kontemplasi Antara Peran Ibu dan Pelayan Kopi Pangku

Write what you know,” lumrah terdengar dalam lokakarya menulis. Ia bukan berarti “tulis yang kita ketahui saja,” tapi sesuatu yang kita rasa dekat. 

Hal itu bisa berarti tema, latar, atau bahkan kegelisahan. Kedekatan banyak digunakan penulis (dan biasanya sekaligus merangkap sebagai sutradara) untuk memudahkan mereka memulai menulis atau membuat karya yang jauh lebih intim secara emosional.

Banyak penulis dan sutradara debut Indonesia tahun ini, menunjukkan kedekatannya dengan subjek dalam film mereka. Sebagai contoh, visi Ryan Adriandhy sebagai penulis dan sutradara Jumbo: dari karakter yang bertubuh besar, latar tahun 90-an, hingga hubungan anak dan orang tua. Melalui film Tinggal Meninggal, Kristo Immanuel mengangkat rasa ingin punya teman saat dewasa dan kecanggungan dalam situasi sosial—sesuatu yang juga sangat dekat dengannya.

Namun, sepertinya, tidak demikian dengan Reza Rahadian. Reza mengangkat subjek kopi pangku yang ia pernah lihat fenomenanya secara langsung beberapa tahun lalu. Dalam podcast Rame bersama Aulia Adam, Reza menyatakan pertama kali melihat fenomena ini pada 2018 ketika sedang syuting di Indramayu. Ia terkesima melihat ramainya truk dan warung berjejer sepanjang Pantura. Katanya, pemandangan itu menarik dan sinematik.

Dari luar, film ini tentu kelihatan cukup berjarak dengan Reza Rahadian. Ia seorang laki-laki urban dan aktor besar. Dari segi ide, tidakkah itu terlihat sangat jauh darinya? Dan ternyata, jarak itu memang terlihat sepanjang film.

Baca juga: ‘Pangku’: Perempuan Penopang Ekonomi Ambruk dan Debut yang Percaya Diri

Sartika yang Berjarak di Atas Kertas

Cerita dimulai dengan perempuan hamil bernama Sartika (Claresta Taufan) yang menumpang sebuah truk untuk mencari kerja. Ia ditampung Bu Maya (Christine Hakim) yang menawarkannya bekerja sebagai pelayan kopi pangku di warungnya. Ia sempat menolak, tapi setelah melahirkan anaknya dan tidak dapat pendapatan cukup, Sartika akhirnya mau juga.

Sampai akhir film, kita tidak pernah benar-benar tahu siapa Sartika sebenarnya. Siapa ayah dari anak yang dikandungnya? Apakah ia menikah? Mengapa ia tidak tinggal bersama orang tuanya? Dalam sebuah dialog eksposisi, Bu Maya bahkan menanyakan hal ini secara eksplisit. Sartika hanya menjawab dengan diam.

Sedikit sekali informasi tentang dirinya yang benar-benar kita ketahui. Ketika ia melakukan pendekatan dengan karakter Hadi—yang menjadi love interest-nya—baru kita tahu bahwa ayahnya adalah penjual bakmi ayam paling enak, lebih enak dari yang sedang mereka makan.

Dalam bukunya Story: Substance, Structure, Style, and the Principles of Screenwriting (1997), Robert McKee mengatakan bahwa karakter seharusnya didesain agar sejelas mungkin untuk diketahui. Kita bahkan harus merasa lebih dekat dengan karakter daripada dengan teman kita sendiri, karena karakter jauh lebih “abadi” dibanding manusia nyata yang terus berubah.

Secara teori, Sartika tidak demikian. Kita justru merasa kesulitan mengetahui siapa dia sebenarnya. Namun di sepanjang film, Sartika menunjukkan sisi yang sangat universal: ia adalah seorang ibu.

