December 5, 2025
Boys' Love Culture Screen Raves

Kenapa Film Queer di Filipina, Thailand, dan Indonesia Tumbuh Berbeda?

Meski sesama tetangga di Asia Tenggara, akses dan pertumbuhan film-film queer di Indonesia tak seleluasa di Filipina dan Thailand. Mengapa?

  • July 8, 2025
  • 6 min read
  • 6106 Views
Kenapa Film Queer di Filipina, Thailand, dan Indonesia Tumbuh Berbeda?

Saya menonton film Filipina I Love You, Beksman di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), 2023 lalu. Dikemas sebagai komedi romantis ringan, film ini mengambil sudut pandang tak lazim dalam cerita seputar queer. 

I Love You, Beksman adalah kebalikan dari coming out story pada umumnya: alih-alih mengungkap identitas queer, tokoh utamanya justru harus mengklarifikasi dirinya sebagai bukan gay. Dali (Christian Bables), seorang laki-laki feminin yang berprofesi sebagai desainer dan make up artist, ternyata straight. Ia harus ‘coming out’ sebagai heteroseksual di tengah masyarakat yang selama ini sudah terlanjur mengasumsikannya gay.

Film ini mengolah dan bermain-main dengan stereotip pria kemayu sebagai materi komedinya. Tapi, yang membuat saya sangat terkesan dan takjub bukanlah kelucuannya, melainkan cara film ini terasa sekali tidak  merendahkan karakter laki-laki feminin. Sebagai film Filipina—tempat sosok bakla dan ekspresi non-maskulin memiliki visibilitas kuat di ruang publik—film ini bisa tampil jenaka, tanpa jatuh pada penghinaan.

Sulit untuk tidak membayangkan: Bagaimana jika konsep cerita ini diadaptasi di Indonesia? Media kita, salah satunya film, punya kecenderungan untuk menjadikan waria atau laki-laki kemayu sebagai objek olok-olok. Salah satu keriuhan panas yang teringat adalah diskursus setelah Pretty Boys (2019), karya Tompi. Berkebalikan dengan I Love You, Beksman, film itu justru ingin membuktikan bahwa industri televisi kita memaksa laki-laki untuk jadi feminin, demi laku. Cara film mempotretnya lalu menuai kritik tajam, karena dianggap ofensif pada kelompok rentan.

Pengalaman menonton I Love You, Beksman menyadarkan saya bahwa cara masyarakat memandang dan memperlakukan ekspresi gender dan orientasi seksual sangat memengaruhi bagaimana film queer diproduksi dan diterima di suatu negara. 

Maka, menarik untuk melihat bagaimana tiga negara yang secara geografis berada dalam satu teritori yang sama: Indonesia, Thailand, dan Filipina, tapi bisa memiliki ekosistem sinema queer yang sangat berbeda.

Baca juga: Mari Ngobrol Serius tentang BL Asia: Sebuah ‘Queer Gaze’

Queerness dan Budaya Populer

Dalam dua dekade terakhir, Thailand dan Filipina menunjukkan bagaimana queer bisa memiliki posisi yang begitu kuat dalam lanskap budaya populer mereka—dengan cara yang sangat berbeda.

Thailand, misalnya, telah melahirkan genre Boys’ Love (BL) sebagai komoditas budaya yang mendunia. Serial-serial seperti 2gether, KinnPorsche, atau Bad Buddy menjadi ekspor televisi ke banyak negara Asia, termasuk Indonesia. Cinta antara dua laki-laki muda bukan lagi tema pinggiran, melainkan formula arus utama. Meskipun banyak kritik menyebut bahwa representasi ini cenderung dekontekstualisasi dari realitas LGBTQ+ di Thailand—di mana hak sipil masih terbatas—fakta bahwa queer bisa menjadi narasi aspiratif sudah menunjukkan transformasi struktural dalam dunia hiburan.

Filipina menawarkan pendekatan berbeda. Di sana, representasi queer seperti tokoh bakla telah hadir selama puluhan tahun, dari sinema era Dolphy (aktor dan pelawak legendaris) hingga film indie masa kini. Tapi yang berubah adalah framing-nya. 

Jika dahulu queer hanya muncul sebagai badut, kini queer menjadi subjek yang kompleks dan politis, sebagaimana dalam film Die Beautiful atau Bwakaw. Bahkan dalam film ringan seperti I Love You, Beksman, stereotip dijadikan bahan untuk menyindir ekspektasi masyarakat, alih-alih menertawakan karakter.