Pilihan-pilihan yang ia ambil sering kali tampak dari sisinya sebagai ibu. Di awal film, ia ingin mencari pekerjaan apa pun. Kita tidak perlu tahu alasannya karena perutnya sudah menunjukkan betapa besar kandungannya. Ketika ia bekerja sebagai buruh tani dan melihat betapa kecil honornya, anaknya lah yang mendorong Sartika membuat keputusan menjadi pelayan kopi pangku.

Ibu menjadi elemen yang membuat film ini terasa dekat. Sartika terasa seperti para ibu yang berjuang untuk menghidupi anaknya. Hal ini semakin dipertegas oleh kenyataan bahwa negara saat itu, tidak mengakui single mother, sampai-sampai institusi pendidikan dasar tidak menerima murid yang tidak punya ayah.

Peran ayah memang terkesan menjadi solusi, baik di dalam naskah ini maupun di dunia nyata. Layaknya Cinderella, Sartika pun mendapat Hadi yang menerima dia dan Bayu apa adanya. Meskipun ada ketertarikan yang terbaca pada mereka berdua di beberapa adegan, Bayu lah yang mengeskalasi hubungan Sartika-Hadi.

Hadi pertama kali melihat Bayu keluar dari kamar ketika Sartika sedang dipangku Asep (Kaan Lativan). Ia sempat menawarkan makanan kecil, tapi Bayu ingin dikeloni Ibu. Sebelum pulang, Hadi memberikan ikan untuk mereka makan. Ketika Hadi datang lagi, Bayu meminta Sartika menanyakan apakah Hadi akan membawa ikan.

Hubungan Sartika dan Hadi pun rasanya tidak terlihat sekadar romansa antara laki-laki dan perempuan, tapi sebagai keluarga. Pernah juga Bayu menanyakan ke Hadi apakah ia ayahnya. Dan cara Hadi melamar Sartika juga menekankan peran ayah: “Aku mau punya anak. Kamu mau punya suami?”

Keputusan Sartika menikahi Hadi juga bisa dibaca sebagai keinginannya memberikan sosok ayah bagi anaknya. Hal ini didukung oleh montase kehidupan mereka setelah menikah, yang memperlihatkan bagaimana Hadi dapat menjadi sosok ayah bagi Bayu. Justru tidak ada adegan Sartika yang bermesraan dengan Hadi.

Robert McKee, di buku yang sama, bilang bahwa penonton merasa dekat pada film ketika karakter dihadapkan pada hambatan, lalu dipaksa memilih cara merespons krisis itu.

Barangkali puncak krisis Sartika adalah adegan ketika ia diusir dari rumah oleh Annisa (Happy Salma), istri pertama Hadi. Ia harus membawa Bayu kecil (Shakeel Fauzi) sambil mendorong gerobak bakmi ayam menelusuri jalan tanah yang tidak rata.

Penulis skenario Reza dan Felix Nesi bisa saja mendesain adegan melodrama yang berlebihan, tapi respons Sartika—meninggalkan rumah dan Hadi—adalah pilihan tegas untuk kembali berjuang sendiri sebagai pelayan kopi pangku demi anaknya.

Tidak diragukan lagi bahwa ibu adalah elemen universal dalam Pangku. Itu pula sebabnya meskipun kita tidak benar-benar mengetahui siapa Sartika, kita tidak pernah kesulitan berempati padanya di sepanjang film.

Pun begitu, Sartika tidak hanya berjarak di atas kertas. Dalam lensa pun, Reza kerap menunjukkan jarak dengannya.

Sartika yang Berjarak dalam Lensa

Claresta Taufan mendapatkan nominasi Aktris Utama Terbaik di FFI 2025. Hal yang sering terbayang ketika mendengar frasa “aktris terbaik” adalah adegan dramatis yang biasanya muncul pada klip nominasi di malam anugerah: close-up, ekspresi dramatis, dialog tajam.

Reza Rahadian tidak menangkap Sartika seperti itu. Rasanya Reza kembali menciptakan jarak melalui kamera, khususnya di beberapa adegan saat wajah aktris akan diambil dalam close-up

Dalam adegan melahirkan yang biasa kita lihat di film-film—close-up ibu mengejan, bayi lahir, dan adegan penuh haru—Reza memilih untuk tidak menggambarkannya. Kita justru hanya melihat suami Bu Maya, Pak Jaya (Jose Rizal Manua), yang duduk di luar rumah sambil mendengar sayup-sayup Sartika mengejan dan tangisan bayi.