Kedua negara ini, dengan caranya masing-masing, telah membangun kanon queer dalam sinema mereka: Sekumpulan film, tropes, dan aktor yang saling merujuk, membentuk subgenre yang dikenali publik, dan terus bertumbuh.

Baca juga: Karakter LGBTQ di Film Indonesia: Mengingat Mereka yang Queer dan ‘Legendary’

Film Queer di Indonesia: Representasi Ada, tapi Ekosistem Belum Terbentuk

Kendati belum bisa dikatakan banyak, rasanya kurang tepat juga jika mengatakan visibilitas queer di Indonesia pasca-Reformasi masih sedikit. 

Sejak Arisan! (2003), film dengan karakter gay bukanlah hal asing. Film seperti Lovely Man (2011), Sanubari Jakarta (2012), hingga yang lebih mutakhir seperti Like & Share (2022) juga telah menyuarakan isu-isu gender dan seksualitas non-heterosksual dengan sensitivitas yang kuat. 

Namun berbeda dari Thailand dan Filipina, Indonesia belum memiliki subgenre queer yang stabil, yang secara eksplisit dikenali, diproduksi berkala, dan memiliki jalur distribusi yang konsisten.

Apa yang membuat sinema queer Indonesia cenderung lebih dihambat? Salah satunya, mungkin faktor paling besar, adalah regulasi dan sensor. Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia memiliki kebijakan yang longgar terhadap istilah “kesusilaan” dan “nilai agama”, yang sering kali digunakan untuk membatasi representasi LGBTQ+. Ini membuat sineas bekerja dalam batasan yang tidak pasti: film boleh tayang di festival, tapi tidak dijamin bisa tayang luas. Bahkan film seperti Kucumbu Tubuh Indahku (2018) yang telah mendapat banyak penghargaan justru menghadapi pelarangan di banyak kota karena tekanan politik dan agama.

Masalah lainnya adalah ketiadaan ekosistem. Tidak seperti Thailand yang punya rumah produksi besar untuk BL, atau Filipina yang punya festival film queer seperti QCinema dan Sinag Maynila, Indonesia kehilangan platform reguler untuk mendistribusikan film queer secara luas dan aman. Festival seperti Q! Film Festival pernah menjadi ruang itu, tetapi sejak dibubarkan karena tekanan ormas, ruang tersebut nyaris tidak tergantikan.

Situasi ini membuat representasi queer di Indonesia hadir secara terfragmentasi. Tiap film hadir nyaris sebagai peristiwa tunggal, bukan sebagai bagian dari wacana yang berkelanjutan. Tidak ada benang merah antara satu film queer ke film berikutnya; tidak ada “bahasa queer” yang berkembang dalam sinema. 

Yang ada justru isolasi.

Bandingkan dengan Thailand, yang tokoh-tokoh BL-nya hadir dalam lintas seri dan saling membangun dunia bersama. Atau Filipina, tempat sineas queer seperti Jun Lana dan Perci Intalan telah memproduksi banyak film yang saling merujuk. Di Indonesia, untuk menyebut identitas seksual sutradara pun, sebagai upaya meng-establish kanon queer via auteurisme, belum menjadi praktik yang aman.

Dalam konteks ini, queer sinema Indonesia mirip kota-kota dalam esai Projections of an Other Space: The Cities, yakni hadir sebagai ruang “lain”, sebagai wilayah tak terpetakan dalam peta resmi budaya arus utama. Mereka muncul di pinggiran: Festival kecil, komunitas alternatif, kanal daring, selalu dalam posisi terancam diusir.

Baca juga: ‘Madame X’: ‘Hidden Gem’ yang Tak Diproduksi Lagi(?)

Sinema Queer  sebagai Cermin Sosial

Poin menarik dari membandingkan ketiga negara ini adalah bahwa queer sinema bukan hanya soal keberanian sineas, tetapi cermin dari bagaimana masyarakat memahami keberagaman gender dan seksualitas.

Di Thailand, yang sudah melegalkan pernikahan sesama jenis sejak 2024, queer telah menjadi estetika gaya hidup yang bisa dipasarkan secara masif. Di Filipina, queer menjadi bagian dari identitas kultural yang sudah lama tampil dalam media dan kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, queer masih harus bernegosiasi dengan moralitas publik, sensor negara, dan budaya patriarkal yang kuat.

Namun dalam semua kasus, sinema menjadi tempat perundingan itu berlangsung. Di layar, queer bisa menjadi manusia sepenuhnya: Lucu, rumit, lembut, atau keras kepala. Dan selama ruang itu tetap dibuka, selalu ada kemungkinan untuk mendengar suara yang selama ini diredam.

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.