Bagi saya, penggambaran ini adalah angin segar: sebagai sutradara laki-laki, Reza memilih menangkap laki-laki yang menunggu proses kelahiran di luar rumah. Jarak di sini tidak terlihat seperti ketidakinginan untuk dekat, melainkan penghormatan terhadap proses sensitif tanpa mengeksploitasi adegan melahirkan yang sudah terlalu sering ditampilkan.

Ada pula adegan ketika Sartika pertama kali mendengar bahwa suaminya sudah memiliki istri lain dari Gondrong (Reza Chandika). Adegan kabar buruk sering diambil dengan banyak close-up dan tangisan histeris. Reza tidak demikian. Kita justru melihat Sartika dan Gondrong dari jauh sekali. Kamera menunjukkan gedung dua lantai; Sartika naik ke lantai dua, berbicara dengan Gondrong tanpa suara yang terdengar. Lalu ia pergi dengan kecewa. Kita kemudian melihatnya menangis di pangkuan Maya.

Ibu memang menjadi subjek besar dalam film ini. Sartika seorang ibu, tetapi hubungannya dengan Maya—meskipun tidak biologis—juga menggambarkan relasi ibu-anak. Meskipun Maya mengajak Sartika menjadi pelayan kopi pangku demi alasan ekonomis, perlahan batasan hubungan itu menguap. Maya sering menjaga Bayu seperti cucunya sendiri, bahkan mengatakan bahwa rumahnya kini rumah Sartika juga.

Alasan jarak ini mungkin karena film ini Reza upayakan sebagai bentuk surat cinta pada ibu. Rasanya Reza menempatkan lensa seperti bagaimana kita melihat dunia Sartika dari mata Bayu. Layaknya Bayu, Reza melihat Sartika sebagai ibu yang berjuang, bukan “pelayan kopi pangku” semata.

Ini bukan pertama kali teknik semacam ini digunakan. Dalam The Florida Project (2016), Sean Baker menggambarkan seorang single mom yang akhirnya harus menjadi pekerja seks untuk menghidupi anaknya. Cara film ini menunjukkan profesi sang ibu ditampilkan dari perspektif anak lima tahun: tidak ada eksposisi dialog bahwa ibunya pekerja seks, tidak ada adegan seks; penonton hanya mengetahui melalui adegan-adegan kecil seperti anaknya yang selalu berendam di kamar mandi ketika ibunya menerima tamu.

Sartika juga digambarkan demikian. Satu-satunya adegan seks yang ditampilkan adalah ketika ia bersama Hadi—dan itu pun tidak terkait alasan ekonomis, karena tidak ada adegan Sartika menerima bayaran.

Perspektif anak semakin terlihat ketika Reza mengakhiri film ini dengan Bayu dewasa, yang kini bekerja menjual bakmi dan menulis surat untuk Sartika yang sudah tua. Sejak awal, film ini memang memilih lensa keluarga dari perspektif seorang anak yang menghormati perjuangan ibunya.

Dalam banyak wawancara, Reza kerap menyatakan bahwa ini adalah surat cinta untuk ibunya. Itu pula mungkin selalu ada jarak dari bagaimana kamera memperlihatkan Sartika. Itu pula kenapa kamera tidak kerap memperlihatkan banyak tubuh perempuan di zoom dengan slow motion yang bekerja sebagai pelayan kopi pangku.

Pangku memang bukan sekadar film tentang pelayan kopi pangku, tapi lebih tentang seorang ibu yang berjuang menghidupi anaknya.

About Author

Reza Mardian

Reza Mardian writes for The Jakarta Post, NextBestPicture, Magdalene, and his TikTok Channel @kelitikfilm. He received the best film critic award at the Festival Film Indonesia (FFI) 2024.